tirto.id - Beberapa waktu lalu, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengkritik Sandiaga Uno. Muasalnya pernyataan Sandiaga, dalam salah satu kampanye dia untuk Pilpres 2019, yang berjanji akan memperlancar perizinan nelayan. Sandiaga, yang dikenal sebagai politikus banyak tingkah dan berkata ngawur, menyatakan janji macam itu karena mendengar keluhan soal birokrasi izin perkapalan yang masih rumit dan berbelit.
Namun, menurut Susi sebagai menteri yang menangani urusan nelayan, Sandiaga semestinya membaca dan memahami aturan hukum yang sudah dijalankan di perairan dan laut Indonesia. Terutama Sandiaga harus memahami hal-hal mendasar ini sebelum ia berkomentar dan membuat janji politik.
Debat antara Susi dan Sandiaga lebih berkonteks politis. Terlepas dari debat keduanya, bagaimana sebenarnya gambaran usaha perikanan tangkap di Indonesia? Bagaimana perizinannya? Bagaimana soal wilayah pembagian untuk penangkapannya?
Wilayah Utama Perikanan Tangkap
Di Indonesia, data terakhir dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ada 564.008 rumah tangga/perusahaan perikanan tangkap pada 2015. Dari jumlah itu, Jawa Timur memiliki jumlah terbanyak (60.631 rumah tangga/perusahaan perikanan tangkap); disusul Maluku (52.123), Sumatera Selatan (44.062), Sulawesi Selatan (28.370), dan Sulawesi Tenggara (25.503). Seperti diketahui, wilayah dari kelima provinsi ini memang dekat atau memiliki sumber daya laut yang luas.
Sementara untuk Jambi, Yogyakarta, dan Kalimantan Barat adalah wilayah-wilayah dengan jumlah sedikit rumah tangga/perusahaan perikanan tangkap. Ketiga provinsi ini memang minim sumber daya lautnya.
Meski demikian, wilayah penangkapan ikan tidak berdasarkan pembagian administratif provinsi semata. Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 18/Permen-KP/2014 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara RI, Indonesia terbagi menjadi 11 wilayah pengelolaan perikanan. Dari WPPNRI 571 yang meliputi perairan Selat Malaka dan Laut Andaman hingga WPPNRI 718 meliputi perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian Timur. Pembagian wilayah ini tak sebatas penangkapan ikan. Tapi juga termasuk pembudidayaan ikan, konservasi, penelitian, dan pengembangan perikanan.
Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) per 22 Oktober 2018 memperlihatkan WPP RI 718 adalah wilayah dengan jumlah kapal perikanan terbanyak, mencapai 1.223 kapal perikanan yang terdaftar.
Wilayah lain dengan kategori yang sama: perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut Cina Selatan (WPP 711) dengan 696 kapal perikanan. Juga perairan Samudera Hindia sebelah Barat Sumatera dan Selat Sunda (WPP 572) dengan 643 kapal perikanan.
Dari peta di atas, bisa kita lihat WPP RI 718 berdekatan dengan beberapa provinsi di kawasan timur Indonesia seperti Papua, Papua Barat, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur. Sementara WPP 711 mencakup kawasan di dekat sisi timur Pulau Sumatera dan Kalimantan Barat. Adapun WPP 572 mencakup keseluruhan bagian barat Pulau Sumatera.
Kawasan-kawasan yang memiliki jumlah rumah tangga atau perikanan tangkap terbanyak, sebagaimana ditunjukkan dalam sebaran di peta, menjadi wilayah strategis pengelolaan perikanan di Indonesia.
Memusat di Jakarta
Pengusaha atau nelayan kapal perikanan wajib mengurus administrasi, sebagaimana diatur dalam regulasi di Indonesia mengenai perikanan. Administrasi ini meliput surat izin penangkapan ikan (SIPI), surat izin usaha perikanan (SIUP), dan surat izin kapal pengangkutan ikan (SIKPI).
Kapal seberat di atas 30 GT (tonase kotor) mesti mengurus ketiga surat izin itu ke pemerintah pusat. Sebaliknya, pengusaha atau nelayan dengan kapal di bawah 30 GT cukup mengurus administrasi ke pemerintah provinsi.
Berdasarkan data kepemilikan Surat Izin Usaha Penangkapan (SIUP), Jakarta menjadi provinsi dengan SIUP aktif paling banyak (1.041 SIUP). Provinsi lain adalah Jawa Tengah (764), Kepulauan Riau (434), dan Sumatera Utara (406).
Sekalipun WPP 718 adalah wilayah dengan sebaran kapal perikanan paling besar; jumlah SIUP gabungan dari beberapa provinsi yang berdekatan dengan wilayah itu sangatlah minim. Total SIUP aktif di Maluku, Nusa Tenggara Timur, dan Papua sebagai provinsi terdekat di WPP 718 hanya 164. Dengan demikian, rumah dari kapal perikanan yang beredar di pelbagai WPP Indonesia masih memusat di Jakarta.
Hal yang sama tampak dalam rekapitulasi kepemilikan SIPI/SIKPI kapal di atas 30 GT. Sesuai Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan 17/ 2006, kapal perikanan dengan berat 10 hingga 30 GT wajib memiliki SIPI dan/atau SIKPI. Sementara kapal-kapal di bawah 10 GT telah dibebaskan dari perizinan dan tinggal melaut tapi harus terdaftar.
Aturan spesial untuk kapal dibawah 10 GT, salah satunya merujuk pada Surat Edaran Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 0600/MEN-KP/XI/2014 pada 7 November 2014. Dalam surat tersebut, Menteri Susi menegaskan pembebasan pungutan atau retribusi untuk kapal motor nelayan (KMN) kecil (berukuran di bawah 10 GT). Namun, kewajiban untuk melaporkan diri dan berkoordinasi dengan birokrasi pemerintahan daerah tetap berlaku.
Mengenai pengurusan surat izin, secara prosedural SIPI dan SIKPI membutuhkan waktu maksimal 30 hari kerja. Memang, ada banyak proses dalam pengurusan kedua surat tersebut tapi seluruh proses itu tak lebih dari satu bulan.
Untuk mengurus SIUP, kita perlu menyiapkan beberapa dokumen: rencana usaha, NPWP, Akte pendirian perusahaan, pengesahan badan hukum dan sebagainya. Sementara untuk mengurus SIPI/SIKPI, dokumen yang perlu kita lengkapi berupa Buku Kapal, Daftar sentra nelayan (SIKPI SN), SKAT VMS, Ket. Pendaratan & Pangkalan dan sebagainya.
KKP dapat memberlakukan sanksi administratif atau sanksi pidana bagi pelanggaran. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17 tahun 2006. Sanksi administratif bisa berupa peringatan tertulis, pembekuan, atau pencabutan SIUP, SIPI, SIKPI, dan/atau Alokasi Penangkapan Ikan Penanaman Modal (APIPM).
Permasalahan Perizinan Tetap Ada
Sayangnya, birokrasi yang lambat seringkali dikeluhkan nelayan yang ingin mengurus perizinan. Pada 3 September 2018, misalnya, Sulawesi Utara, Sumatera Barat, dan Jawa Tengah menerbitkan surat izin keterangan melaut kepada kapal-kapal ikan di daerah. Surat ini lantas menjadi inisiatif dari pemerintah daerah dan berlaku sebagai pengganti surat izin penangkapan ikan yang pengurusannya lambat.
Sekalipun begitu, keluhan yang kerapkali muncul adalah dari kelompok kapal perikanan di atas 30 GT. Beberapa nelayan di Ambon, Maluku misalnya, pada awal 2018 pernah mengeluhkan lamanya proses perolehan SIPI.
Masalah lain ada kasus-kasus pelanggaran dan kecurangan perizinan. Materi dari Dirjen Perikanan Tangkap 2017, misalnya, memuat contoh modus tersebut seperti data ganda kapal, dokumen tidak lengkap atau tidak valid, data kapal yang tidak sama dengan sebenarnya, dan beberapa modus penyalahgunaan Buku Kapal Perikanan (BKP). Padahal, kelompok kapal perikanan di atas 30 GT tentu bukan dalam arti nelayan biasa lagi. Volume dan tangkapan penghasilan mereka melebihi nelayan-nelayan biasa.
Pada isu lain, ada wewenang pemerintahan daerah untuk mengatur soal perizinan perikanan atas kapal bertonase tertentu turut menjadi tantangan baru. Tentu tidak semua pemerintahan daerah mampu melaksanakan kebijakan yang mendukung birokrasi yang efektif dan efisien.
Editor: Fahri Salam