tirto.id - Tingginya inflasi yang menghantam banyak negara tahun ini diperkirakan banyak orang akan berlanjut hingga tahun 2023. Begitulah kira-kira temuan dari perusahaan riset pasar dan konsultan Ipsos dalam laporan surveinya tahun ini berjudul "Ipsos Global Inflation Monitor" atau "Laporan Monitor Inflasi Global Ipsos".
Riset ini dilakukan Ipsos lewat kolaborasi dengan World Economic Forum (WEF) dengan mewawancarai lebih dari 24 ribu orang dari 36 negara tentang presepsi mereka tentang kondisi ekonomi global. Indonesia menjadi salah satu negara asal sampel survei ini. Sekitar 500 orang Indonesia terlibat menjadi responden.
Melalui survei yang dilakukan pada 21 Oktober hingga 4 November ini, Ipsos menyebut bahwa tujuh dari 10 orang (sekitar 69 persen) beranggapan inflasi akan terus meningkat, sehingga harga barang kebutuhan akan ikut naik pada tahun 2023.
Selain inflasi, suku bunga, pengangguran, dan pajak juga diprediksi para responden akan naik tahun depan. Lebih dari 60 persen responden memperkirakan kenaikan suku bunga dan pengangguran akan terjadi, sementara lebih dari 50 persen melihat akan ada kenaikan pajak di negaranya.
Namun, perlu diketahui pula bahwa proporsi responden survei yang merasa bahwa harga-harga akan naik tahun depan sebetulnya menurun dari 78 persen responden survei pada bulan April tahun ini, sehingga bisa dibilang pula bahwa ada sedikit peningkatan jumlah orang yang merasa lebih optimis terkait ekonomi tahun depan.
Meski begitu, survei Ipsos bersama WEF juga menemukan bahwa kenaikan-kenaikan ini membuat hampir sepertiga dari keseluruhan responden memperkirakan standar hidup mereka akan menurun.
Hal ini tergambar dari anggapan lebih dari 70 persen responden yang dalam enam bulan ke depan, memperkirakan pengeluaran rumah tangga mereka akan meningkat. Kondisi ini terkait dengan biaya tagihan dan belanja makanan yang diprediksi akan naik.
Melihat secara keseluruhan, Brasil menjadi negara dengan kekhawatiran --akan terjadinya inflasi pada tahun 2023-- paling kecil. Hanya sekitar 41 persen responden di sana yang beranggapan kalau akan terjadi kenaikan harga barang kebutuhan tahun depan.Menariknya, berdasar catatan Ipsos, Negeri Samba menjadi satu-satunya negara G20 yang memiliki tingkat inflasi lebih rendah pada Oktober 2022 dibanding awal tahun.
Secara khusus jika melihat responden dari Indonesia, ketakutan akan inflasi dan kenaikan harga barang kebutuhan juga cukup tinggi, sekitar 73 persen responden beranggapan inflasi akan meningkat pada 2023.
Lebih dari setengah responden juga khawatir terkait kenaikan suku bunga dan pajak tahun depan. Namun, proporsi responden asal Indonesia yang khawatir terkait dua isu ini masih di bawah rata-rata global, masing-masing 63 persen (suku bunga) dan 55 persen (pajak).
Responden Indonesia juga lebih takut terkait kenaikan tingkat pengangguran dibanding rata-rata responden global. Sekitar 72 persen responden beranggapan kalau tahun 2023 akan ada peningkatan pengangguran dalam jumlah besar, dibanding 61 persen rata-rata global.
Melihat dari komponen kebutuhan rumah tangga, sekitar 75 persen responden di Indonesia memperkirakan biaya bahan bakar kendaraan bermotor akan naik dalam enam bulan ke depan. Proporsinya lebih tinggi dibanding kenaikan biaya tagihan bulanan (listrik, air, dll) dan kebutuhan akan makanan.Penyebab Inflasi dan Hubungannya dengan Pekerjaan
Inflasi dan kenaikan biaya hidup yang mengikutinya punya banyak faktor yang bisa menjadi sebab. Kebanyakan orang berpendapat kalau kenaikan harga yang terjadi saat ini adalah akibat dari kondisi ekonomi global. Setidaknya ada 74 persen responden beranggapan seperti itu.
