tirto.id - Halaman Mapolresta Bandung, Jalan Merdeka, Kota Bandung, pada 1 Mei 2019 tak seperti hari-hari biasa. Di sana berbaris ratusan laki-laki berkepala botak sambil jongkok. Mereka tak memakai baju dan celana.
Mereka adalah peserta May Day Bandung yang ditangkap polisi dan dicap kelompok anarko-sindikalis. Mereka dituduh berbuat onar dan penyusup aksi buruh.
Total ada 619 orang yang ditangkap. 293 di antaranya berusia di bawah 18 tahun. 605 orang laki-laki, sisanya perempuan.
Pada pukul 18.00, mereka dibawa ke Mako Brimob Polda Jawa Barat, Jalan Cikereuh, Jatingangor, Sumedang, untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut.
Kapolrestabes Bandung Kombes Pol Irman Sugema mengatakan apa yang mereka lakukan semata bentuk pembinaan. Dia juga berharap penggundulan dan penelanjangan ini menimbulkan efek jera.
"Mudah-mudahan ada hikmahnya," katanya kepada wartawan di kantornya.
Irman juga bilang kalau alasan para demonstran dipindahkan ke Mako Brimob agar pemeriksaan lebih layak.
"Di sini, kan, kalau ini hujan bagaimana, katanya.
Namun bagi Kadiv Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) M. Isnur, apa yang dilakukan polisi berlebihan. Polisi, katanya, melanggar prinsip konstitusi, Hak Asasi Manusia (HAM), dan konvensi anti penyiksaan.
Isnur bilang satu-satunya pihak yang berhak memberi hukuman adalah hakim lewat persidangan.
"Harusnya kalau memang tindak pidana, lakukan penyelidikan, penyidikan. Tidak menghukum luar aturan yang ada. Itu merendahkan kemanusiaan," Kata Isnur di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta, Jumat (3/5/2019).
Hal serupa dikatakan sejumlah kelompok lain. Dalam rilis yang diterbitkan di situs ijcr.or.id, Kamis lalu, sejumlah LSM mengatakan tindakan polisi Bandung sudah bisa dikategorikan sebagai "aksi brutal."
Sejumlah regulasi mereka langgar, dari mulai Pasal 7 ayat (1) huruf c Perkapolri tentang Kode Etik Kepolisian, UUD 1945, dan prinsip praduga tidak bersalah.
Apa yang dialami Cici, seorang pekerja pabrik di Garut, benar-benar memperlihatkan bahwa prinsip praduga tak bersalah tak berlaku. Dia ditangkap karena dituduh mencoret-coret mobil yang diparkir di sekitar Monumen Perjuangan di Dipati Ukur. Dia tak melakukan itu, juga tak ada bukti sama sekali.
LSM lantas menyimpulkan kalau apa yang dilakukan polisi sangat militeristik, padahal mereka bukanlah institusi militer.
"Perlu ada evaluasi terhadap kepolisian, yang berkat reformasi yang diperjuangkan rakyat dipisahkan dari militer, karena tetap berperilaku militeristik setelah 19 tahun menjadi organisasi non-militer," tulis mereka.
Dipukul, Ditelanjangi, dan Dilecehkan
Kritik sejumlah LSM ini relevan jika mendengar kesaksian sejumlah korban. Kepada reporter Tirto, Asep (21) mengaku disuruh jalan jongkok dan guling-guling di halaman aspal Mapolresta Bandung. Dia juga dipentung pakai tongkat begitu turun dari truk. Pentungan kena di bagian punggung.
"Yang turun dipukul. Ada yang jatuh juga saat turun truk. Ada yang sempat pingsan," katanya.
Mereka yang sudah sampai diteriaki agar lari ke gelanggang olahraga yang ada di kompleks kantor. Di sana dia hanya menunggu ratusan orang dimintai keterangan hingga dipulangkan aparat subuh keesokan harinya.
Dia jelas mengantuk, tapi tak boleh tidur. "Jangankan tidur, nyender tembok aja disiram air."
Aparat juga melakukan pelecehan verbal. Pantauan reporter Tirto, saat dikumpulkan di halaman kantor polisi, seorang tentara berpangkat letnan dua sempat mendatangi demonstran perempuan yang duduknya dipisahkan dari laki-laki.
"Cantik-cantik kok ikut begini," katanya.
Lalu seorang polwan datang membawa Intisari dan Anggur Merah yang botolnya masih tersegel. Dia lantas menghampiri beberapa perempuan yang duduk di bagian depan dan meminta ada yang mengaku membawa minuman itu.
Polwan itu kerap menggertak: "ayo, mau dibuka, diminum bareng sama saya, ayo!"
(Revisi 3 Mei 2019 pukul 20:09: sebelumnya kami memberi artikel ini judul Polisi Tak Punya Hak Menggunduli Peserta May Day di Bandung)
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Rio Apinino