tirto.id - Pengadilan Hakim Metropolitan menolak permohonan jaminan atas 10 warga negara Indonesia (WNI) yang menghadiri pertemuan Jemaah Tabligh di Nizamuddin Markaz di Delhi. Hal ini berarti, kesepuluh terdakwa asal WNI itu akan tetap berada di tahanan pengadilan hingga 11 Mei.
Sebanyak 12 orang yang terdiri dari enam laki-laki dan enam perempuan, termasuk 10 terdakwa mengunjungi Delhi pada Maret untuk menghadiri pertemuan keagamaan Jamaah Tabligh. Setelah pertemuan itu, mereka bertolak ke Mumbai pada 7 Maret dan tinggal di sebuah apartemen di Bandra. Dua di antaranya masih dalam karantina. Demikian dilansir Hindustan News.
Atas hal itu, mereka dituduh atas kasus percobaan pembunuhan dan kelalaian yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang, sesuai dengan KUHP yang berlaku di India, bersama dengan dakwaan lainnya. Mereka ditangkap Kepolisian Bandra pada 23 April.
Kuasa hukum terdakwa Ishrat Khan, yang tengah mencari jaminan untuk sepuluh terdakwa mengatakan tuduhan tersebut tidak dapat dikenakan dalam kasus ini.
Pada Senin (4/5/2020), saat pledoi dibacakan, jaksa penuntut tidak memberi jawaban atas permohonan jaminan kuasa hukum. Kendati demikian, kuasa hukum terdakwa bersikeras bahwa pengadilan tidak memiliki yurisdiksi atas tuntutan dari jaksa.
Pengadilan kemudian mempertimbangkan argumen tersebut namun menolak pledoi. Sidang akan dilanjutkan pada agenda permintaan uang jaminan.
Pada 22 Maret, markas Jamaah Tabligh ditutup dan sekitar 2.500 orang di sana diisolasi. Dari jumlah tersebut, sekitar 664 di antaranya merupakan warga negara Indonesia.
Pemerintah India, yang dipimpin perdana menteri ultra-nasionalis dan anti-muslim Narendra Modi, beralasan pertemuan itu "menyebabkan lonjakan coronavirus terbesar di India".
Al Jazeera mencatat, dari sekitar 4.400 kasus positif COVID-19 di India, yang penduduknya 1,3 miliar, "hampir sepertiganya terkait pertemuan keagamaan di Markaz, kantor pusat Jamaah Tabligh biasa dikenal."
Editor: Dieqy Hasbi Widhana