tirto.id - Pesimistis. Itulah satu kata yang keluar dari mulut Kuasa Hukum Novel Baswedan, Alghiffari Aqsa, ketika dimintai pendapat soal tim gabungan bentukan Kapolri untuk mengusut kasus kliennya.
Selasa, 11 April 2017, Novel Baswedan, penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), disiram air keras oleh dua pria yang mengendarai motor. Ia disiram ketika hendak pulang ke rumah selepas salat subuh di masjid.
Akibatnya mata Novel rusak, hingga kini. Pelaku tak juga terungkap meski peristiwa telah terjadi hampir dua tahun.
Pesimisme Alghiffari disebabkan karena komposisi tim gabungan sebagian besar berasal dari kepolisian. Tim gabungan yang dibentuk berdasarkan surat tugas yang ditandatangani Kapolri Jenderal Tito Karnavian ini beranggotakan 65 orang. Sebanyak 52 di antaranya anggota Polri, 6 orang dari perwakilan KPK, dan 7 pakar dari luar kepolisian.
Tim ini diketuai Kapolda Metro Jaya Irjen Idham Azis. Mereka akan bekerja selama enam bulan atau hingga 7 Juli mendatang.
“Mayoritas dari kepolisian dan diisi penyidik yang sebelumnya sudah hampir dua tahun gagal menyidik kasus serangan terhadap Novel,” ujar Alghiffari ketika dihubungi reporter Tirto, Senin (14/1/2019) kemarin.
Bagi Alghiffari, karena banyaknya polisi yang terlibat, independensi tim gabungan juga patut dipertanyakan. Apalagi Novel sendiri pernah mengatakan ada keterlibatan seorang jenderal polisi dalam kasusnya.
Alghiffari membayangkan idealnya ada beberapa karakter yang harus ada pada tim: pertama, komposisi tim harus proporsional; kedua rekam jejak mereka harus banyak mengkritisi kinerja kepolisian; ketiga paham mekanisme penyidikan tapi juga pro-agenda pemberantasan korupsi.
Karena sudah kadung dibuat, Alghiffari hanya berharap tim dapat membuktikan kerja mereka. Ia juga memperingatkan tim gabungan tidak bernasib sama seperti penyidik polisi yang pernah divonis lamban menangani kasus Novel oleh Komnas HAM.
“Perlu diingat kesimpulan Komnas HAM adalah terjadi abuse of process oleh penyidik kepolisian, jadi Kompolnas atau penyidik lain dapat memberikan sanksi kepada penyidik sebelumnya [yang mengusut kasus Novel namun mandek],” jelas dia.
Kritik juga disampaikan Novel Baswedan. Kepada reporter Tirto, Senin (14/1/2019) kemarin, Novel mengatakan pembentukan tim gabungan malah menunjukkan Kapolri tidak peka terhadap tuntutan masyarakat yang menginginkan pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) independen.
“Pembentukan tim ini justru menunjukkan Kapolri tidak peka dengan tuntutan publik juga tidak peka terhadap saya selaku korban,” katanya.
Lantas, apa tanggapan tim terhadap pesimisme ini?
Salah satu anggota tim dari unsur pakar, Hermawan Sulistyo mengatakan pesimisme itu sangat wajar muncul karena Novel tak mengenal mereka.
“Beliau [Novel] mungkin tidak tahu kami, maklum saja ada ketidakpercayaan yang sangat tinggi. Tidak apa,” ucap pria yang akrab disapa Kiki ini ketika dihubungi reporter Tirto, Selasa (15/1/2019).
Kiki yakin semua anggota tim punya integritas. Tapi ia tahu kalau pernyataan tersebut tak bakal mengubah pandangan pesimistis banyak pihak. Kiki menyatakan satu-satunya cara mengubah pandangan tersebut adalah dengan bekerja sebaik mungkin.
Pria yang juga bekerja sebagai peneliti di Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P LIPI) itu mengatakan dia dan anggota tim lain baru saja menerima laporan dari penyidik Polri soal kasus Novel. Untuk saat ini tim masih mempelajari isi laporan itu.
“Kami akan bekerja optimal, ada rasa pesimistis atau tidak. Tugas kami seperti itu [mengusut tuntas perkara],” tegasnya.
Reporter Tirto telah menghubungi Poengky Indarti, Nur Kholis, dan Ifdhal Kasim, untuk dimintai pendapat yang sama. Tapi mereka semua menyarankan untuk menghubungi Kiki saja selaku juru bicara. Sementara Indrayanto Seno Adji tak merespons.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino