Menuju konten utama

Polisi Jadi Saksi Kasus Demo, Buruh: Mereka Pasti Bela Korps!

GBI dan TABUR menuding pengadilan bersikap tidak proporsiobal setelah memberikan kesempatan bagi polisi untuk menjadi saksi kasus pembubaran unjuk rasa.

Polisi Jadi Saksi Kasus Demo, Buruh: Mereka Pasti Bela Korps!
(Ilustrasi) Demo buruh berakhir ricuh. antara foto/irsan mulyadi.

tirto.id - Gerakan Buruh Indonesia (GBI) dan Tim Advokasi Buruh dan Rakyat (TABUR) menggugat keputusan persidangan yang menggunakan aparat kepolisian sebagai saksi bagi Jaksa Penuntut Umum dalam sidang kriminalisasi 26 aktivis terkait unjuk rasa buruh 30 Oktober 2015. Mereka menegaskan, para saksi itu tidak akan bisa berlaku obyektif karena sudah diikat oleh kesetiaan terhadap korps.

"Akibatnya, dengan prinsip korsa kepolisian membuat mereka membela rekan-rekannya. Polisi akan bersaksi berdasarkan surat tugas atasannya, bukan fakta yang ia ketahui, tapi mewakili institusi,” ujar pengacara TABUR dari LBH Jakarta, Maruli Rajagukguk, di Jakarta, Senin, (09/05/2016).

TABUR dan GBI menuding pihak kepolisian sudah terikat dengan pasal 5 ayat 2 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian yang menyebutkan “Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian Nasional yang merupakan satu kesatuan”. Pasal inilah, menurut mereka, yang akan menjadi dasar bagi para saksi untuk melindungi korpsnya.

Upaya melindungi korps ini, menurut mereka, akan berujung kepada kesaksian penuh rekayasa dan kebohongan.

"Kesaksian para aparat polisi tersebut jelas penuh konflik kepentingan dan memperkuat dugaan kriminalisasi dan penuh rekayasa," kata juru bicara Gerakan Buruh Indonesia (GBI), Michael.

Untuk mengantisipasi hal ini, Maruli dari TABUR menyarankan supaya saksi tidak usah disumpah di muka pengadilan. Hal ini, menurutnya, karena polisi bertindak sebagai penggugat dalam kasus ini. Sebagai catatan, pihak yang melaporkan para buruh adalah Kapolres Jakarta Pusat Hendro Pandowo.

"Dengan begitu, martabat pengadilan tetap terjaga sebagai tempat para pencari keadilan," ujar Maruli.

GBI dan TABUR menegaskan, justru pihak kepolisian-lah yang sepantasnya dihukum dalam aksi unjuk rasa 30 Oktober 2015 tersebut. Polisi dituding telah menggunakan kekerasan dan membubarkan paksa unjuk rasa itu tanpa alasan yang pasti.

Dari informasi yang dihimpun, Jaksa Penuntut Umum pada sidang Senin (9/5), mengajukan kepolisian untuk memberi kesaksian pada perkara dua pengacara LBH (Tigor dan Obed) serta 1 Mahasiswa Hasyim Ilyas. Pengadilan juga akan memberikan kesempatan bagi kepolisian untuk menjelaskan tentang pembubaran aksi unjuk rasa 30 Oktober 2015.

Kepolisian Daerah Metro Jaya membubarkan paksa aksi damai itu dengan kekerasan. Para peserta, pengawal, hingga perangkat aksi menjadi sasaran kekerasan aparat. Setelah pembubaran itu, kepolisian menjadikan 23 buruh, dua pengacara LBH Jakarta, dan satu mahasiswa tersangka pasal karena melawan perintah pejabat (216 dan 218 KUHP).

Dalam persidangan sebelumnya Majelis Hakim mengeluarkan putusan sela yang intinya menolak eksepsi dua pengacara LBH Jakarta dan satu mahasiswa serta kuasa hukum.

"Kami kecewa atas putusan sela tersebut, pasalnya putusan sela tersebut menegaskan tidak profesionalnya jaksa penuntut umum dan penyidikan yang sarat dengan kriminalisasi, meskipun demikian Tim Tabur menghormati keputusan majelis hakim tersebut," tutur Maruli.

Selain itu, sebanyak 23 buruh akan mendengarkan tanggapan Jaksa Penuntut Umum atas sanggahan atau eksepsi. Jaksa seharusnya membacakan tanggapan itu di persidangan sebelumnya, namun, Jaksa mengaku belum mampu menyelesaikan tugas tersebut. (ANT)

Baca juga artikel terkait GERAKAN BURUH INDONESIA

tirto.id - Hukum
Sumber: Antara
Penulis: Putu Agung Nara Indra
Editor: Putu Agung Nara Indra