tirto.id - “[....] Kami sudah bicarakan baik-baik tapi dalam prosedur pemeriksaan di depan [pos pemeriksaan] akhwat kami ditelanjangi.”
Pengakuan itu terungkap dari rekaman suara negosiator pihak narapidana terorisme, Abu Qutaibah alias Iskandar alias Alexander dalam kronologi penyebab kejadian ricuh di rutan cabang Salemba di Komplek Mako Brimob, Kelapa Dua, Selasa malam (8/5/2018). Berdasarkan rekaman itu, penyulut ricuh ditengarai bukan hanya soal makanan, melainkan juga terkait prosedur besuk yang dinilai tidak manusiawi.
Menanggapi hal itu, sejumlah anggota Komisi III DPR menganggap pemeriksaan terhadap penjenguk narapidana terorisme di rumah tahanan cabang Salemba di Kelapa Dua, Kompleks Mako Brimob sampai harus telanjang badan sudah sesuai dengan prosedur yang diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenhumkam).
“Dalam konteks terorisme memang ada perlakukan khusus tentang penjenguknya. Karena prosedurnya demikian. Harus digeledah sedetail mungkin agar tidak membawa senjata dan lain-lain,” kata anggota Komisi III DPR, Taufiqulhadi kepada Tirto, Jumat (11/5/2018).
Peraturan itu, kata Taufiqulhadi, tertulis dalam Permenkumham Nomor 33 tahun 2015 tentang Pengamanan Pada Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara. Menurut dia, dalam Pasal 4 ayat 1 peraturan tersebut klasifikasi pengamanan dibedakan menjadi empat, yakni: pengamanan sangat tinggi, tinggi, menengah, dan rendah.
“Terorisme itu masuk kepada pengamanan sangat tinggi,” kata Taufiqulhadi.
Dalam Pasal 4 ayat 3 poin (a) dijelaskan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengamanan sangat tinggi, yaitu dilengkapi dengan pengamanan berlapis, pos menara atas, pos bawah, penempatan terpisah, pengawasan closed circuit television, pembatasan gerak, pembatasan kunjungan dan pembatasan kegiatan pembinaan, serta pengendalian komunikasi.
Sementara, untuk penggeledahan disebutkan di Pasal 12 ayat 1 dan 2. Ayat 1 menyebutkan penggeledahan meliputi badan, barang, sel, area dan kendaraan. Sementara, ayat 2 menyatakan penggeledahan menjadi wewenang anggota satuan pengamanan yang ditunjuk, satuan tugas keamanan dan ketertiban divisi pemasyarakatan pada kantor wilayah hukum dan HAM, dan satuan tugas keamanan dan ketertiban dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.
“Yang paling penting siapa penggeledahnya? Harus petugas perempuan. Dan itu dilakukan di Mako Brimob,” kata Taufiqulhadi.
Akan tetapi, dalam peraturan tersebut tidak disebutkan satupun terdapat bentuk penggeledahan pengunjung rutan sampai telanjang badan. “Memang tidak ada, tapi itu saya pikir prosedur yang tepat. Kalau mereka bisa bebas masuk bisa menyelundupkan yang aneh-aneh, seperti senjata,” kata Taufiqulhadi.
Hal senada diungkapkan Anggota Komisi III DPR lainnya, Masinton Pasaribu. Politikus PDIP ini berkata, pemeriksaan terhadap penjenguk semacam itu adalah bagian teknis pengawasan yang memang harus dilakukan petugas lapas atau rutan.
“Pemeriksaan terhadap setiap penjenguk mutlak harus dilakukan, apalagi terhadap tahanan kasus terorisme dan terorganisir. Teknis pemeriksaan bisa dilakukan di tempat tertutup,” kata Masinton kepada Tirto.
Polisi Anggap Hoaks
Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Irjen Pol Setyo Wasisto tak mau berkomentar banyak soal rekaman tersebut. Ia mengaku belum mengetahui perihal tersebarnya rekaman yang diduga berasal dari dalam rutan Salemba cabang Mako Brimob Kelapa Dua itu.
“Saya belum lihat itu,” kata dia. “Saya tidak ngomong soal itu,” ujarnya sekali lagi ketika ditanyakan untuk kedua kalinya.
“Enggak mungkin lah kalau itu [penjenguk ditelanjangi]. Hoaks itu, saya berani jamin,” kata Setyo soal penjenguk yang disuruh telanjang.
Pernyataan Setyo ini bertolak belakang dengan pengakuan Abu Qutaibah dalam rekaman suara yang disampaikan kepada Aman Abdurrahman. Berdasarkan rekaman itu, mereka keberatan dengan prosedur pemeriksaan para penjenguk napi terorisme di rutan cabang Salemba di Komplek Mako Brimob.
Abu Qutaibah secara tegas menyebut soal pembesuk napi yang ditelanjangi. “Itu terkadang mereka sudah pakai celana dalam, disuruh loncat jongkok. Ini dengan tujuan kalau ada barang terlarang bisa jatuh karena disuruh loncat-loncat. Ini satu hal yang tidak manusiawi menurut kami. Tapi apa yang jadi keluhan ikhwan soal ini sudah saya sampaikan,” ujarnya dalam rekaman itu.
Pemeriksaan model itu, menurut Qutaibah, menyebabkan para napi terorisme marah. Ditambah lagi terdapat peristiwa soal kiriman makanan dari keluarga yang tidak sampai kepada para napi. Sehingga, akhirnya kericuhan tidak dapat terelakkan.
“[...] Jadi kalau pihak Densus menyalahkan kami, tidak bisa. Karena insiden ini tidak ada rencana sebelumnya. Wallahi, ini insiden yang spontan. Saya juga sudah berusaha beberapa kali menjadi mediator, jadi penyambung lidah ikhwan. Mungkin ini reaksi balik karena ikhwan kita ada yang tertembak jadi qadarullah. Di dalam juga ada Densus. Terjadilah hal-hal di luar dugaan kami,” kata Qutaibah.
Perihal pengakuan Qutaibah ini, Anggota Komisi III DPR, Akbar Faisal tidak mempercayainya. Menurut Akbar, para napi terorisme itu sudah terlatih berbohong dan beralibi. “Mereka itu selalu bisa menutupi kejadian sebenarnya dan beralibi untuk membenarkan pembunuhan keji yang mereka lakukan,” kata dia kepada Tirto.
Akbar pun menyatakan, apapun alasan dari kericuhan tersebut, tetap saja tidak bisa dibenarkan karena telah membuat enam nyawa melayang. Lima dari pihak kepolisian dan satu dari pihak napi terorisme.
Pengelolaan Rutan Mako Brimob
Sementara peneliti di Institute Criminal and Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu menilai, keluhan yang disampaikan narapidana teroris merupakan masalah pengelolaan rutan di Kompleks Mako Brimob. Erasmus berkata, larangan menerima makanan serta penelanjangan pengunjung merupakan hal wajar dalam standar keamanan rutan.
Penggeledahan bisa dilakukan petugas, kata Erasmus, apabila mereka mencurigai pengunjung napi. Ia menganalogikan dengan pemeriksaan penumpang pesawat. Menurut Erasmus, petugas bisa memeriksa badan, hingga menelanjangi jika diperlukan. Namun, penggeledahan tubuh pengunjung harus sesuai protap internal rutan atau lapas.
Meskipun dinilai wajar, tetapi Erasmus menanyakan konsep pengamanan di lingkungan rutan di Kompleks Mako Brimob itu. Menurut dia, berdasarkan Pasal 22 ayat 1 KUHAP polisi memang diperbolehkan mempunyai rutan, tapi dengan syarat bahwa tidak ada rutan lain di daerah hukum tempat kepolisian berada. Rutan itu pun berstatus cabang rutan, yaitu rutan yang tidak memenuhi standar pemasyarakatan.
