tirto.id - Hal apa yang membuat sebuah film horor bisa dikatakan baik?
Setidaknya buat saya adalah ketika ia mampu mempertahankan nuansa ketegangan yang merata dan intens tanpa melupakan perlunya bangunan cerita yang kokoh. Pocong: The Origin (selanjutnya The Origin) memenuhi syarat-syarat itu. Hampir.
Cerita yang baik telah lama menjadi makhluk langka tradisi horor Indonesia. Meski belakangan beberapa film punya kualitas visual yang ciamik, film-film yang layak disebut sebagai gold standard sinema horor Indonesia seperti Kala (2007), Rumah Dara (2009), atau Pengabdi Setan (2017) masih sulit menemukan pewarisnya.
Seperti judulnya, The Origin adalah kisah asal-usul serial Pocong yang telah hadir sebelumnya. Melalui akun Twitter-nya, sutradara Monty Tiwa mengatakan The Origin adalah merupakan "reinkarnasi" dari film Pocong yang urung beredar pada 2006 silam dengan sejumlah penyesuaian. Pocong sendiri dilarang beredar karena memuat konteks kerusuhan Mei 1998 dan dinilai terlalu sadis oleh Lembaga Sensor Film (LSF). The Origin menghilangkan keduanya. Sayang, klaim ini sulit diuji karena Pocong memang tak pernah beredar.
Sebagai catatan, Pocong yang dilarang disutradarai oleh Rudi Soedjarwo. Monty Tiwa baru terlibat pada sekuel setelahnya: Pocong 2 dan Pocong 3.
Horor dalam Perjalanan
Kisah The Origin dibalut oleh plot perjalanan dua orang tokoh utamanya, seorang sipir penjara bernama Yama (Samuel Rizal) dan Sasthi (Nadya Arina). Keduanya tengah mengantarkan jenazah ayah Sasthi, Ananta (Surya Saputra), yang sudah dibalut kafan putih untuk dimakamkan di daerah Cimacan, kampung halaman Ananta.
Film dimulai dengan adegan Ananta yang saat itu masih dipenjara tengah menyanyi tembang keroncong “Di Bawah Sinar Bulan Purnama” diiringi lantunan musik dari radio. Sembari menyanyi, ia menatap bulan yang hampir mencapai bentuk bulat sempurna. Kala itu, ia sedang menanti proses eksekusi mati.
Suasana mencekam sudah dibangun di awal. Bagian selanjutnya memperlihatkan eksekusi mati Ananta yang beralih ke sekuens yang menunjukkan Sasthi tengah bekerja sebagai penyanyi di sebuah rumah makan.
Di restoran tersebut, Sasthi tiba-tiba pingsan setelah melihat sosok hantu berwujud gadis kecil. Setelah siuman, ia tidak dapat lagi menemukan sosok gadis kecil tersebut. Dalam perjalanan pulang, salah seorang sipir penjara kemudian mencegatnya tepat di depan gerbang sebuah rumah. Sang sipir mengatakan ia membutuhkan bantuan Sasthi tanpa penjelasan lebih lanjut.
Usut punya usut, setelah tiba di penjara, Sasthi ternyata diminta untuk membunuh sang Ayah yang entah mengapa masih hidup meski telah dieksekusi mati. Kepala sipir mengatakan, sebelum dieksekusi, Ananta mengaku hanya Sasthi-lah yang dapat membunuhnya. Ini kedua kalinya para algojo gagal mengeksekusi Ananta.
Dalam adegan-adegan di penjara inilah muncul pula sosok Jayanti (Della Dartyan), wartawan sebuah surat kabar yang mengikuti kasus Ananta. Seorang teman Jayanti beserta keluarganya dibunuh Ananta. Pada titik inilah terjawab mengapa Ananta masuk penjara dan dieksekusi mati.
Ananta yang ternyata belum mati kemudian bangkit kembali, membuat kekacauan di penjara dan berhasil membunuh serta melukai sejumlah sipir. Sasthi sendiri sempat hampir mati di tangan Ananta, akan tetapi kemudian berhasil menembaknya hingga tewas. Meski demikian, ia melakukannya dengan terpaksa karena sesungguhnya ia masih sangat menyayangi sang ayah.
Singkat cerita, Sasthi kemudian ditemani oleh Yama menghantarkan jenazah Ananta kembali ke kampung halamannya di Cimacan dengan sebuah mobil jenazah. Ini juga karena wasiat Ananta yang meminta dikubur di sana dengan alasan agar jenazahnya tak dapat bangkit lagi dan menghantui orang. Perjalanan Yama dan Sasthi, yang dikuntit oleh Jayanti, untuk menguburkan Ananti inilah yang kemudian menjadi alur cerita utama dalam film horor ini.
Berusaha Orisinal
The Origin menggunakan sosok hantu khas Indonesia plus mengangkat narasi mistis Banaspati yang familiar di sebagian masyarakat Jawa. Dialog-dialognya adalah perpaduan bahasa Jawa, Sunda, dan Indonesia. Performa yang sangat baik dari para pemeran menjadi faktor penentu mengapa unsur-unsur tersebut dapat menyatu. Meski logat yang aneh dan kecanggungan beberapa pemain cukup terasa.
Dalam cerita-cerita hantu di Jawa, bangkitnya kekuatan jahat sering digambarkan memicu banyak petaka di masyarakat. Demikian pula dalam The Origin yang menampilkan hantu-hantu yang muncul entah dari mana seolah menyambut kepulangan jenazah Ananta ke kampung halaman, hingga Lurah Cimacan yang bunuh diri karena dipengaruhi roh jahat.
Konsep hantu yang menyertai sepanjang perjalanan, klaim Monty, adalah hal "baru" yang tidak banyak dijajaki film horor Indonesia. Menurutnya, film-film hantu di Indonesia lebih berorientasi pada satu lokasi, entah itu rumah angker atau daerah berhantu.
Sesuai klaim Monty di akun Twitter-nya, The Origin tidak banyak menyajikan jumpscare, alih-alih visual yang menggelisahkan dan mencekam. Dari awal hingga akhir, film ini mampu menjaga atmosfir tersebut.
Humor-humor yang disisipkan juga tidak merusak nuansa mencekam. Penonton dibuat tertawa oleh gestur-gestur kecil dan dialog jenaka. Misalnya adegan ketika Samuel Rizal membayar uang bensin kendati masih gemetar karena berjumpa dengan hantu di sebuah pom bensin. Akting yang pas dan tidak berlebihan Samuel sontak membuat penonton tertawa.
Terlepas dari sedikit problem performa pemeran, ada beberapa hal yang mengganggu dalam film ini. Kosongnya beberapa latar belakang dalam sejumlah adegan cukup membingungkan. Tak ada penjelasan kapan dan mengapa Sasthi terpisah dari Ananta, atau siapa sosok hantu gadis kecil yang dilihat oleh Sasthi. Latar belakang Ananta sendiri menyisakan lubang besar dalam film ini: sejak kapan dan kenapa ia belajar ilmu gaib?
Di luar itu, The Origin adalah film yang layak dinikmati.
Editor: Windu Jusuf