Menuju konten utama

Persahabatan-Persahabatan yang Mengubah Dunia Seni

Beberapa seniman bersaing, berkelahi, saling cerca, tapi juga saling bekerja sama mengubah dunia seni.

Persahabatan-Persahabatan yang Mengubah Dunia Seni
Andy Warhol dan Jean-Michel Basquiat di depan karya kolaborasi mereka, 1985. FOTO/AP/Richard Drew

tirto.id - Dalam hidupnya yang singkat, Jean-Michael Basquiat meninggalkan kesan mendalam bagi dunia seni. Anak dari pasangan Haiti dan Puerto Riko itu menggebrak lanskap seni rupa 1980an dengan karya-karya grafitinya. Dinding di Lower Manhattan adalah saksi bagaimana Basquiat mengasah bakat sebelum kelak menjadi eksponen terkemuka gerakan neo-ekspresionis pada 1980an.

Membicarakan Basquiat tak lengkap tanpa menyelipkan hubungannya dengan legenda pop culture Andy Warhol. Bagi Basquiat, Warhol merupakan sosok idola sekaligus tauladan yang mempengaruhi karya-karyanya.

Perjumpaan Basquiat dan Warhol terjadi pada musim gugur 1982. Adalah Bruno Bischofberger, rekan Warhol asal Zurich yang mengenalkan Basquiat dengan mengajaknya mengunjungi bengkel seni Factory. Usia Basquiat kala itu masih 19 tahun.

Kedekatan Basquiat dan Warhol sudah dapat diduga sejak pertemuan perdana. Victor Bockris dalam Warhol: A Biography (1989) menggambarkan hubungan keduanya sebagai “pernikahan gila dunia seni.” Menurut Bockris, ikatan antara Basquiat dan Warhol melambangkan simbiosis mutualisme.

Baca juga:Jalan Hidup Pelukis Jalanan Jean-Michel Basquiat

Basquiat memerlukan ketenaran Warhol untuk mendongkrak karya-karyanya. Sementara Warhol membutuhkan Basquiat agar apapun yang ia ciptakan dan promosikan terus bercitarasa pemberontak. Basquiat, tulis Warhol dalam buku hariannya pada 4 Oktober 1982, adalah salah seorang pemuda yang membuatnya “gila.”

Relasi Basquiat dan Warhol adalah bromance dalam dunia seni.

Walaupun memiliki talenta menjanjikan, Basquiat tak pernah benar-benar dikooptasi oleh lingkaran elit kesenian. Karya-karyanya bahkan sempat ditolak masuk Museum of Modern Art atau Whitney Museum. Sebab itulah ia mengajak Warhol untuk berkolaborasi agar nilai jual karya-karyanya naik.

Beberapa karya kolaborasi lahir selama berlangsungnya kerja sama Basquiat dan Warhol. Pada 1985, karya kolaborasi bertajuk Arm and Hammer IIdirilis. Secara garis besar, Arm and Hammer II merepresentasikan bagaimana proses kreatif keduanya dipenuhi intervensi; saling membebaskan ide-ide liardan memberi masukan satu sama lain. Karakter pop culture karya-karya Warhol berpadu dengan gaya ekspresif Basquiat.

Setahun berselang, mereka kembali menghasilkan karya berjudul Ten Punching Bags (Last Supper). Karya ini lahir karena permintaan Alexander Iolas, seorang kurator seni internasional yang minta Basquiat agar memamerkan karya-karyanya di Milan. Apabila Last Supper karya Leonardo da Vinci yang dibuat saat zaman Renaisans bernuansa religius, maka di tangan Basquiat dan Warhol makna penjamuan terakhir menjelma seruan perlawanan terhadap segala bentuk penindasan atas nama ideologi.

Baca juga:Mengapa Orang-Orang Kaya di Asia Membeli Lukisan Mahal?

Tak ketinggalan pula karya berjudul Untitledyang mereka produksi pada 1984. Karya ini dianggap sebagai kolaborasi terbaik Basquiat-Warhol. Selain laku keras di pasaran (ditaksir berharga 700 ribu hingga 1 juta euro). Seniman Keith Haring memuji Untitled sebagai “percakapan yang terjadi melalui cat lukis.”

Sayangnya, persahabatan mereka harus berakhir kala Warhol meninggal pada 1987. Kepergian Warhol membuat Basquiat terpukul. Akhirnya, obat-obatan menjadi pelampiasan yang berujung kematiannya pada 1988. Usianya baru menginjak angka 27.

Kedekatan Basquiat dan Warhol menjadi inspirasi bagi Lonny Price untuk mengangkatnya ke dalam pertunjukan teater. Menggandeng penulis naskah Calvin Levels, Price menyajikan potret dramatis tentang hubungan Basquiat dan Warhol. Bertajuk Collaboration: Warhol & Basquiat, pertunjukan tersebut digelar pada 2 Desember 2016 di Here’s Mainstage Theatre, SoHo.

Collaboration: Warhol & Basquiat juga terinspirasi dari jepretan foto Michael Halsband. Dalam foto tersebut, digambarkan Basquiat dan Warhol mengenakan perlengkapan tinju dan saling melempar pukulan ke depan.

