Menuju konten utama

Politik dan Darah di Balik Kekayaan Kuliner Jepang

Kuliner Jepang tidak bisa dipisahkan dari olahan aneka daging dari binatang berkaki empat. Di baliknya ada sejarah panjang yang bahkan berlumur darah.

Politik dan Darah di Balik Kekayaan Kuliner Jepang
Pria memegang sumpit dan makan sushi di reastaurant. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Kuliner Jepang tidak bisa dipisahkan dari aneka olahan daging. Sebut saja gongseng sapi kecap manis beef yakiniku atau potongan daging tipis yang dipanggang bersama sayur-mayur sukiyaki. Jenis daging dari sapi terbaik wagyu, terutama yang paling populer dari Kobe, jadi andalan di berbagai restoran steak di berbagai penjuru dunia—tentu dengan harga selangit. Restoran cepat saji pun biasa menawarkan paket nasi dan daging babi yang digoreng tepung (tonkatsu) atau daging ayam (chicken katsu). Ada pula basashi, daging kuda mentah yang dinikmati dengan kecap, jahe, dan bawang bombai.

Masakan dari daging sebagai bagian integral dari budaya populer Jepang sebetulnya tergolong fenomena baru. Ia adalah hasil kampanye seratus lima puluh tahun silam yang prosesnya sempat diwarnai penolakan berujung pertumpahan darah.

Pada 18 Februari 1872, sepuluh biksu Buddha berusaha menerobos istana kekaisaran di Tokyo untuk memprotes Mutsuhito, penguasa Jepang bergelar Kaisar Meiji, yang bersama permaisuri diberitakan mengonsumsi daging sapi untuk merayakan tahun baru. Mereka juga gusar karena semenjak kedatangan bangsa kulit putih dari Eropa dan Amerika Serikat semakin banyak orang Jepang mengonsumsi daging.

Di mata mereka, kebiasaan baru itu “merusak jiwa bangsa Jepang.” Mengonsumsi daging rupanya menyalahi keyakinan penganut Buddha. Mereka percaya binatang berkaki empat tak boleh dimakan karena merupakan reinkarnasi manusia.

Anggapan tersebut pula yang kerap dianggap jadi landasan mengapa pada 675—sekitar satu abad setelah Buddha masuk ke Jepang melalui Korea dan Cina—Kaisar Tenmu mengeluarkan undang-undang yang melarang konsumsi daging binatang seperti sapi, kuda, anjing, monyet, sampai unggas seperti ayam.

Singkat kata, praktik makan daging sapi oleh Kaisar Meiji, yang saat itu baru berkuasa selama empat tahun, dipandang telah melanggar aturan pro-Buddha yang telah berlangsung selama 1.200 tahun.

Di samping mengeluhkan konsumsi daging, para biksu yang menyerbu istana juga meminta agar Kaisar mengusir orang-orang asing dari Jepang, memperkuat institusi agama nasional yang menggabungkan Buddha dan ajaran tradisional Shinto, bahkan menyerukan kembali pemerintahan feodal seperti era Edo (1603-1868) di bawah keshogunan Tokugawa dari kelas pejuang atau samurai. Mereka sampai mengancam bakal membunuh Kaisar jika tuntutannya tak dipenuhi.

Apa yang kemudian terjadi? Separuh dari mereka tewas akibat peluru yang ditembakkan oleh tentara kekaisaran, sedangkan sebagian lainnya ditahan.

Melansir studi dari Zenjiro Watanabe, demi menjaga citra Kaisar, aksi protes para biksu tersebut sengaja tidak diliput media nasional. Beritanya justru diumumkan oleh koran Inggris, The Times.

Aksi para martir tersebut cuma contoh kecil dari berbagai protes dan pemberontakan yang muncul seiring Kekaisaran Meiji (1868-1912) mulai menanggalkan feodalisme dan berpaling pada institusi-institusi kapitalis Barat, termasuk mengadopsi ragam teknologi, pendidikan, pemikiran, sampai budaya dan gaya hidup. Tak luput dari proyek modernisasi ini adalah perkara selera lidah.

Masih melansir riset Watanabe, sebelum Kaisar Meiji memberi contoh rakyat mengonsumsi daging, kampanye serupa sudah digulirkan oleh perusahaan pengolahan daging sapi dan kuda bernama Tsukiji Gyuba. Salah satu influencer yang diajak berkolaborasi oleh adalah pendidik kenamaan sekaligus advokat modernisasi Yukichi Fukuzawa, yang wajahnya sekarang tercetak di uang kertas pecahan sepuluh ribu yen.

“Daging dan susu menyediakan banyak nutrisi dan sangat bagus untuk tubuh. Mereka merupakan bahan dasar dalam diet masyarakat Barat. Kita, orang Jepang, juga perlu membuka mata dan mulai menerima manfaat dari daging sapi dan susu,” demikian kata Fukuzawa dalam iklan yang rilis pada 1871.

Studi lain yang disusun Watanabe menyebut persis pada tahun pertama Restorasi Meiji, dalam sehari rata-rata terdapat 1,5 ekor sapi disembelih. Sekitar lima tahun kemudian, atau pada 1873, jumlahnya naik jadi 20. Artinya, sampai 15 ribu orang diperkirakan bisa makan 100 gram daging sapi per hari. Di sini kita melihat bahwa kampanye-kampanye tersebut berhasil dan orang Jepang mulai terpengaruh.

Sejak era Meiji, daging sapilah primadona sebelum akhirnya popularitas dan tingkat konsumsinya disalip oleh daging babi pada dekade 1960-an.

Kuliner sebagai Cara Melawan Dominasi Buddha?

Menurut artikel Seejae Lee untuk International Institute of Asian Studies, kampanye memakan daging pertama-tama digalakkan di kalangan militer. Ketika Perang Sino-Jepang meletus pada 1894-1885, pasukan Jepang dibekali dengan stok daging sapi kaleng yang 25 persennya diimpor dari AS.

Kampanye ini muncul karena pemerintahan Meiji menganggap bangsa Jepang tidak akan bisa menjadi kuat, makmur, dan sejajar dengan negara-negara Eropa atau Amerika Utara apabila tentaranya lemah. Dan bagi mereka, kunci kekuatan orang Barat salah satunya, ya, karena memakan daging.

Perlahan, praktik makan daging mulai dilirik oleh pihak lain, dalam hal ini adalah kelas menengah. Bahkan ketika itu sampai muncul pandangan bahwa “jika Anda tidak bisa makan daging, maka Anda tidak beradab.”

Di samping itu, bagi Lee, tujuan Kaisar makan daging bukan sekadar mengajak masyarakat Jepang mengubah tradisi kulinernya jadi agak kebarat-baratan, tapi juga dalam rangka menggerus doktrin-doktrin Buddha, terutama ahimsa—ajaran untuk tidak melakukan kekerasan, menyakiti, atau membunuh makhluk hidup lain yang melandasi larangan konsumsi daging binatang.

Mempromosikan daging sapi, kata Lee, termasuk dalam “serangkaian proses untuk menindas Buddhisme dan membangun Shinto sebagai agama negara.”

Pada era Meiji hubungan antara negara dan Shinto, kepercayaan tradisional yang memuja dewa-dewa dan titisannya yang tak lain adalah Kaisar, memang mesra. Satu contoh adalah dibangunnya tempat peribadatan Shinto, cikal bakal Kuil Yasukuni, untuk mendoakan arwah tentara yang gugur demi membela Kaisar Jepang dalam Perang Sino-Jepang (kemudian Perang Rusia-Jepang pada 1904-5 dan kelak Perang Dunia II) pada 1869 atau hanya setahun setelah Restorasi Meiji.

Di sanalah, menurut Andrew Gordon dalam buku tentang sejarah modern Jepang, ritus-ritus kenegaraan diselenggarakan dan Shinto diposisikan jadi semacam “penanda kuno tentang identitas etnis orang Jepang.”

Bersamaan dengan itu, biksu dan penganut Buddha semakin dipersekusi. Pemerintah Meiji, misalnya, mengakhiri status istimewa kuil-kuil Buddha sejak zaman Edo dan melarang para biksu untuk merangkap jabatan di kuil Shinto. Lalu, setiap orang juga diwajibkan mendaftar sebagai anggota jemaat kuil Shinto alih-alih di kuil Buddha seperti pada zaman sebelumnya.

Kuil-kuil Buddha mulai jadi sasaran protes massa yang semakin sadar akan perbedaan antara Buddha dan Shinto. Penghancuran kuil, patung Buddha dan relik-reliknya, sempat memuncak pada 1871.

Trik lain yang digunakan pemerintah untuk memperlemah institusi Buddha kala itu adalah dengan mengeluarkan undang-undang yang mengizinkan biksu untuk makan daging dan menikah (Undang Undang Nikujiku Saitai).

Perspektif Lain

Menegakkan ajaran Buddha adalah penjelasan paling lazim saat membahas mengapa ada larangan makan daging di Jepang sebelum era Meiji. Namun, di samping itu, ada pula sejumlah penjelasan alternatif yang tak kalah menarik.

Sejarawan Naomichi Ishige dalam buku History Of Japanese Food (2001) berpendapat salah satu tujuan utama dari aturan Kaisar Tenmu sebenarnya untuk melindungi populasi binatang ternak, di samping mencegah terjadinya kekeringan, serangan hama, sampai bencana kelaparan. Pendek kata, aturan tersebut lebih lekat dengan usaha untuk melindungi praktik pertanian, termasuk menjaga agar sumber daya hewani tidak cepat habis.

Kesimpulan ini muncul karena kebijakan Kaisar Tenmu pada abad ke-7 sebetulnya sangat spesifik: melarang konsumsi daging ketika petani sedang membutuhkan tenaga sapi atau kuda untuk mengolah sawah dari musim semi sampai gugur, serta larangan berburu atau menjaring ikan secara sembarangan (konsumsi ikan pun tidak dilarang dan ikan tetap jadi makanan utama di Jepang).

Larangan mengonsumsi daging juga sebenarnya tidak terbatas pada tradisi Buddha. Ishige mencatat pada abad ke-14 pemuka Shinto mulai melarang konsumsi daging babi hutan dan rusa liar. Jika seseorang melanggarnya, ia harus bertobat atau menyucikan diri terlebih dulu selama seratus hari sebelum diperbolehkan berdoa ke kuil Shinto lagi.

Ritual kesucian Shinto melarang segala hal yang melibatkan darah, termasuk yang berasal dari binatang mamalia berdarah panas (berbeda dari Buddha, dalam kepercayaan Shinto binatang laut termasuk ikan bisa dikonsumsi dan kedudukannya justru dimuliakan setingkat sesajen).

Pandangan menarik lain disampaikan oleh Eric C. Rath dalam studi yang terbit di Asia Pacific Perspective (2020). Rath berkesimpulan larangan Kaisar bisa dimaknai ulang sebagai perintah yang mungkin hanya berlaku pada lingkup elite istana, alih-alih rakyat jelata yang tidak punya pilihan selain memakan binatang apa saja yang tersedia di alam. Hal ini berdasarkan pada temuan arkeologis berupa tulang belulang binatang liar, termasuk rubah, rakun, dan berang-berang di lubang pembuangan yang menunjukkan orang Jepang di abad pertengahan masihlah memakan daging.

Infografik Konsumsi Daging di Jepang

Infografik Konsumsi Daging di Jepang. tirto.id/Quita

Pakar sejarah makanan Jepang dari Leiden University, Katarzyna J. Cwiertka, dalam buku Modern Japanese Cuisine: Food, Power and National Identity (2006) mengakui bahwa perkara mengonsumsi daging merupakan “salah satu aspek yang paling diperdebatkan dalam sejarah makanan Jepang.”

Sebagaimana Ishige dan Rath, Cwiertka berpendapat meskipun Buddha punya andil dalam larangan konsumsi daging, ia bukanlah satu-satunya motif terkuat. Cwiertka juga mendapati larangan makan daging tidak menyebar luas sampai abad ke-16 dan konsumsi daging dari hewan buruan masih ditemui secara sporadis sebelum era Meiji.

Meski dipandang tabu, Cwiertka mengatakan bahwa praktik konsumsi daging masih berlangsung untuk tujuan medis atau kesehatan. Kalangan aristokrat pada abad ke-8 memang patuh pada ajaran Buddha untuk tidak makan daging, namun beberapa kali dalam setahun mereka menjalankan tradisi yakurō, ritual berburu yang diakhiri dengan konsumsi hewan hasil tangkapan. Tujuannya tak lain agar badan mereka yang setiap hari kekurangan daging semakin kuat.

Sejak akhir abad ke-18, di bawah pengaruh ilmu pendidikan Belanda (satu dari segelintir bangsa asing yang diperbolehkan berdagang di Jepang pada era isolasi diri atau sakkoku), konsumsi daging juga dipandang bermanfaat untuk kesehatan. Sebutannya kusurigui (makan untuk pengobatan). Praktik ini biasa dilakukan pada musim dingin baik di rumah sendiri atau restoran khusus binatang buas momonjiya.

Baca juga artikel terkait KULINER atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Rio Apinino