Menuju konten utama

Menteri Susi: Apa yang Terjadi di Gensan, Bukan Urusan Kami!

Menteri Susi mengklaim, dengan minimnya pencurian ikan di perairan Indonesia, nelayan kapal kecil makin mudah dan berlimpah menangkap ikan.

Menteri Susi: Apa yang Terjadi di Gensan, Bukan Urusan Kami!
Ilustrasi Susi Pudjiastuti. tirto.id/Sabit

tirto.id - Kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti memerangi pelbagai praktik illegal, unreported, unregulated fishing sejak 2014 ditengarai bikin limbung industri tuna di Kota General Santos, selatan Filipina.

Geliat industri tuna di Gensan sejak lama dihidupi, di antara sumber lain, dari ikan-ikan yang diambil dari perairan Indonesia. Sejak langkah kebijakan Susi, gerak para nelayan ikan dari sana terhambat.

Pada akhir Juli lalu, Susi Pudjiastuti menerima Arbi Sumandoyo, Damianus Andreas, dan Zen RS dari Tirto di kantornya. Dalam pertemuan ini hadir pula Kepala Koordinator Staf Khusus Satgas Pemberantasan Penangkapan Ikan secara Ilegal Mas Achmad Santosa, Direktur Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Balok Budiyanto, dan Kepala Pangkalan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Jakarta Pung Nugroho Saksono, yang sempat 3,5 tahun menjabat Kepala Bitung.

Bagian perdana wawancara ini sudah kami tayangkan pada 1 Agustus lalu. Bagian ini membahas di antaranya praktik kartel garam dan motivasi penenggelaman kapal di perairan Indonesia dari taktik kebijakan Susi setelah menjabat pada Oktober 2016.

Dalam wawancara itu, kami menyinggung sekilas mengenai Gensan, kota pelabuhan industri ikan tuna besar di Filipina.

Sila Baca: “Kalau Enggak Terima, Silakan Gagalin Saya Jadi Menteri”

Bagian terakhir dari wawancara yang diturunkan kali ini lebih berfokus pada dampak kebijakannya terhadap kota-kota pelabuhan ikan di kawasan Asia Tenggara, yang semula bergantung pada sumber (kekayaan) laut Indonesia. Ia juga membahas hasil dari kebijakan itu, yang diklaimnya bisa dinikmati para nelayan dalam negeri.

Sejak 2014, bisnis perikanan di Kota Gensan lesu akibat kebijakan Anda. Ada tanggapan?

Kami enggak peduli apakah Gensan lesu. Yang penting, mereka tidak nyolong ikan kita. Itu kita cari tahu, nyolong lagi enggak? Transhipment (alih muat) di tengah laut lagi enggak? Tapi kami enggak peduli di Gensan lagi terjadi apa. Bukan urusan kami.

Pernah ada pernyataan dari Anda yang mengkritisi Walikota Gensan, Ronnel Rivera, yang bilang orang kita enggak bisa jadi kapten kapal?

Ya, benar. Karena memang selama ini mereka pakai orang-orang Filipina. Tidak mau orang Bitung. Itu persoalan buat kita, saya tidak boleh. Laut kita, ya harus orang kita.

Tapi bukan masalahnya kita bisa atau enggak, kan? Lebih ke soal kapalnya enggak bisa ambil secara ilegal?

Ya orangnya juga persoalan. Kalau tanya soal orang Sulawesi di Filipina, kita tidak tahu. Sebagai menterinya saja, saya tidak tahu. Tapi saya tahu, orang Filipina yang nyolong ikan pakai kapal Indonesia, bukan kapal Filipina, yang dinamakan Sangihe-Philippines. Mereka pakai KTP palsu, jumlahnya ada semua di buku Satgas.

Ini kejahatan tidak mungkin dilakukan hanya oleh mereka?

Nah, itu. Agen-agen Indonesia. Perusahaannya yang mana saja kita tahu soal itu. Kami ada datanya. Tapi kalau yang di Gensan sana, dan orang Indonesia, kami tidak tahu.

Apa yang terjadi di Gensan sana, kami tidak tahu. Itu di luar yurisdiksi kami. Kamu cari sendiri di Gensan. Tapi kalau yang terjadi di Bitung, perusahaan Filipina di Bitung, saya tahu.

Apakah perusahaan ini masih ada dan beroperasi?

Ya enggak, dong. Kapalnya, kan, sudah enggak beroperasi. Kena moratorium Permen 56/2014, sudah habis.

Artinya masih ada?

Nama PT-nya masih ada. Tapi tidak punya kapal lagi, karena izinnya dicabut. Sudah enggak ada lagi. Jadi mereka tidak lagi beroperasi.

Adakah angka peningkatan pembelian dari Gensan setelah transhipment dilarang, dengan cara legal?

Enggak tau juga. Secara legal, kalau beli, kan, boleh. Kalau tidak ada peningkatan, berarti bisa diasumsikan mereka menahan sampai saya diganti.

Kami tidak punya data soal itu. Yang pasti mereka akan terus mencari cara supaya transhipment dikeluarkan kembali, penangkapan ikan tetap dikerjakan.

Tapi yang pasti, intinya, sekarang banyak perusahaan penanaman modal asing ini berhenti. Mereka tidak ingin beli ikan kita. Alasannya, hasil nelayan kita ukuran ikannya tidak pas, dan sebagainya. Mereka sengaja tutup karena kebijakan yang terus kita kampanyekan.

Kami hanya tahu, sampai hari ini mereka mengeluh karena enggak dapat ikan. Karena mereka mau beli murah.

Transhipment secara ilegal tetap jalan, kan?

Transhipment di tengah laut, masih jalan mereka. Dibantu agen-agen nakal Indonesia. Karena cukup ketat penjagaan wilayah kita, sehingga tidak lagi bisa pindahkan ikan di kawasan Indonesia.

Di mana yang dulu bisa dilakukan, tapi sekarang tidak bisa?

Ya di sepanjang perbatasan. Itu memang biasanya dilakukan di negara yang mencuri, dekat kawasan kita. Seperti di Filipina, itu di Samudera Pasifik. Kalau Thailand, di Natuna. Itu mereka kapal asing, hit-and-run karena patroli kita sekarang sudah di dekat perbatasan. Saya mau patroli jangan cuma main di dalam, tapi harus jaga di garda paling depan. Di sepanjang luar Zona Ekonomi Eksklusif (zona seluas 200 mil laut dari garis dasar pantai).

Pengawasan ini di banyak dilakukan di kawasan perairan mana?

Lebih banyak di utara. Kalau di selatan, di luar Samudera Hindia. Perbatasannya, kan, dekat Australia. Di Australia, cenderung tidak ada yang berani mencuri. Barat juga jarang. Tendensinya lebih banyak yang di utara. Laut Cina Selatan, Thailand, Filipina, Vietnam, Malaysia di Selat Malaka. Titik-titik rawannya di sana. Makanya kami tambahin, khususnya kapal penangkap, kapal pengangkut, dan kapal lampu.

Seperti apa mekanisme transhipment ilegal selama ini?

Mereka beroperasi menggunakan rumpon. Kalau Filipina itu payau. Kapal lampu di sekitar rumpon, posisinya melingkar, mengambil ikan di rumpon, ditarik, dan dipindahin ke kapal pengangkut.

Kapal pengangkut ini yang jumlahnya dalam satu grup ada empat kapal, ada yang tujuh kapal. Hanya satu yang cenderung masuk ke Indonesia. Sisanya lari. Karena kapal penangkap itu enggak ada palka. Jadi, begitu diangkut ke kapal angkut, yang satu masuk, yang lain lari.

[Tambahan dari Mas Achmad Santosa] Nah, mereka ini lari ke Gensan. Saya pernah ke Gensan, yang namanya Pelabuhan Gensan itu produksinya sama dengan 10 pelabuhan di Bitung. Atau 10 kali lipat produksi ikan yang didaratkan di Bitung. Dari mana ikannya? Ya dari Indonesia lah. Dengan permainan grup dan agen yang ada di Bitung itu.

Bagaimana dengan kapal-kapal lokal yang melakukan penangkapan ikan ilegal?

Hajar langsung. Pidana ya pidanakan. Kalau perlu pemiliknya penjarakan. Kami sudah melakukan itu. Pemilik kapal lokal kami jadikan tersangka. Artinya, kalau zaman dulu jangankan kapal lokal, kapal eks asing yg notabene pemiliknya lokal saja tidak tersentuh sama sekali. Enggak ada yg mengutik itu.

Dalam catatan KKP, ada berapa kapal lokal yang kena kasus ini?

Kapal yang beroperasi, yang eks asing itu ada kewajiban membuat laporan kegiatan penangkapan. Taruhlah satu perusahaan, ada dua kapal penangkap dan tujuh kapal angkut. Yang dilaporkan kegiatan penangkapan itu hanya 1 kapal.