Invasi Rusia ke Ukraina yang masih berlansung hingga kini, yang berdampak pada kenaikan harga bahan makan dan energi sepanjang tahun ini, dinilai menjadi faktor besar lain yang mempengaruhi kenaikan harga. Faktor dalam negeri seperti suku bunga dan kebijakan dalam negeri juga secara langsung berdampak terhadap kenaikan harga dan inflasi yang terjadi saat ini.
Temuan ini sejalan dengan pernyataan The United Nations Development Program (UNDP). Pada pertengahan tahun 2022 mereka sempat mewanti-wanti, kalau krisis biaya hidup global akibat perang Ukraina-Rusia akan mendorong 71 juta orang yang tinggal di negara berkembang jatuh ke dalam kemiskinan. Disebutkan juga kalau konsekuensi dari melonjaknya harga makanan dan energi akan menyebabkan kemiskinan lebih cepat ketimbang dampak pandemi COVID-19.
Di Indonesia, faktor menonjol yang dinilai menyebabkan terjadinya kenaikan harga barang kebutuhan di antaranya adalah dampak berlanjut dari pandemi COVID-19, adanya entitas bisnis yang mencari keuntungan berlebih, dan tuntutan kenaikan gaji pekerja. Indonesia menjadi negara dengan level kepercayaan paling tinggi kalau tiga faktor tersebut menjadikan harga barang kebutuhan meningkat.
Namun, secara umum responden dari Indonesia menilai semua faktor menjadi penyebab kuat kenaikan harga yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir ini. Dari semua faktor yang ada, level kepercayaan orang Indonesia lebih tinggi daripada rata-rata global.
Selain terkait kenaikan harga barang kebutuhan, Ipsos juga coba menelaah sisi ketenagakerjaan, dampak dari inflasi. Secara global, selain ketakutan akan inflasi dirasakan banyak orang, kebanyakan pekerja merasa kalau tahun depan mereka tidak akan merasakan kenaikan gaji (38 persen). Kalaupun ada kenaikan gaji, sepertiga responden percaya kalau kenaikannya tidak akan sebanding dengan tingkat inflasi.Hanya sekitar 12 persen responden yang yakin kalau mereka akan mendapat kenaikan gaji yang dapat mengimbangi kenaikan inflasi. Sementara ada 8 persen responden yang beranggapan kalau dia akan mengalami penurunan gaji.
Tren ini juga diobservasi pada responden Indonesia. Proporsi responden Indonesia yang percaya akan mendapat kenaikan gaji yang seimbang dengan tingkat inflasi cukup besar, sampai 24 persen. Sementara mereka yang beranggapan kalau tidak akan ada kenaikan gaji (34 persen) dan kenaikannya lebih kecil dari tingkat inflasi (35 persen), cenderung serupa dengan presepsi masyarakat dunia.
Lebih lanjut, kondisi ekonomi global yang penuh ketidakpastian juga membuat pindah pekerjaan menjadi opsi yang mulai banyak dipertimbangkan. Berdasar survei Ipsos ini, terdapat 54 persen orang Indonesia yang akan mengatakan kemungkinan besar akan mencari pekerjaan baru tahun depan. Sementara mereka yang tidak berencana pindah pekerjaan, proporsinya 38 persen.Kondisi Inflasi Indonesia
Merujuk ke data Bank Indonesia, tingkat inflasi tahunan nasional ada di angka 5,42 persen pada November 2022. Angka ini cenderung tinggi jika dibandingkan dengan awal tahun yang ada di kisaran 2 persen. Namun, sebenarnya sudah ada tren menurun dalam dua bulan terkahir, mengingat pada September tingkat inflasi Indonesia sempat mencapai angka 5,95 persen.
Selain itu jika dibandingkan beberapa negara lain, realisasi inflasi di dalam negeri masih lebih rendah jika dibandingkan dengan inflasi di negara G20 lainnya lain.“Pencapaian inflasi Indonesia masih tetap terkendali di tengah tren inflasi tinggi yang masih terjadi di berbagai negara. Seperti Uni Eropa saat ini inflasinya tercatat sebesar 10 persen (year-on-year) pada November 2022. Kemudian India dan US yang realisasi inflasinya masing-masing tercatat sebesar 6,77 persen (year-on-year) dan 7,7% (year-on-year),” ungkap Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam keterangan resminya, Kamis (1/12/2022).
Pemerintah juga memprediksi kalau laju inflasi sampai akhir tahun akan berada di kisaran 5,43 persen hingga 5,5 persen.
Kondisi ekonomi yang cukup stabil ini juga ditunjukkan dari keyakinan konsumen. Berdasar Survei Konsumen November 2022 yang dirilis Bank Indonesia, optimisme konsumen terhadap kondisi ekonomi tetap terjaga.
Hal ini terlihat dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) teranyar yang ada di angka 119,1. Indeks ini mengindikasikan konsumen yang ada di level optimistis karena nilai indeksnya lebih dari 100, meski turun tipis dari angka Oktober 120,3.
Selain IKK, Indeks Kondisi Ekonomi saat ini (IKE) --yang menunjukkan keyakinan konsumen terhadap penghasilan saat ini dibandingkan enam bulan yang lalu-- dan Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) -- yang menunjukkan keyakinan konsumen dalam enam bulan yang akan datang dibanding saat ini-- juga menunjukkan bahwa responden Indonesia masih optimis.
Meski begitu, indeks IEK bulan November sebesar 127,9, terlihat jatuh cukup dalam dibanding bulan Agustus, sebesar 147,7.
Senada dengan prediksi pemerintah, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal, meyakini kalau tahun 2022 akan ditutup dengan kisaran inflasi 5 persen dan tahun depan inflasi akan mulai menurun.“Prediksi CORE Indonesia, tahun depan inflasi itu sekitar 3-4 persen. Jadi lebih kecil dibanding tahun ini --yang kami prediksi antara 5,3-5,5 persen," terangnya kepada Tirto (22/12/2022).
Meski menurut dia kondisinya belum bisa dibilang kembali 'normal' seperti sebelum pandemi COVID-19.
"Kondisi prapandemi itu normal, tidak ada guncangan signifikan terhadap ekonomi, sehingga inflasi 3 persen bisa dianggap kondisi normal. Tapi pada 2023 inflasi 3-4 persen itu tetap akan di tengah tekanan global. Jadi meski tidak sebesar tahun ini (2022), inflasi akan mendapat tekanan dari luar, jadi belum bisa dibilang kembali normal seperti sebelum pandemi," jelas Faisal.
Tren inflasi yang menunjukkan penurunan 3 bulan terakhir dan proyeksi IKK yang optimistis, disertai prediksi inflasi yang menurun, memang agak kontras dengan temuan dari survei Ipsos.
Menurut Faisal hal ini terkait dengan persepsi masyarakat Indonesia yang baru merasakan inflasi yang tinggi terdampak kenaikan harga bahan bakar, September 2022 lalu.
"Itu sebenarnya yang mempengaruhi. Pengalaman terakhir responden mempengaruhi persepsi mereka (yang disampaikan dalam survei). Jangan lupa juga opini dari para pejabat maupun menteri yang mengatakan 'tahun depan itu suram', itu mempengaruhi persepsi banyak orang. Wajar kalau kemudian timbul kekhawatiran terhadap inflasi," ujarnya.
Dia kembali meyakinkan kalau melihat data dan outlook tahun depan kondisi inflasi Indonesia akan lebih rendah. Apalagi, salah satu faktor pendorong inflasi tahun ini, kenaikan BBM bersubsidi, dirasa tidak akan terjadi tahun depan.
Angka inflasi yang menunjukkan tren penurunan dan proyeksi IKK yang optimistis, memang agak kontras dengan temuan dari survei Ipsos. Namun, melihat konteksnya riset Ipsos memang lebih condong memetakan potensi kondisi ekonomi dan dampak inflasi secara global.
Editor: Farida Susanty