Menuju konten utama

Perludem: Calon Tunggal di Pilkada adalah Anomali Demokrasi

"Calon tunggal di (Pilkada) Indonesia terjadi di daerah yang jumlah pemilihnya besar. Lalu kekuatan parpolnya cukup terdistribusi dengan baik,” kata Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini.

Perludem: Calon Tunggal di Pilkada adalah Anomali Demokrasi
Anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) mempraktekkan cara menyoblos surat suara calon tunggal saat simulasi pemungutan dan penghitungan suara Pilkada di Pati, Jawa Tengah, Senin (9/1/2017). ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho.

tirto.id - Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai kehadiran calon tunggal pada sejumlah Pilkada di Indonesia selama ini mencerminkan terdapat tiga anomali demokrasi.

Dia mengamati kemunculan calon tunggal baru marak terjadi setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengizinkan keberadaan satu kandidat dalam Pilkada. Legalitas calon tunggal di Pilkada baru muncul usai MK mengabulkan permohonan uji materi UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota, pada 29 September 2015.

"Kalau dilihat, calon tunggal hanya di 3 daerah dari 269 Pilkada, pada 2015. Lalu, di Pilkada 2017 naik jadi 9 daerah, padahal daerah yang menggelar Pilkada turun jadi 101,” ujar Titi di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (2/1/2018).

Artinya, jumlah Pilkada dengan calon tunggal meningkat hampir 300 persen, dari 2015 ke 2016, justru ketika jumlah daerah penyelenggara pemilihan jauh menurun.

Anomali kedua menurut Titi adalah dasar kemunculan calon tunggal di Pilkada di Indonesia. Menurutnya, fenomena calon tunggal di Indonesia berbeda dengan apa yang terjadi di negara-negara lain.

Titi menjelaskan, calon tunggal juga kerap muncul di pemilihan umum negara lain. Namun, kemunculan seorang calon kepala daerah umumnya terjadi di daerah yang skala daerah pemilihannya kecil.

"Karena skalanya kecil, jumlah pemilih tak signifikan, parpol tak begitu terpengaruh eksistensinya. Tapi calon tunggal di (Pilkada) Indonesia terjadi di daerah yang jumlah pemilihnya besar. Lalu kekuatan parpolnya cukup terdistribusi dengan baik,” kata Titi.

Dia melanjutkan, “Fenomena calon tunggal ini anomalinya dapilnya besar, pemilih banyak, di tengah sistem multipartai."

Anomali ketiga, menurut dia, calon tunggal di Pilkada selama ini kerap memiliki hubungan dengan kepala daerah petahana. Bahkan, tak jarang ada kepala daerah petahana yang menjadi calon tunggal di Pilkada daerahnya.

Menurut Titi, anomali ihwal calon tunggal di Pilkada itu menunjukkan kesalahan partai politik dalam melihat dan mengartikan Pilkada. Ajang pemilihan lima tahunan itu hanya dianggap sebagai ruang merebut kekuasaan oleh tiap kandidat atau parpol.

"Mestinya Pilkada dilihat sebagai medium uji kemampuan, ketangguhan partai dalam mengukur daya tarung kelembagaan partainya untuk merebut pengaruh pemilih. Jadi kalau Pilkada ditempatkan sebagai uji tangguh dan kekuatan kelembagaan maka kalah/menang jadi target kedua," kata Titi.

Pada kesempatan yang sama, Komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI Mochammad Afifuddin menilai fenomena calon tunggal di Pilkada dapat merusak iklim demokrasi. Sebab, masyarakat akan memiliki piihan terbatas dengan kehadiran calon tunggal di Pilkada.

"(Calon tunggal) Itu boleh, tapi tidak baik bagi iklim demokrasi," kata Afifuddin.

Karena opsi calon kepala daerah minim, partisipasi masyarakat di Pilkada yang memiliki kandidat tunggal juga diprediksi beperluang besar menurun. Afif juga khawatir kaderisasi di parpol akan berjalan lambat karena minimnya kandidat yang diusung pada Pilkada.

"Hasil evaluasi daerah dengan calon tunggal (karena), (ialah) partisipasi pemilih menjadi minim, semakin sedikit parpol, semakin sedikit opsi pilihan," kata dia.

Baca juga artikel terkait PILKADA atau tulisan lainnya dari Lalu Rahadian

tirto.id - Politik
Reporter: Lalu Rahadian
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Addi M Idhom