Menuju konten utama

Petisi Penyidik ke Pimpinan: Tanda Intervensi ke KPK Nyata?

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menilai petisi dari pegawai KPK menguatkan dugaan lembaganya soal ketidakberesan di internal komisi antirasuah.

Petisi Penyidik ke Pimpinan: Tanda Intervensi ke KPK Nyata?
kantor komisi pemberantasan korupsi (kpk). tirto/andrey gromico

tirto.id - Belakangan beredar petisi dari pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berada di bawah naungan Kedeputian Penindakan. Dalam petisi itu, penyidik dan penyelidik komisi antirasuah mengeluhkan hambatan-hambatan yang muncul dalam penanganan kasus korupsi.

Peneliti Indonesia Corrutiption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengatakan tidak terkejut dengan adanya gejolak itu. Ia mengaku lembaganya memang sudah mencium ketidakberesan dalam kedeputian penindakan lembaga anti-rasuah tersebut.

Munculnya petisi dari pegawai KPK bertajuk Hentikan Segala Bentuk Upaya Menghambat Penanganan Kasus itu menguatkan dugaan ICW selama ini.

“Adanya petisi dari internal KPK terhadap pimpinan KPK mengenai isu penindakan, sebenarnya membuktikan ada yang tidak beres di internal kedeputian penindakan KPK,” kata Kurnia, di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (11/4/2019).

Dalam petisi itu, para pegawai penindakan KPK menyebut ada pihak yang sengaja mengulur-ulur proses gelar perkara (ekspose) hingga kurun waktu yang tidak jelas. Hal ini mengakibatkan kegagalan KPK untuk mengembangkan perkara korupsi ke pejabat yang lebih tinggi.

Selain itu, penyidik merasa sering terjadi kebocoran informasi soal OTT yang mengakibatkan kegagalan. Kebocoran ini dinilai dapat mengakibatkan ketidakpercayaan antara masing-masing personel di KPK. Hal ini dikhawatirkan akan berdampak buruk bagi keselamatan penggawai KPK.

Tak hanya itu, penyidik dan penyelidik juga sering dipersulit untuk memanggil saksi tertentu. Bahkan mereka pun dipersulit untuk menggeledah lokasi tertentu, dan permohonan untuk mencegah bepergian ke luar negeri juga seringkali ditolak.

Terakhir, para pegawai KPK juga menilai ada pembiaran terhadap pelanggaran berat yang dilakukan beberapa pihak di penindakan. Selain itu, penanganan masalah etik di Pengawas Internal juga dinilai tidak transparan.

Karena itu, kata Kurnia, gejolak kali ini tak bisa dilihat secara berdiri sendiri. Menurut dia, masalah ini diakibatkan kegagalan pimpinan lembaga anti-rasuah itu menegakkan aturan etik di lembaganya.

“Kami enggak kaget dengan isu seperti itu karena ICW pantau di masa kepemimpinan Pak Agus [Agus Rahardjo, Ketua KPK] kerap kali dikenal abai dengan penegakan etik di internalnya,” kata Kurnia.

ICW sebelumnya pernah melaporkan Deputi Penindakan KPK Brigjen Pol Firli kepada Komite Etik KPK. Penyebabnya, Firli diketahui pernah bertemu dengan Muhammad Zainul Majdi yang saat itu menjabat sebagai Gubernur NTB. Padahal, KPK tengah menyelidiki dugaan korupsi dalam divestasi PT Newmont dan pria yang akrab disapa TGB itu diduga terlibat.

ICW juga pernah mempermasalahkan mantan direktur penyidikan KPK Brigjen Pol Aris Budiman. Sebab, Aris hadir ke rapat Pansus Hak Angket KPK tanpa izin pimpinan KPK.

Selain itu, sebelumnya juga diduga ada dua orang penyidik KPK yang merusak barang bukti dalam kasus dugaan suap kepada Hakim Konstitusi Patrialis Akbar. Disebut di dalam barang bukti itu terdapat catatan aliran uang kepada seorang petinggi Polri.

“Hasilnya sama, dikembalikan ke instansi kepolisian, tetapi kita tidak mengetahui apa sanksi pelanggaran yang diberikan," kata Kurnia.

Kurnia menilai, pimpinan KPK harus tegas dalam menegakkan aturan internal di lembaganya. Jika tidak, maka ia khawatir hal ini akan benar-benar mengganggu usaha pemberantasan korupsi. Selain itu, jika dibiarkan berlarut, kejadian ini akan melunturkan kepercayaan publik kepada KPK.

Penilaian senada disampaikan mantan Ketua KPK Abraham Samad. Menurut dia, petisi tersebut muncul karena ada kegelisahan pegawai KPK atas pembiaran-pembiaran pelanggaran etik yang terjadi selama ini.

Untuk itu, Samad menilai pimpinan KPK saat ini harus menegakkan aturan etik secara transparan untuk merespons gejolak di internal komisi antirasuah itu.

"Sidang kode etik itu sangat menentukan untuk membuka apa sebenarnya yang terjadi itu harus dibuka umum," kata Samad, di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (11/4/2019).

Terkait ini, Kepala Biro Humas KPK Febri Diansyah mengakui soal petisi tersebut. Namun, ia menyebut petisi yang dilayangkan para pegawai itu sebagai masukan dan saran.

Menurut Febri, petisi itu pun telah diterima pimpinan KPK.

Febri menambahkan, Pimpinan KPK berencana menggelar pertemuan dengan para pegawai terkait petisi tersebut. "Dalam waktu yang tidak terlalu lama, jadi segera akan didengar apa masukan tersebut secara langsung," kata Febri di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu kemarin.

Febri menambahkan, komisi antirasuah menganut prinsip kesetaraan sehingga hal demikian sangat mungkin terjadi. Bahkan sebelumnya, kata Febri, pimpinan KPK digugat Wadah Pegawai KPK terkait surat keputusan rotasi jabatan sejumlah pegawai struktural KPK.

Mantan aktivis ICW ini pun mengingatkan agar masalah ini jangan sampai dimanfaatkan oleh pihak yang perkaranya tengah ditangani KPK. Ia pun memastikan penanganan kasus di KPK dilakukan secara 'prudent' berdasarkan hukum acara yang berlaku.

Baca juga artikel terkait KPK atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Hukum
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Abdul Aziz