Menuju konten utama

Komisi III: Pemeriksaan Penjenguk Napi Mako Brimob Sesuai Aturan

Sejumlah anggota Komisi III DPR RI menilai praktik pemeriksaan pembesuk napiter Rutan Mako Brimob, yang sampai telanjang badan, sudah sesuai prosedur.

Komisi III: Pemeriksaan Penjenguk Napi Mako Brimob Sesuai Aturan
Petugas Kepolisian Brimob berjaga di depan Blok C, Rumah Tahanan Mako Brimob pasca proses pemindahan narapidana teroris, Depok, Kamis (10/5/2018). tirto.id/Arimacs Wilander.

tirto.id - Sejumlah anggota Komisi III DPR menganggap pemeriksaan sampai telanjang badan terhadap penjenguk narapidana terorisme (napiter) di rumah tahanan (rutan) Salemba cabang Mako Brimob sudah sesuai dengan prosedur Kemenkumham.

"Dalam konteks terorisme memang ada perlakukan khusus tentang penjenguknya. Karena prosedurnya demikian. Harus digeledah sedetil mungkin agar tidak membawa senjata dan lain-lain," kata Anggota Komisi III, Taufiqulhadi kepada Tirto, Jumat (11/5/2018).

Ketentuan tersebut, kata Taufiqulhadi, tertulis dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) Nomor 33 tahun 2015 tentang Pengamanan Pada Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara.

Menurut dia, Pasal 4 ayat 1 peraturan tersebut menyebut bahwa klasifikasi pengamanan dibedakan menjadi empat, yakni pengamanan sangat tinggi, tinggi, menengah, dan rendah.

"Terorisme itu masuk kepada pengamanan sangat tinggi," kata Taufiqulhadi.

Dalam Pasal 4 ayat 3 poin (a) di peraturan tersebut juga dijelaskan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengamanan sangat tinggi, yaitu dilengkapi dengan pengamanan berlapis, pos menara atas, pos bawah, penempatan terpisah, pengawasan closed circuit television, pembatasan gerak, pembatasan kunjungan dan pembatasan kegiatan pembinaan, serta pengendalian komunikasi.

Sementara untuk penggeledahan, disebutkan di Pasal 12 ayat 1 dan 2 Permenkumham 33/2015. Ayat 1 menyebutkan penggeledahan meliputi badan, barang, sel, area dan kendaraan. Sementara, ayat 2 menyatakan penggeledahan menjadi wewenang anggota satuan pengamanan yang ditunjuk, satuan tugas keamanan dan ketertiban divisi pemasyarakatan pada kantor wilayah hukum dan HAM, dan satuan tugas keamanan dan ketertiban dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.

"Yang paling penting siapa penggeledahnya? Harus petugas perempuan. Dan itu dilakukan di Mako Brimob," kata Taufiqulhadi.

Akan tetapi, dalam peraturan tersebut tidak disebutkan ketentuan soal bentuk penggeledahan pengunjung Rutan sampai telanjang badan.

"Memang tidak ada, tapi itu saya pikir prosedur yang tepat. Kalau mereka bisa bebas masuk bisa menyelendupkan yang aneh-aneh, seperti senjata," kata Taufiqulhadi.

Anggota Komisi III, Masinton Pasaribu menyatakan hal serupa. Menurut Masinton, pemeriksaan terhadap pembesuk narapidana terorisme semacam itu adalah bagian teknis pengawasan yang memang harus dilakukan petugas lapas atau rutan.

"Pemeriksaan terhadap setiap penjenguk mutlak harus dilakukan, apalagi terhadap tahanan kasus terorisme dan terorganisir. Teknis pemeriksaan bisa dilakukan di tempat tertutup," kata Masinton.

Rekaman Pengakuan Negosiator Napiter Rutan Mako Brimob

Mekanisme pemeriksaan terhadap penjenguk sampai telanjang tersebut pertama kali terungkap dari rekaman suara negosiator pihak napiter, Abu Qutaibah, saat terjadi kericuhan di Rutan Cabang Salemba Mako Brimob, pada Selasa malam (8/5/2018) sampai Kamis pagi (10/5/2018), yang diterima redaksi Tirto.

"Kedua, masalah besukan. Ini masalah klasik yang kami sudah peringatkan. Kami sudah bicarakan baik-baik tapi dalam prosedur pemeriksaan di depan (pos pemeriksaan) akhwat kami ditelanjangi," kata Qutaibah dalam rekaman tersebut.

"Itu terkadang mereka sudah pakai celana dalam, disuruh loncat jongkok. Ini dengan tujuan kalau ada barang terlarang bisa jatuh karena disuruh loncat-loncat. Ini satu hal yang tidak manusiawi menurut kami. Tapi apa yang jadi keluhan ikhwan soal ini sudah saya sampaikan," dia menambahkan.

Pemeriksaan model tersebut, menurut Qutaibah, menyebabkan para napiter marah. Ditambah lagi terdapat peristiwa soal kiriman makanan dari keluarga yang tidak sampai kepada napiter. Sehingga, akhirnya kericuhan tidak dapat terelakkan.

"Wallahu a'lam ini semua di luar dugaan kami. Jadi kalau pihak Densus menyalahkan kami, tidak bisa. Karena insiden ini tidak ada rencana sebelumnya. Wallahi, ini insiden yang spontan. Saya juga sudah berusaha beberapa kali menjadi mediator, jadi penyambung lidah ikhwan. Mungkin ini reaksi balik karena ikhwan kita ada yang tertembak jadi qadarullah. Di dalam juga ada Densus. Terjadilah hal-hal di luar dugaan kami," kata Qutaibah.

Perihal pengakuan Qutaibah tersebut, anggota Komisi III Akbar Faisal justru tidak mempercayainya. Menurut Faisal, para napiter tersebut sudah terlatih berbohong dan beralibi.

"Mereka itu selalu bisa menutupi kejadian sebenarnya dan beralibi untuk membenarkan pembunuhan keji yang mereka lakukan," kata Akbar kepada Tirto.

Akbar pun menyatakan, apapun alasan dari kericuhan tersebut, tetap saja tidak bisa dibenarkan karena telah membuat enam nyawa melayang. Lima dari pihak kepolisian dan satu dari pihak napiter.

Ada pun kericuhan di Rutan Salemba Cabang Mako Brimob dapat diredam pihak kepolisian dengan damai dalam waktu 38 jam. 155 napiter yang terlibat dalam kerusuhan tersebut kemudian dipindahkan ke Lapas Nusakambangan, Jawa Tengah.

Baca juga artikel terkait KERUSUHAN MAKO BRIMOB atau tulisan lainnya dari M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Hukum
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Addi M Idhom