Persaingan dan Pertemanan Pablo Picasso & Henri Matisse

Hubungan sama juga terjadi pada dua pelukis Pablo Picasso dan Henri Matisse. Bedanya, dalam kedekatan Picasso dan Matisse terselip bumbu rivalitas untuk menunjukkan karya siapa yang terbaik.

Perjumpaan Picasso dan Matisse diprakarsai oleh Gertrude Stein. Saat itu, Picasso diperkenalkan oleh Matisse di Paris sekitar tahun 1906. Ketika bertemu, kondisi keduanya berbeda bak kutub utara dan selatan. Picasso adalah perantau dari Spanyol yang datang ke Paris untuk menempa potensinya menjadi pelukis handal, sedangkan Matisse sudah terlebih dahulu berkarir. Matisse bahkan memperkenalkan gaya fauvisme, sebuah gerakan dalam impresionisme. Lukisan-lukisannya bercirikan warna-warna kontras yang dibubuhkan ke kanvas dengan sapuan-sapuan kuas besar.

Baca juga:Lukisan-lukisan Malang yang Hilang Dicuri

Mulanya, hubungan Picasso dan Matisse berjalan baik. Matisse, yang secara usia dan pengalaman lebih senior dibanding Picasso (selisih 11 tahun) memberikan saran dan membantu Picasso menentukan gaya melukisnya. Matisse, dengan kata lain, adalah mentor Picasso.

Seiring berjalannya waktu, Picasso justru merasa terintimidasi oleh kecakapan Matisse. Ia merasa terus dibayang-bayangi Matisse. Keduanya pun pisah jalan.

Benih rivalitas mulai tumbuh ketika lukisan Matisse berjudul Woman in a Hatterjual lebih mahal daripada lukisan Picasso yang bertajuk Boy Leading a Horse. Tak puas dengan hal tersebut, Picasso bekerja lebih keras untuk menghasilkan lukisan-lukisan yang bisa menyaingi Matisse. Tapi Matisse pun seolah kian tak terkejar dengan karya Le Bonheur de Vivre (1906) dan Blue Nude: Memory of Briska (1907) yang panen pujian.

Picasso akhirnya mampu melampaui Matisse dengan Les Demoiselles d’Avignon. Karya ini merupakan terobosan penting dalam karir Picasso. Gaya kubis Les Demoiselles d’Avigno nampak radikal dan merontokkan pakem-pakem lukisan tradisional yang figuratif.

Persaingan Picasso-Matisse terus berlanjut. Pada 1914 dan 1915, Picasso memamerkan Harlequin, sementara Matisse merilis Goldfish and Palette. Kali ini pujian mengalir untuk karya Picasso. Harlequin menggambarkan bagaimana refleksi diri seorang Picasso ketika mendampingi kekasihnya yang terkena kanker. Meski demikian, pengamat mengatakan kualitas Harlequin tak bisa dilepaskan dari Goldfish and Palette milik Matisse.

infografik taulan sejati dunia seni

Persaingan Picasso dan Matisse pada dasarnya adalah pertarungan dua gaya lukis. Gaya dan pemikiran Picasso cenderung revolusioner jika dibandingkan Matisse yang konservatif. Karya-karya Matisse meriah dengan warna, bercorak dekoratif, serta mengusung kesatuan komposisi. Berbeda dengan karya Picasso yang monokrom dan fragmentatif.

Akhirnya, rivalitas Picasso dan Matisse hanya selubuk di balik relasi pertemanan yang terjalin sejak lama. Menurut Francoise Gilot, pasangan Picasso, keduanya adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Walaupun Picasso dan Matisse terjebak dalam rivalitas, mereka saling menikmatinya dan tetap memberi masukan satu sama lain.

Misalnya ketika Picasso mengkritik keputusan Matisse menghias dekorasi Gereja Vence. Picasso mempertanyakan langkah tersebut karena ia paham bahwa Matisse adalah seorang ateis dan pendukung partai komunis. Matisse yang dikritik Picasso hanya diam mendengarkan. Matisse pun pernah berujar bahwa tak seorang pun yang bisa mengkritik karyanya selain Picasso.

Matisse wafat pada 1954 dan mewariskan ide-idenya untuk dilanjutkan Picasso. Dua bulan kemudian, Picasso mengembangkan ide Matisse yang dimuat dalam 15 seri yang dirilis di pameran After Delacroix dan Women of Algiers di Museum Louvre.

Baik Matisse maupun Picasso tak saling suka lukisan satu sama lain. Seumur hidup keduanya saling memprovokasi satu sama lain, tak mau mengalah, namun juga tak ragu untuk saling mengadopsi gaya. Di balik rivalitas itu, nyatanya tersimpan persahabatan yang mengubah dunia seni.

Baca juga artikel terkait SENI RUPA atau tulisan lainnya dari M Faisal Reza Irfan

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: M Faisal Reza Irfan
Penulis: M Faisal Reza Irfan
Editor: Windu Jusuf