Erasmus mencontohkan, pengelola rutan cabang berbeda dengan pengelola rutan resmi di bawah Kemenkumham. Rutan yang di bawah Kemenkumham akan langsung dimonitor oleh Ditjen Pemasyarakatan. Akan tetapi, rutan cabang Mako Brimob akan menerapkan standar kepolisian. Rutan Mako Brimob punya "otoritas" sendiri karena tidak dikelola di bawah Kemenkumham.
“Seluruh pengelolaan rutan yang di bawah kepolisian tidak di bawah Kementerian Hukum dan HAM, itu pengelolaannya di bawah kepolisian meskipun secara nomenklatur, secara administrasi dia cabang rutan,” kata Erasmus.
Erasmus menambahkan “jadi [rutan cabang Salemba] Mako Brimob itu kayak KPK, rutan KPK. Itu, kan, cabang rutan. Itu harusnya pengelolaan di Kumham, tapi budget dan lain-lain itu masuknya ke dalam budget-nya masing-masing lembaga. Itu yang bikin ribet.”
Selain itu, karakter psikologi penanganan tahanan atau narapidana antara Ditjen Pemasyarakatan dan polisi berbeda. Polisi tidak dididik untuk memberikan pelayanan seperti petugas pemasyarakatan. Menurutnya, polisi merupakan penyidik yang bisa memanggil atau memperlakukan tahanan untuk kepentingan penanganan perkara. Ia mencontohkan, bisa saja mereka memanggil tahanan pukul 12 malam tanpa surat pemanggilan.
Menurut Erasmus, hal ini berbeda dengan petugas pemasyarakatan yang paham dalam menangani psikologi orang, baik low risk hingga high risk. Situasi perbedaan perilaku ini yang akhirnya menyebabkan terjadi gesekan antara napi dengan petugas.
“Poin saya adalah gesekan itu kemarin bisa terjadi mungkin karena sentimen antara penyidik dan tahanan,” kata Erasmus.
Karena itu, Erasmus menyarankan supaya tahanan dan penyidik tidak ditempatkan dalam satu kompleks yang sama. “Dalam kacamata lebih luas yang kayak kasus sekarang, gesekan itu bisa diminimalisir kalau misalnya mereka ini tidak ditempatkan di satu lokasi dengan penyidiknya,” kata Erasmus.
Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham, Sri Puguh Utami membenarkan jika rutan yang terletak di dalam Mako Brimob Polri merupakan cabang rutan Salemba. Dasar pendiriannya, kata dia, Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 Tentang: Pelaksanaan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana.
“Jadi di PP itu menteri bisa membentuk cabang Rutan,” ujar Sri Puguh Utami melalui sambungan telepon kepada Tirto, Kamis malam (10/5/2018). Ia menyebut jika tanggung jawab pengelolaan rutan itu berada di bawah Kementerian Hukum dan HAM.
Ketika disinggung siapa yang bertanggung jawab atas kericuhan di Blok Khusus Tahanan Pidana Tindak Terorisme Rutan Cabang Salemba di Kelapa Dua, Kompleks Mako Brimob, ia tak bisa menjawab dengan tegas. “Mestinya kami yang bertanggung jawab mengenai itu [kericuhan]” kata Sri.
Sri menjawab dengan hati-hati terkait pertanyaan ini. Ia menjelaskan selama ini pengelolaan dan pengawasan tahanan justru dipegang Brimob dengan alasan berada dalam wilayah milik Polri. Ia pun mengaku tak mengetahui berapa jumlah tahanan non-tindak pidana teroris yang kini di kurung di Rutan Cabang Salemba di Mako Brimob itu.
“Kalau pengelolaan dan pengawasan itu saat ini ada di bawah Brimob, karena kami kekurangan pegawai,” kata Sri meyakinkan jika kericuhan mengakibatkan lima orang anggota polisi tewas dan satu terdakwa tindak pidana terorisme itu, mau tak mau, juga menjadi tanggung jawab Kemenkumham.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz