tirto.id - “SMK Bisa! Siap Kerja, Cerdas, dan Berkompetisi!” Slogan tersebut dipromosikan oleh Departemen Pendidikan Nasional (Kini Kementerian Pendidikan dan kebudayaan/Kemendikbud) sejak 2009. Pada 2016, Presiden Jokowi juga menegaskan bahwa kita harus fokus menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas.
Pendidikan vokasi dan kebutuhan industri menjadi perhatian utama. SMK termasuk dalam lembaga pendidikan vokasi yang direvitalisasi sebagai implementasi dari Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2016 (PDF).
Kampanye tersebut boleh dibilang berhasil. Pada tahun ajaran 2010/2011, jumlah siswa baru SMK melampaui SMA, meski sejak tahun ajaran 2011/2012 jumlah siswa yang masuk SMA kembali lebih banyak dibanding SMK.
Kemendikbud boleh berbangga atas pencapaian ini. Namun, kampanye positif terhadap SMK belum sepenuhnya menghilangkan stigma negatif yang melekat dengan sekolah kejuruan ini. Anggapan bahwa kualitas SMK tak sebagus SMA, perilaku siswa yang distigma bandel, dan kurang mendukungnya lingkungan belajar menjadikan SMK dipandang sebelah mata dan kerap dijadikan pilihan kedua.
Pelabelan bandelnya siswa SMK ini bukan tanpa dasar juga. Ada kasus-kasus melibatkan siswa SMK yang berujung nyawa melayang. AAB meregang nyawa pada 14 Februari 2017 dalam tawuran antara siswa SMK Budi Murni 4, SMK Bunda Kandung, dan SMK Adi Luhur 2. Ada sekitar 41 siswa yang terlibat dan langsung dikeluarkan pihak sekolah. Tidak hanya itu, Deny Setiawan, pengemudi taksi daring di Kota Semarang tewas di tangan dua siswa SMK berinisial DR (16) dan IB (16) yang diduga merampok korban. Y, salah satu siswa SMK di Balikpapan, menganiaya gurunya hingga masuk rumah sakit. Penganiayaan tersebut menyebabkan Pri (41), guru teknik mesin otomotif, menderita memar di sekujur tubuh.
Label negatif ini bertambah parah ketika melihat angka putus sekolah yang tinggi pada siswa SMK. Dalam kurun waktu 10 tahun, ada 1.052.437 siswa SMK yang drop out. Angka tersebut lebih banyak 251.005 siswa dibanding jumlah drop out siswa SMA, yakni 801.432 orang. Tren drop out memang cukup dinamis antara SMA dan SMK dengan jumlah drop out paling besar terjadi pada tahun ajaran 2009/2010, 170.832 siswa SMK dan 141.712 siswa SMA.
Sejak 2014/2015, SMA berhasil mengurangi jumlah drop out secara konsisten. Hal sama yang juga terjadi pada SMK. Sayangnya kembali terjadi kenaikan drop out SMK pada 2017/2018. Selain itu, terlihat jelas bahwa jumlah siswa SMK yang putus sekolah masih jauh lebih banyak dibanding SMA sejak 2012.
Berdasarkan Statistik SMK Tahun 2017/2018 (PDF), angka drop out siswa SMK paling banyak berasal dari Jawa Barat dan Jawa Timur, menyumbang masing-masing 17.494 siswa dan 11.715 siswa.
Angka pengangguran lulusan SMK juga tinggi. Berdasarkan data BPS mengenai pengangguran berdasarkan pendidikan tertinggi yang ditamatkan, SMK selalu menyumbang proporsi pengangguran cukup besar. Menurut statistik sejak Agustus 2015, lulusan SMK selalu menempati posisi kedua angka pengangguran, di bawah lulusan SMA. Pada Agustus 2017, lulusan SMK menyumbang angka 22,39 persen pengangguran, lebih sedikit 4 persen dibanding SMA yang menyumbang 26,39 persen pengangguran.
Hal tersebut ironis, mengingat SMK dirancang untuk menyiapkan lulusan yang dapat bekerja sesuai kompetisi yang dimiliki. SMK seharusnya bisa menjadi solusi dari gap antara dunia sekolah dan industri, sebab siswa SMK dipersiapkan menjadi tenaga kerja yang handal yang siap-pakai.
Pada akhirnya, permasalahan ini akan membentuk lingkaran setan: SMK menjadi pilihan kedua bagi para lulusan SMP, banyak siswa SMK yang drop out, dan pengangguran yang tinggi setelah lulus. Pemerintah boleh bahwa slogan "SMK Bisa!" mampu membawa minat banyak lulusan SMP untuk melanjutkan ke SMK. Namun, apa artinya pendaftar yang tinggi apabila angka putus sekolah tinggi, dan yang lulus pun tak diserap lapangan kerja?
Pemerintah pun tengah berupaya memperbaiki kualitas SMK dengan menjalankan program revitalisasi SMK. Hingga 2019, akan ada 1.650 SMK dari total 13.600 SMK yang akan direvitalisasi, sementara revitalisasi SMK lainnya diserahkan kepada pemerintah provinsi. Program ini tentunya diharapkan dapat membantu memperbaiki kualitas pendidikan SMK, mulai dari kurikulum, pendidik, fasilitas, kerja sama dengan dunia usaha dan dunia industri, serta kualitas lulusan.
Butuh waktu dan upaya berkelanjutan untuk menghasilkan kualitas SMK yang lebih baik. Juga untuk menghapus stigma negatif yang kerap dilabelkan pada SMK dan siswanya. Ini tentu pekerjaan mahaberat yang perlu upaya jauh lebih keras dibanding kerja-kerja kampanye "SMK Bisa!".
Editor: Maulida Sri Handayani