Menuju konten utama

Salah Kaprah Lulusan SMK

Haruskah para lulusan SMK melanjutkan kuliah agar tak kalah pamor?

Salah Kaprah Lulusan SMK
Ratusan pelajar Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) mengikuti tes rekrutmen salah satu perusahaan otomotif di Auditorium SMK Negeri 5, Surabaya, Jawa Timur, Selasa (23/5). ANTARA FOTO/Moch Asim

tirto.id - Putra (22) baru saja diputus hubungan kerja. Ia bercerita, dari 20 orang di satu divisi, 10 orang tak diperpanjang kontrak, termasuk dirinya. Kini, sudah genap dua bulan anak muda lulusan SMK Teknik Elektro ini belum mendapat pekerjaan pengganti.

Padahal, di awal kelulusan, ia sempat jemawa lantaran langsung diterima menjadi teknisi di salah satu perusahaan telekomunikasi terbesar di Indonesia. Dan tanpa harus menyandang gelar sarjana.

“Beda banget sekarang sama awal lulus, dulu ngelamar di beberapa tempat semua dipanggil. Sekarang nggak tahu kenapa susah banget,” keluhnya kepada Tirto.

Cerita Putra menguatkan pandangan bahwa lulusan SMK sangat singkat. Perusahaan umumnya hanya mempekerjakan mereka hingga usia 22 tahun, kemudian kontrak akan dilanjutkan oleh lulusan-lulusan SMK yang baru.

Sejatinya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah membuat program Revitalisasi SMK. Dalam program yang diimplementasikan dari Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2016 tentang Revitalisasi SMK itu terdapat beberapa komponen revitalisasi. Di antaranya adalah kerja sama dengan dunia usaha dan dunia industri (DUDI), kurikulum, pendidik, fasilitas, dan kualitas lulusan. Agar kualitas lulusan SMK juga dapat bersaing di dunia kerja, Kemendikbud melakukan revitalisasi tahap awal meliputi 219 SMK yang tersebar di berbagai wilayah Tanah Air.

Hingga tahun 2019, Kemendikbud akan merevitalisasi 1.650 SMK dari total SMK di Indonesia sebanyak 13.600 SMK. Agar sesuai dengan perkembangan di dunia industri, revitalisasi akan meliputi ruang praktik atau laboratorium, serta peralatan dan bahan praktik.

Sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 20 Tahun 203 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sekolah menengah kejuruan bertujuan untuk menyiapkan lulusannya terutama untuk bekerja. Hal ini mengandung makna bahwa lulusan SMK dipersiapkan untuk mengisi struktur tenaga kerja terampil level menengah guna mendukung perkembangan dunia usaha dan industri.

Tapi, meski sudah ditopang beragam fasilitas dan kerjasama ini itu, di sisi lain, para lulusan SMK ini tak mendapat kepastian terhadap keberlangsungan masa kerjanya. Kebanyakan dari mereka, malah terus-terusan menjadi karyawan kontrak hingga harus menerima ketika di-PHK tiba-tiba. Nasibnya jadi abu-abu, niat hati masuk SMK agar cepat bekerja tanpa perlu kuliah. Namun, ternyata masa kerja hanya berlangsung dalam beberapa kali kontrak kerja.

Infografik Salah Kaprah SMK

Kuliah Setelah SMK

Pada tahun 2017, Kemdikbud telah menunjuk 125 SMK yang memiliki bidang keahlian sesuai dengan prioritas pembangunan nasional, yaitu kemaritiman, pariwisata, pertanian (ketahanan pangan), dan industri kreatif. Pemilihan keempat sektor unggulan nasional tersebut didasarkan arah pembangunan ekonomi Indonesia dan diproyeksikan akan menyerap sejumlah besar tenaga kerja.

Lulusan SMK sejak awal memang sudah disiapkan sebagai "generasi pembangun" dan lebih cepat memasuki dunia kerja karena telah memiliki dasar lebih kokoh untuk bidang tertentu. Sedang lulusan SMA dianggap sebagai jembatan untuk masuk jenjang pendidikan lebih tinggi.

Padahal, jika lulusan SMK melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi, mereka dapat menjadi tenaga ahli spesialis. Apalagi, ada beberapa perusahaan yang mensyaratkan para tenaga ahlinya memiliki lembaran ijazah strata satu. Selain itu, mereka juga akan memiliki nilai tawar lebih sehingga bisa mendapatkan kepastian masa kerja.

Direktur Pembinaan SMK Kemdikbud Mustaghfirin Amin mengatakan prospek lulusan SMK memang didedikasikan untuk bekerja ataupun berwirausaha. Melanjutkan ke tingkat perguruan tinggi, diperuntukkan bagi lulusan SMA. Walau, ia tak menutup kemungkinan para lulusan SMK ini untuk kuliah.

“Kita memang dorong lulusan SMK ini untuk bekerja. Idealnya memang bekerja dulu selama 2-4 tahun baru kuliah, setelah matang dan persis tahu apa yang bagus di dunia kerja,” katanya kepada Tirto.

Kuliah, bagi para lulusan SMK yang sudah pernah bekerja, ibarat sebuah pengembangan diri agar tidak tertinggal dengan kualitas lulusan S-1. Selain itu, mereka juga tak membebani negara serta orang tua untuk biaya pendidikan.

“Secara nasional sangat diharapkan dan sudah produktif, bisa menghasilkan sendiri. Berbeda dengan yang sekolah kan konsumtif, butuh biaya kuliah dll,” ujar Mustaghfirin.

Saat disinggung mengenai siklus kerja yang singkat, ia menyangkal hal tersebut. Kalau pun terdapat praktek masa kerja seperti itu, ia menduga hanya untuk bidang pekerjaan umum. Selama tenaga dan kemampuan si anak dianggap mumpuni, ia yakin kontrak kerja akan terus dilanjutkan.

Menurutnya, agar mendapatkan kontrak kerja yang menjanjikan, para lulusan SMK ini bisa mendaftar pada industri spesifik. Seperti, pertambangan, produksi mesin, pembuatan mobil, teknisi elektro, bengkel, atau restoran.

“Di sektor yang spesifik itu malah terkadang anaknya yang tidak betah dan mau keluar sendiri. Karena makin lama makin pandai. Perusahaan akan akan rugi kalau melepas.”

Ada baiknya para lulusan SMK memang tidak langsung menutup diri untuk tak melanjutkan kuliah lantaran sudah bekerja. Karena bagaimanapun, setiap tahunnya keluar para pencari kerja lain yang memiliki kualifikasi pendidikan lebih tinggi dan dapat menggeser posisi pekerjaan mereka.

Faktanya, lulusan SMK yang menjadi pengangguran masih sangat tinggi. Mereka akan kalah bersaing dengan sarjana-sarjana yang jumlahnya tak kalah banyak setiap tahunnya. Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), angka pengangguran yang berasal dari lulusan SMK per Februari 2017 mencapai 1.383.022 orang. Angka itu meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang sebanyak 1.348.327.

Namun, angka pengangguran dari SMK itu lebih baik dibandingkan pengangguran lulusan SMA yang per Februari 2017 mencapai 1.552.894. Angka pengangguran lulusan SMA juga mengalami kenaikan dibandingkan tahun sebelumnya sebanyak 1.546.699. Data-data tersebut tentunya menjadi sebuah pekerjaan rumah yang harus dipikirkan oleh pemerintah.

Baca juga artikel terkait SMK atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti