tirto.id - Petaka itu terjadi pada Selasa, 11 April 2017, pukul 05.12 WIB, tepat hari ini dua tahun yang lalu. Wajah penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan disiram air keras oleh dua orang pengendara motor.
Kini pengungkapan kasus ini bernasib sama dengan penglihatan mata kiri Novel: gelap.
Harapan sebetulnya sempat muncul ketika Kapolri Jenderal Tito Karnavian menandatangani surat Sgas/3/I/Huk.6.6./2019 tertanggal 8 Januari 2019. Lewat surat itu, Tito membentuk tim khusus untuk mengusut kasus Novel.
Namun, penasihat hukum Novel sekaligus pengacara publik LBH Jakarta, Isnur, menilai tidak ada perkembangan berarti hingga kini. Misalnya, Novel sendiri belum pernah sekalipun dipanggil secara resmi oleh tim ini.
"Waktu itu sempat dipanggil, tapi kan enggak jelas [untuk pemeriksaan] informal atau apa," kata Isnur di Kantor ICW, Jakarta Selatan, Rabu (10/4/2019).
Maka wajar belaka jika menurut Isnur Novel tak yakin apakah tim ini benar-benar bekerja serius atau tidak. Selain itu struktur tim ini pun membuat banyak orang pesimistis kalau kasus Novel akan benar-benar selesai.
Tim ini diketuai Idham Azis, bekas Kapolda Metro Jaya yang kini menjabat Kabareskrim. Mereka akan bekerja selama enam bulan atau hingga 7 Juli mendatang. Mayoritas anggota berasal dari kepolisian, lebih tepatnya diisi penyidik yang sebelumnya juga menangani kasus Novel dan gagal/tak membuahkan hasil apa-apa.
Di satu sisi, kepolisian juga dinilai sudah melakukan pelanggaran prosedur (abuse of process) ketika menangani perkara ini. Pernyataan ini Isnur kutip dari hasil pemantauan Komnas HAM atas kasus ini.
"Makanya kami sejak awal tidak percaya [dengan tim gabungan]. Bisa jadi hambatannya justru di kepolisian itu sendiri," kata Isnur.
Salah satu anggota tim dari unsur pakar, Hermawan Sulistyo, pernah mengatakan kalau pesimisme itu sangat wajar. Kiki, panggilan Hermawan, menyatakan satu-satunya cara mengubah pandangan tersebut adalah dengan bekerja sebaik mungkin.
"Kami akan bekerja optimal, ada rasa pesimistis atau tidak. Tugas kami seperti itu [mengusut tuntas perkara]," katanya, Januari lalu.
Deputi Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Putri Kanesia menilai seharusnya tim gabungan merilis laporan kinerja mereka secara berkala. Dari situ masyarakat akan melihat apakah ada fakta baru yang ditemukan tim itu. Jika tidak, sebaiknya mereka dibubarkan saja.
"Kalau ternyata dari 100 hari tim bekerja dan tidak ada laporan yang signifikan, ya buat apa? Ini hanya pemborosan anggaran negara saja," kata Putri.
KPK Diminta Bergerak Sendiri
Peneliti divisi investigasi dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Wana Alamsyah juga mengatakan hal serupa: bahwa kasus Novel suram. Maka dari itu ia meminta KPK bergerak mandiri saja mengusut kasus penggawanya ini.
Menurutnya, KPK bisa menggunakan pasal 31 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi tentang perbuatan merintangi penyidikan (obstruction of justice).
"Setidaknya obstruction of justice bisa dilakukan, bisa disidik oleh KPK sehingga menjadi suatu pijakan untuk melihat bagaimana sebenarnya kasus ini bergulir," kata Wana pada kesempatan yang sama.
Wana menilai, ketegasan KPK amat diperlukan mengingat Novel bukanlah satu-satunya yang mengalami serangan fisik. ICW mencatat ada 15 serangan maupun kriminalisasi terhadap personel KPK, bahkan delapan di antaranya berstatus pimpinan.
Permintaan ini pun sebelumnya sudah dilayangkan oleh Komnas HAM, meski belum dijalankan.
"Obstruction of justice menjadi bagian penting dalam kerja kerja pemberantasan korupsi. Ini paling tepat dijalankan KPK," kata Anam, Januari lalu.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino