tirto.id - Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini akan melemah karena pandemi Corona atau COVID-19. Skenario terburuknya, ekonomi akan tumbuh minus 0,4 persen.
“Kami (BI, OJK, LPS, KSSK) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan tumbuh 2,3 persen, dengan skenario terburuk bisa minus 0,4 persen,” ucap Menteri Keuangan sekaligus Ketua KSSK Sri Mulyani dalam siaran live di akun Youtube Kemenkeu RI, Rabu (1/4/2020).
Skenario tersebut berarti meleset jauh dari target pertumbuhan ekonomi tahun 2020, yang semula ditetapkan sebesar 5,3 persen. Adapun pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun lalu berada di angka 5,1 persen.
Sri Mulyani menyatakan dengan estimasi terbaru itu ada potensi sektor keuangan bisa tertekan. Ia bilang transmisinya bisa mengarah pada masalah sosial, ekonomi, dan ancaman stabilitas keuangan.
Elemen-elemen pendukung pertumbuhan ekonomi diperkirakan melemah. Misalnya, konsumsi rumah tangga yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia dengan kontribusi hingga 59 persen, diperkirakan hanya akan tumbuh 3,2 persen atau lebih rendah lagi di kisaran 1,6 persen. Nilai ini berarti jauh di bawah pertumbuhan konsumsi yang biasanya di angka 5 persen.
Sisi ekspor juga diperkirakan mengalami kontraksi, menjadi sekitar minus 14 persen hingga minus 15,6 persen. Ini jauh lebih besar dibandingkan tahun lalu yang minus sekitar 1 persen. Ekspor tercatat memberikan kontribusi hingga 18,61 persen.
Sementara investasi akan merosot dari perkiraan 6 persen menjadi hanya 1 persen. Kemungkinan terburuknya, kata Sri Mulyani, “bahkan minus 4 persen.” Selama ini investasi berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi sekitar 33,08 persen.
Tumpuan lain dari komponen pertumbuhan ekonomi berasal dari belanja pemerintah, yang pada tahun lalu berkontribusi sebesar 11,41 persen. Belanja pemerintah diperkirakan akan tumbuh 6,83 persen dan kemungkinan terburuk dijaga agar tidak lebih rendah dari 3,73 persen, yang merupakan angka pertumbuhan tahun 2019.
Catatan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Pandemi COVID-19 memang tak bisa dipandang sebelah mata. Dampaknya terhadap perekonomian diperkirakan sangat besar. Jika pertumbuhan ekonomi Indonesia sampai minus, itu berarti akan menyamai rekor saat krisis tahun 1998.
Menurut data Bank Dunia, krisis moneter tahun 1997 memukul telak perekonomian Indonesia sampai telak. Jika pada 1996 ekonomi masih mampu tumbuh 7,8 persen, maka pada tahun 1997 ekonomi hanya tumbuh 4,7 persen. Pertumbuhan ekonomi paling buruk terjadi pada 1998, saat mencatat angka minus 13,1 persen.
Secara perlahan ekonomi mulai merayap naik menjadi 0,791 persen pada tahun 1999. Ekonomi Indonesia baru menembus angka pertumbuhan 5 persen pada 2004, untuk selanjutnya meningkat hingga mencapai 6,34 persen pada 2007.
Memasuki 2009, ekonomi Indonesia kembali melemah di bawah 5 persen, tepatnya 4,6 persen, karena terhantam krisis finansial global.
Namun, setelah itu, ekonomi terus membaik hingga mencatat pertumbuhan di atas 6 persen sampai tahun 2012. Memasuki tahun 2013 hingga sekarang, pertumbuhan ekonomi konsisten di angka 5 persen--tahun 2014 lalu salah satu janji kampanye Presiden Joko Widodo adalah pertumbuhan ekonomi 7 persen.
Sekarang VS 1998
Pertumbuhan ekonomi minus yang diperkirakan terjadi tahun ini tidak sama kondisinya dengan 1998. Saat ini, Indonesia memiliki cadangan devisa sebesar 130,444 miliar dolar AS. Posisi cadangan devisa itu setara dengan pembiayaan 7,7 bulan impor atau 7,4 bulan untuk impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Tingkat inflasi juga terkendali: tahun 2019 angkanya 2,72 persen.
Sementara pada tahun 1997/1998, cadangan devisa Indonesia hanya 17,427 miliar dolar AS. Sementara inflasi tercatat sebesar 11,6 persen.
Dengan cadangan devisa yang minim, Bank Indonesia tak memiliki amunisi yang cukup untuk menahan gempuran pelemahan nilai tukar rupiah. Saat itu, rupiah mengalami pemburukan yang sangat cepat dari Rp2.450 per dolar AS pada Juni 1997 menjadi Rp13.513 per dolar AS pada Januari 1998. Kondisi itu membuat perusahaan-perusahaan yang memiliki utang dalam denominasi dolar terpukul, apalagi saat itu belum banyak diterapkan lindung nilai.
Saat ini, nilai tukar rupiah memang terus melemah, mengikuti tren pelemahan mata uang global. Dolar kini berada di kisaran Rp16 ribu. Namun, Bank Indonesia menegaskan terus mengupayakan agar pelemahan nilai tukar rupiah terkendali.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menjamin cadangan devisa Indonesia saat ini ini cukup untuk mengawal stabilisasi nilai tukar rupiah di tengah tekanan COVID-19.
Perry juga memastikan BI memiliki fasilitas currency swap secara bilateral bersama sejumlah bank sentral lain yang dapat mendukung cadangan devisa. Perjanjian bilateral tersebut dilakukan antara lain dengan Cina senilai 30 miliar dolar AS, Jepang sebesar 22,7 miliar dolar AS, Singapura sebanyak 10 miliar dolar Singapura, serta Austalia maupun bank sentral lain.
Ini berbeda dengan kondisi 1997/1998, saat Indonesia tak punya alternatif untuk mendapatkan pendanaan, hingga akhirnya meminta pertolongan ke IMF.
Penulis: Nurul Qomariyah Pramisti
Editor: Rio Apinino