Menuju konten utama

Plus Minus Pengajuan Kredit Secara Online

Meski pengajuan pinjaman secara online terkesan mudah, tetapi persetujuan kredit sepenuhnya merupakan kewenangan dari rekan ataupun mitra seperti bank, multifinance maupun lembaga keuangan lainnya.

Plus Minus Pengajuan Kredit Secara Online
Ilustrasi KPR Online. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Pesatnya perkembangan teknologi informasi saat ini membuat segalanya dapat dilakukan secara online, tak terkecuali ketika mengajukan pinjaman. Berbagai penawaran kredit seperti kredit tanpa agunan (KTA) maupun kredit pemilikan rumah (KPR) secara online marak bermunculan. Namun demikian, kemudahan yang dijanjikan dari pengajuan kredit secara online itu ternyata memiliki sejumlah risiko mulai dari ketidakpastian permohonan hingga kebocoran data.

Mochamad Mu’alim, merupakan salah satu debitur yang merasakan bagaimana data pengajuan kreditnya justru disalahgunakan. Pria yang bekerja sebagai operator alat berat di Tuban, Jawa Timur ini pernah mengajukan permohonan kredit tanpa agunan (KTA) melalui sistem dalam jaringan di salah satu platform teknologi finansial (tekfin). Seluruh keterangan di kolom formulir pengajuan kredit diisi dengan sebenar-benarnya. Namun sayang, lantaran tengah bertugas di luar kota dan salah satu persyaratan permohonan kredit adalah bertemu langsung dengan kurir bank, prosedur pengambilan berkas pelengkap jadi tidak bisa dilakukan. Mu’alim lantas membatalkan permohonan kredit tersebut.

Masalah tidak selesai sampai di situ. Sebab, setelah pembatalan pengajuan kredit dilakukan, Mu’alim justru mendapat banyak telepon dari sales produk asuransi sampai dengan seminggu lamanya. Mu’alim saat ini justru terdaftar sebagai nasabah asuransi. “Itu semua terjadi tanpa persetujuan saya. Saya bingung, data saya bocor dan malah dihubungi asuransi,” kata Mu’alim.

Masalah berbeda dialami oleh Atin Suprihatin, pelaku UMKM di bilangan Depok. Semula, Atin ingin menambah modal usaha jualan seprai untuk menghadapi Idul Fitri. Ia pun mengajukan permohonan KTA online sejak dua bulan lalu di salah satu platform tekfin. Namun sayang, hingga saat ini tidak ada kejelasan mengenai status permohonannya meski formulir apliasi sudah diisi dengan lengkap. Tidak adanya respons dari platform yang bersangkutan, membuat Atin merasa ada kegagalan sistem.

“Saya cuma ingin pinjam Rp 5 juta untuk modal usaha karena sebentar lagi Lebaran. Tapi sampai sekarang tidak ada tanggapan dan saya terus bertanya-tanya apa akan ada pencairan kredit untuk saya,” cerita Atin.

Tirto mencoba bertanya kepada dua platform tekfin terkait pemberitahuan atau notifikasi permohonan kredit para calon debitur. Menurut John Patrick Ellis Co-Founder CekAja.com, ketidakjelasan mengenai status permohonan pengajuan kredit, dikarenakan back office atawa kantor belakang dari mayoritas lembaga keuangan di Indonesia masih belum terotomatisasi dengan teknologi. Sehingga, masih banyak proses yang berjalan kurang cepat.

“Aspek tersebutlah yang membuat proses persetujuan aplikasi permohonan kredit cukup lama dan sulit untuk memberikan transparansi kepada calon nasabah,” jelas Ellis kepada Tirto.

Pengecekan Tetap Konvensional

Para penyedia layanan kredit online itu juga menerapkan prosedur yang sama dengan kredit konvensional. Pengecekan rekam jejak debitur tetap dilakukan sesuai dengan ketentuan. Inilah yang pada akhirnya membuat proses kredit online hampir sama lamanya dengan kredit konvensional.

Taufik Lukman, Founder sekaligus Direktur KPR.Online menjelaskan, untuk syarat maupun dokumen yang diperlukan dalam pengajuan kredit termasuk KPR secara online, tetap sama seperti pengajuan pinjaman secara konvensional. Platform KPR.Online juga melakukan proses seleksi terhadap calon debiturnya dengan mengadaptasi prinsip 5C yang terdiri dari character, capability, capacity, collectibillity, serta collaterals.

“Jadi bisa dikatakan bahwa KPR.Online menyeleksi calon debitur ‘sama ketatnya’ sebagaimana seleksi yang dilakukan bank dalam menyetujui permohonan KPR secara konvensional,” jelas Taufik.

Adaptasi prinsip 5C tersebut berguna dalam proses analisa karakteristik dan juga kebutuhan calon debitur. Nantinya, dari hasil analisa tersebut, pihaknya dapat merekomendasikan bank mana yang paling sesuai untuk memenuhi kebutuhan kredit calon debitur. Baik CekAja.com maupun KPR.Online bilang, persetujuan permohonan kredit sepenuhnya merupakan kewenangan dari rekan ataupun mitra seperti bank, multifinance maupun lembaga keuangan lainnya.

Seleksi pengajuan kredit termasuk KPR secara online tetap dilakukan secara layak. Di KPR.Online misalnya, setelah calon debitur melakukan pengisian aplikasi formulir pengajuan kredit, KPR.Online lantas memberikan rating bintang 1 sampai dengan 5 terhadap data yang dimasukkan oleh konsumen. Rating dihitung berdasarkan prinsip 5C dan bintang 5 merupakan nilai tertinggi. Calon debitur yang memiliki rating baik ini, selanjutnya akan dipertemukan dengan bank yang paling sesuai untuk memenuhhi kebutuhan kreditnya.

“Tugas KPR.Online-lah untuk mempertemukan antara kebutuhan calon debitur dengan bank yang tepat sesuai karakteristiknya. Sementara, calon debitur yang memiliki rating buruk karena data yang tercatat di Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) OJK juga kurang baik atau cash ratio yang dimiliki tidak mencukupi, akan dinyatakan gagal dalam mendapatkan permohonan KPR,” rinci Taufik.

Dengan demikian, sesungguhnya pengajuan permohonan kredit secara online sama seperti konvensional. Yang membedakan antara pengajuan kredit termasuk KPR secara online dan konvensional, di antaranya segi waktu yang lebih efisien, perbandingan ragam produk tanpa harus mendatangi kantor cabang bank satu per satu, kalkulasi dan estimasi cicilan, dan juga konsultasi secara gratis.

Infografik KPR ONLINE

Hati-hati Kebocoran Data

Di sisi lain, kebocoran data masih menjadi hal yang pelik di ranah daring. Hingga saat ini, belum ada payung hukum yang jelas mengatur tentang perlindungan data pribadi masyarakat yang menjadi debitur maupun calon nasabah platform tekfin. Wakil Ketua Bidang Jasa Keuangan Asosiasi Fintech (Aftech) Adrian A. Gunadi mengaku, saat ini belum ada kode perilaku atau code of conduct yang bisa mengatur kerahasiaan data pribadi konsumen dan transparansi informasi.

Oleh sebab itu, Aftech belum memiliki kewenangan untuk mengatur anggotanya dalam hal menjaga bigdata konsumen. Dengan lahirnya code of conduct diharapkan nantinya para pelaku tekfin yang tergabung dalam asosiasi fintech memiliki keharusan untuk menjaga masalah kerahasiaan data. “Kalau pelaku tekfin tersebut tidak bisa dan setelah diaudit ternyata memang tidak menjaga masalah kerahasiaan data, maka pelaku tersebut harus keluar dari asosiasi,” kata Adrian.

Kepala Grup Inovasi Keuangan Digital dan Keuangan Mikro Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Fithri Hadi mengaku, pihaknya tengah melakukan review atas kode perilaku mengenai kerahasiaan data pribadi konsumen dan transparansi informasi. Proses tersebut dilakukan secara intensif dengan lembaga maupun kementerian terkait seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), serta Bank Indonesia. Nantinya, perlindungan data pribadi konsumen akan menjadi produk hukum turunan dari UU ITE yang saat ini sudah ada.

“Aturan mengenai perlindungan data pribadi konsumen akan keluar dalam waktu dekat, untuk meningkatkan keamanan. Ini perlu diatur, karena data pribadi menjadi aseat utama di era digital ini,” kata Fithri.

Baca juga artikel terkait KREDIT atau tulisan lainnya dari Dea Chadiza Syafina

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dea Chadiza Syafina
Penulis: Dea Chadiza Syafina
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti