Menuju konten utama

Perludem Nilai Kasus Oesman Sapta jadi Ujian Integritas Bawaslu

Bawaslu seharusnya tidak perlu bingung mengeluarkan kebijakan terhadap OSO dengan mengacu putusan Mahkamah Konstitusi yang melarang ketum parpol rangkap jabatan anggota DPD.

Perludem Nilai Kasus Oesman Sapta jadi Ujian Integritas Bawaslu
Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Abhan (tengah) berbincang dengan Komisioner KPU Hasyim Asy'ari (kanan) dan Tim Kuasa Hukum Oso Gugum Ridho Putra (kiri) dalam sidang lanjutan dugaan pelangggaran administrasi terkait pencalonan Oesman Sapta Odang alias Oso sebagai anggota DPD, di Kantor Bawaslu, Jakarta, Rabu (2/1/2019). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar

tirto.id - Publik menanti putusan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) terkait dengan kasus Oesman Sapta Odang (OSO) yang diputuskan pada Rabu (9/1/2019) besok.

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi ( Perludem) Fadli Ramadhanil mengatakan, Bawaslu seharusnya tidak perlu bingung mengeluarkan putusan Ketua Umum Partai Hanura itu.

Menurut dia, acuannya sudah jelas yakni Mahkamah Konstitusi nomor 30/PUU-XVI/2018 yang melarang ketua umum partai politik rangkap jabatan sebagai anggota DPD.

"Kalau penyelenggara pemilu konsisten dengan putusan MK itu, tentu tidak akan lama seperti ini," ujar Fadli dalam diskusi Koalisi Masyarakat Selamatkan Pemilu di kantor Bawaslu, Jakarta Pusat, Selasa (8/1/2019).

Fadli menilai perkara OSO ini membuang energi. Prosedur pencalonan anggota DPD sudah disepakati dan OSO yang sudah diberikan kesempatan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mundur sebagai pengurus parpol agar dapat ditetapkan menjadi calon anggota DPD. Tapi hingga masa validasi surat suara DPD tetap memilih tidak mundur sebagai pengurus partai politik.

"Sekarang Bawaslu diuji dan sejauh mana pelaksanaan ini sesuai dengan konstitusi. Kita menunggu keputusan Bawaslu besok," katanya.

Sengketa administarif yang diajukan OSO ini bermula dari surat bernomor 1492 yang dikirimkan KPU kepada OSO pada 8 Desember 2018. Dalam surat tersebut, KPU memberikan waktu hingga Jumat (21/12/2018) kepada OSO untuk mundur dari jabatannya sebagai pengurus Hanura jika ingin namanya masuk ke dalam DCT anggota DPD Pemilu 2019.

Surat KPU dianggap OSO bertentangan dengan putusan MA bernomor 65/P/U/2018 tanggal 25 Oktober 2018 yang menyatakan putusan MK baru berlaku pada Pemilu 2024. Putusan MA itu diperkuat putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Nomor 242/G/SPPU/2018/PTUN-Jakarta tanggal 14 November 2018.

Menurut Fadli putusan Mahkamah Agung dan PTUN yang menguntungkan OSO itu bertentangan sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi.

"Dalam pertimbangan putusan MA dan PTUN tidak ingin mengatakan putusan MK keliru, tapi secara substansi keluar dari yang seharusnya dipertimbangkan MK," tuturnya.

Baca juga artikel terkait OESMAN SAPTA ODANG atau tulisan lainnya dari Bayu Septianto

tirto.id - Politik
Reporter: Bayu Septianto
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Zakki Amali