Karena itu, pada saat saya jadi menteri, bagi yang tidak taat peraturan, baik itu tidak melaporkan, izinnya tidak betul, terus daerah penangkapan tidak sesuai dengan yang ada dalam izin—kita cabut.

Nah, memang banyak sih agen-agen yang bandel. Ini memang komitmen kami waktu dulu kurang. Tapi sekarang komitmen saya tinggi. Tidak taat, sikat.

Memang pada saat itu tidak banyak yang dicabut. Di samping laporan tidak taat, juga BNPP (Badan Nasional Pengelola Perbatasan) banyak yang mengakali. Ini kerugian negara.

Dari situ, kami cabut juga. Banyaklah. Alokasi tidak sesuai dengan daerah penangkapan. Jadi kalau ada pertanyaan, bagaimana bisa mengetahui kapal-kapal tersebut cuman 1? Ya dari laporan kegiatan penangkapan. Ketahuan. Soal data-data penindakan itu sudah di-upload. Bisa dilihat di website KKP.

Baca juga:

Perizinan ilegal apa saja yang dulu sering dilakukan di Bitung?

Dulu orang Filipina kalau mau urus surat izin penangkapan selalu pinjam KTP orang Indonesia. Terus kami pernah cek sesekali, alamat di SIUP-nya itu, ternyata itu bengkel. Ada yang apotek. Tapi pada saat verifikasi awal, itu enggak ketahuan.

Sekarang ada peraturan, orang mau bikin SIUP, disuruh foto depan rumahnya. Sebagai bukti. Supaya tidak disalahgunakan lagi.

Artinya, kalau menyinggung illegal fishing, kita anggap sudah mulai habis. Cuma kalau hilang, tidak. Pasti akan ada lagi. Namanya narkoba, kemarin 1 ton tertangkap, yang ditembak mati enggak kapok. Kejahatan seperti ini akan terus ada, tapi bagaimana kita meminimalisirnya.

Selain Gensan, kota-kota mana saja yang terkena dampak dari kebijakan Anda?

Thailand, Cina—banyak. Kapal eks asing dr Cina, Thailand, Filipina yang paling banyak. Kalau Thailand kena imbas di Maluku. Sedangkan Cina akibat pembatasan di Papua dan barat Sumatera.

Ada titik khusus di Thailand, yang kena imbas seperti halnya di Gensan?

Songkhla. Cukup besar. (Songkhla adalah kota Melayu di bagian selatan Thailand, dekat perbatasan dengan Malaysia.)

Apa imbas bagi nelayan lokal sesudah kapal asing takut melaut ke perairan Indonesia?

Terutama yang tangkapan dalam negeri. SIUP tangkapan makin banyak. Kalau dulu orang melaut sampai jauh karena ikannya sedikit dan kecil-kecil.

Tapi sekarang berubah. Untuk transhipment lebih sedikit, dan dilakukan di luar sana. Enggak seperti dulu. Itu banyak sekali.

Sekarang ikan semakin banyak dan menepi. Alat tangkap kapal eks asing, produktivitasnya lebih tinggi dari kapal lokal. Karena alatnya lebih canggih, ABK juga lebih bagus. Karena itulah sekarang banyak ikan bisa ditangkap.

Anda mengklaim stok ikan di Bitung meningkat sampai 100 persen. Ada datanya?

Di BPS. Selama ini mungkin yang biasa dua bulan melaut, sekarang hanya sebulan. Kecenderungan itu bisa dilihat di data pelabuhan. Di log book penangkapan ada di situ. Kapal melaut harus dilaporkan, detailnya seperti apa, menangkap di mana, pakai apa—itu semua ada di log book. Di bank data kami ada.

Sekarang kapal-kapal layar kecil di Morotai (Kep. Halmahera, Maluku), 5 jam sudah dapat tuna untuk kapal ukuran 3 GT (gross tonnage/ tonase kotor) yang menggunakan alat-alat sederhana. Dapatnya bisa 3 ekor atau 2 ekor. Harga seekornya saja 1,5 juta, apalagi dua ekor—bisa tiga juta rupiah.

Artinya apa? Dengan kebijakan sekarang yang notabene begitu, stok ikan meningkat.

Baca juga artikel terkait GENSAN atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Indepth
Reporter: Arbi Sumandoyo & Damianus Andreas
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Fahri Salam