tirto.id - Menurut Badan Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-bangsa (FAO), lahan budidaya kelapa sawit di seluruh dunia mengalami perluasan besar-besaran, dari 3,6 juta hektar menjadi 13,2 juta hektar, dalam rentang 1961 hingga 2006.
Sawit, terutama sawit Afrika atau Elaeis guineensis, memang merupakan salah satu tanaman khatulistiwa yang paling banyak dibudidayakan dalam beberapa dekade terakhir. Perkebunannya terdapat di 43 negara, di atas hampir 10 persen lahan tani permanen dunia.
Dua negara penghasil minyak sawit terbesar adalah Indonesia dan Malaysia, masing-masing dengan perkebunan seluas 4,1 juta dan 3,6 juta hektar pada 2008.
Kedua negara itu juga ditumbuhi oleh sekitar 11 persen hutan tropis yang tersisa di Bumi, rumah bagi sejumlah spesies langka atau endemik, dan mengingat bahwa luas daratan punya batas dan tak ada tumbuhan yang bisa ditanam di langit, cepat atau lambat, perluasan lahan budidaya sawit dan ketahanan hutan tentu akan bertabrakan.
Pada 2008, sebagai tanggapan terhadap kekhawatiran negara-negara Eropa selaku importir dan kampanye para aktivis lingkungan tentang hal itu, perwakilan industri minyak kelapa sawit di Asia Tenggara menyatakan bahwa perkebunan-perkebunan mereka justru menguntungkan bagi keragaman hayati dan bahwa perluasan perkebunan sama sekali tidak mengorbankan hutan.
Informasi-informasi itu disarikan dari penelitian Lian Pin Koh dan David S. Wilcove yang diterbitkan jurnal Conservation Letters pada 2008. Keduanya ialah pakar ekologi dari Universitas Princeton, Amerika Serikat. Menurut mereka, permintaan produk-produk hasil budidaya kelapa sawit di tingkat dunia akan meningkat secara ajek, dan akibatnya, ekspansi perkebunan tanaman tersebut bakal jalan terus.
Mereka memperkirakan wilayah Asia Tenggara, yang sesungguhnya telah mengalami deforestasi atau pengurangan hutan yang relatif besar, pada tahun 2100 kelak akan kehilangan sekitar tiga perempat kawasan hutannya serta 13 hingga 42 persen populasi spesies-spesies dalam ekosistem regional.
Namun, beginilah suara Kementerian Perindustrian Indonesia dalam artikel berjudul “Prospek dan Permasalahan Industri Kelapa Sawit” yang dirilis (tanpa keterangan waktu) di situs resminya: “Tidak dapat dipungkiri, prospek industri kelapa sawit kini semakin cerah baik di pasar dalam negeri maupun di pasar dunia. Sektor ini akan semakin strategis karena berpeluang besar untuk lebih berperan menjadi motor pertumbuhan ekonomi nasional dan menyerap tenaga
“Sementara itu di pasar dunia, dalam 10 tahun terakhir, penggunaan atau konsumsi minyak sawit tumbuh sekitar rata-rata 8%-9% per tahun. Ke depan, laju pertumbuhan ini diperkirakan akan terus bertahan, bahkan tidak tertutup kemungkinan meningkat sejalan dengan trend penggunaan bahan bakar alternatif berbasis minyak nabati atau BBN seperti biodiesel.”
Tulisan itu juga menyatakan bahwa Kementerian Perindustrian, bersama Departemen Kehutanan dan sejumlah pemerintah daerah, bertekad mendorong kelancaran perluasan lahan sawit. Luas lahan yang tercatat pada waktu itu adalah 5,6 juta hektar, dengan hasil panen rata-rata 2 hingga 3 ton per hektar, yang tersebar di 19 provinsi, sedangkan potensi lahan yang tersedia diperkirakan mencapai 26 juta hektar.
Padahal, menurut Koh dan Wilcove, luas lahan di Indonesia dan Malaysia yang termasuk kategori “Other Land” alias bukan hutan atau pertanian aktif tak sampai seperlima dari keseluruhan—dan itu sudah termasuk kawasan tempat tinggal.
Luas total daratan Indonesia adalah 190,4 juta hektar dan seperlimanya adalah sekitar 38 juta hektar. Lantas, di manakah 26 juta hektar untuk perkebunan sawit baru yang dimaksud Kementerian Perindustrian?
Ada dua kemungkinan: alihfungsi lahan-lahan perkebunan yang sudah ada (karet, misalnya) atau pembabatan hutan. Dalam konteks ketahanan ragam hayati, menurut penelitian Koh dan Wilcove, pilihan pertama jauh lebih baik.
Dasarnya ialah hasil riset lain yang dilakukan Peh pada 2005-06. Riset itu membandingkan kekayaan spesies burung-burung hutan di hutan primer, hutan sekunder (hutan yang sudah mengalami pembalakan), perkebunan karet, dan perkebunan kelapa sawit di semenanjung Malaysia bagian selatan, dalam 720 survei selama lebih dari 5 bulan.
Data yang tim Peh dapatkan menunjukkan bahwa alihfungsi hutan primer dan sekunder menjadi perkebunan sawit mengurangi kekayaan spesies burung hutan sebanyak lebih dari 70 persen, sedangkan alihfungsi perkebunan karet menjadi perkebunan sawit “hanya” berakibat pengurangan sebesar 14 persen. Pola yang sama juga ditemukan pada kekayaan spesies kupu-kupu hutan di Kalimantan.
Tapi, kenapa rupanya jika ragam burung dan kupu-kupu berkurang? Bukankah mereka semua terlihat sama saja?
Keragaman hayati adalah jembatan yang menghubungkan semua organisme di Bumi. Ia berperan mengikat segenap makhluk hidup dalam sebuah ekosistem yang interdependen atau saling tergantung satu sama lain. World Wildlife Fund (WWF) menyebutnya jejaring kehidupan. Artinya, apabila krisis keragaman hayati terjadi, kesehatan dan hajat hidup manusia terancam secara langsung.
Sebenarnya, sejak 2011, sudah ada instruksi moratorium atau penundaan pembukaan lahan sawit baru dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tahun ini, pemerintahan Presiden Joko Widodo memperpanjang masa berlaku instruksi tersebut hingga lima tahun mendatang.
“Kami ingin menata kembali lahan sawit, termasuk meningkatkan produksi lahan yang sudah ada dan melakukan penanaman ulang,” ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution pada 15 Juli lalu, usai ia memimpin rapat koordinasi lanjutan rancangan penundaan izin perkebunan kelapa sawit.
Namun, kenyataan di lapangan tentu bisa lain. Tahun 2013, misalnya, sekalipun ada instruksi moratorium, toh lahan sawit tetap bertambah banyak. Saat itu, menurut Irwan Gunawan dari WWF, luas keseluruhan perkebunan sawit di Indonesia adalah 13,5 juta hektar, lebih banyak 4,2 juta hektar ketimbang yang diketahui Kementerian Pertanian.
Soal utamanya adalah koordinasi pemerintah pusat dan daerah dalam hal pengawasan. November 2013, penyelidikan WWF menyingkap pembukaan lahan sawit baru seluas 52 ribu hektar di hutan Tesso Nilo, Riau, dan hampir 16 ribu hektar di antaranya ialah kawasan taman nasional. Menyatakan kasus semacam itu sebagai kesilapan jelas perbuatan mengada-ada.
Penulis: Dea Anugrah
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti