tirto.id - Malaysia ingin meniru langkah Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti soal penenggelaman kapal. Menteri Agrikultur dan Agro-based Industri Malaysia, Datuk Seri Ahmad Shabery Cheek, menilai, kebijakan Menteri Susi itu memberikan dampak yang positif.
“Kami menemukan bahwa penanganan radikal yang ditempuh Indonesia telah berkontribusi terhadap deflasi dan penurunan harga ikan akibat penangkapan yang melimpah,” ujarnya seusai menghadiri Southeast Asia and Pacific Regional Fisheries Summit di Jakarta pada 29 Juli 2016, seperti dilansir dari kantor berita Malaysia, Bernama.
Malaysia bukanlah satu-satunya negara yang mengadopsi kebijakan penenggelaman kapal pencuri ikan. Argentina telah melakukannya terlebih dahulu pada Maret 2016. Seperti dikutip dari CNN edisi Maret 2016, kapal penjaga pantai Argentina menenggelamkan kapal berbendera Cina, Lu Yan Yuan Yu 010, setelah kapal itu mengambil ikan di zona ekonomi eksklusif milik Argentina.
Indonesia dan khususnya Menteri Susi patut berbangga atas rencana ini. Komitmen Malaysia untuk meniru langkah Menteri Susi, secara simbolis, bisa menjadi afirmasi bahwa kebijakan tersebut memang tepat sasaran. Dari berbagai kebijakan yang digelar oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, penenggelaman kapal nelayan ilegal adalah kebijakan yang paling populer di mata media maupun masyarakat.
Di sisi lain, Malaysia secara halus juga menyindir metode penenggelaman kapal oleh Indonesia yang menggunakan bahan peledak. Ahmad Shabery mengaku, Malaysia lebih memilih menenggelamkan kapal lewat metode yang memungkinkan kapal tersebut menjadi gugusan terumbu karang buatan bagi biota-biota yang ada di dasar laut. Bagi beberapa pihak, penenggelaman kapal dengan menggunakan bahan peledak memang berisiko merusak lingkungan.
Peringatan akan bahaya peledakan kapal di laut sempat diutarakan Wakil Ketua DPR dari fraksi Partai Demokrat, Agus Hermanto. "Apakah dengan ngebom itu tidak merusak biota laut? Biota lautnya juga rusak, [….] ini perlu dikoreksi, sehingga kebijakan seperti ini kebijakan pencitraan yang tidak bagus," papar Agus kepada Antara.
Menteri Susi memiliki pandangan berbeda. Ia menyatakan bahwa penenggelaman kapal sama sekali tidak merusak lingkungan. Susi mengaku, sebelum ditenggelamkan, bahan bakar kapal tersebut sudah dikeringkan supaya tidak mencemari perairan. Bangkai kapal yang sudah ditenggelamkan pun ditarik ke pinggir pantai sehingga tidak merusak keindahan laut.
"Bangkai kapalnya juga tidak menganggu lingkungan. Bisa jadi rumah baru bagi ikan, itu menguntungkan nelayan juga," akunya kepada Viva.co.id. Ia pun menyatakan jika metode penenggelaman kapal itu sebenarnya merupakan ide dari Presiden Joko Widodo dan dieksekusi oleh TNI Angkatan Laut. "Kalau saya sih buka saja kerannya, tenggelam sendiri," seloroh Susi.
Sekretaris Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP Abdur Rouf Sam menyatakan, per Desember 2015, pihaknya telah menenggelamkan 54 kapal.
"Yang sudah dan akan ditenggelamkan KKP di 2015 54 kapal, sedangkan TNI AL 49. Total yang sudah ditenggelamkan 91, ditambah empat oleh TNI AL di Tarakan, empat di Batam besok dan satu di Aceh," bebernya kepada Antara. Berdasarkan data yang diperoleh Tirto.id, pemerintah Indonesia telah menenggelamkan sebanyak 176 kapal dalam kurun waktu Oktober 2014 sampai April 2016.
Strategi Besar Hadapi Pencurian Ikan
Kebijakan penenggelaman kapal nelayan asing oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan harus dimaknai sebagai bagian dari strategi besar pencegahan pencurian ikan di perairan Indonesia. Beberapa kebijakan KKP lainnya termasuk ke dalam strategi ini, seperti penerbitan Peraturan Menteri KKP No. 56 Tahun 2014 tentang moratorium penerbitan lisensi bagi kapal nelayan asing selama enam bulan, serta Peraturan Menteri KKP No. 57 Tahun 2014 yang melarang transhipment atau jual-beli ikan di tengah lautan.
Belakangan, Susi juga berencana untuk mewajibkan para nelayannya untuk menjual hasil tangkapan mereka ke TPI (tempat pelelangan ikan). Rencana ini dilaksanakan dengan berbagai pertimbangan: untuk memutus rantai rente yang merugikan nelayan, melacak hasil tangkapan ikan, sekaligus meningkatkan perolehan pajak dari transaksi perikanan.
Indonesia sebenarnya memiliki potensi kelautan yang sangat kaya. Sayangnya potensi ini tidak sepenuhnya tergali karena terbentur berbagai kasus pencurian ikan dan kejahatan-kejahatan lain yang terkait dengan hal tersebut. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengklaim, pencurian ikan telah merugikan Indonesia hingga 20 juta dolar AS setiap tahunnya.
Bank Dunia menyebutkan, kasus IUUF (illegal, unreported, unregulated fishing) setiap tahunnya menimbulkan kerugian hingga 20 miliar dolar AS di seluruh dunia. Lembaga ini mencatat, sekitar 25 persen terjadi di wilayah perairan Indonesia yang merupakan negara penghasil produk perikanan terbesar kedua setelah Cina. Di sisi lain, menurut organisasi pangan dunia FAO, IUUF juga mengancam persediaan komoditas perikanan dunia karena menghabiskan hingga 23 juta metric ton ikan dari perairan-perairan di seluruh dunia.
Besarnya ancaman kerugian dari pencurian ikan membuat KKP mencantumkan pemberantasan pencurian ikan sebagai salah satu target pokoknya. Seperti tersurat dalam situs resminya, http://kkp.go.id, KKP memiliki tiga tema program utama : Kedaulatan, Keberlanjutan, dan Kesejahteraan. Program pemberantasan pencurian ikan termasuk ke dalam tema “Kedaulatan”.
KKP turut mencantumkan pemberantasan pencurian ikan ke dalam Rencana Strategis 2015-2019. Beberapa kebijakan yang menjadi bagian dari strategi pemberantasan pencurian ikan turut ditampilkan di sana. Kebijakan-kebijakan itu antara lain: pembentukan Satgas 115, moratorium izin kapal asing, larangan transhipment di laut, penambahan sarana pengawasan (kapal markas & pesawat patroli), pembenahan kelembagaan pengawasan, serta yang paling populer, penenggelaman kapal.
KKP menargetkan akan meningkatkan PDB dari sektor perikanan sebesar 12 persen pada 2019. Sementara itu, pagu alokasi anggaran untuk kementerian ini menunjukkan peningkatan yang cukup menonjol. Pada 2014, KKP mendapatkan alokasi anggaran sebesar 6.521 miliar rupiah. Angka ini meningkat pada 2015 menjadi 10.598 miliar rupiah.
Anggaran KKP pada 2016 kembali melonjak hingga menyentuh angka 13.801 miliar rupiah. Dari besaran anggaran tersebut, pada 2015, KKP mengalokasikan 42 persen anggaran untuk aparatur dan 58 persen untuk para stakeholder perikanan. Persentase itu berubah pada 2016 dengan alokasi 20 persen untuk aparatur dan 80 persen untuk stakeholder. Hal ini menunjukkan bahwa KKP mulai memprioritaskan pendayagunaan para pelaku perikanan aktif untuk mencapai targetnya.
Penenggelaman Kapal Bukan Solusi Final
Penenggelaman kapal bukanlah satu-satunya ujung tombak pemberantasan pencurian ikan di perairan Indonesia. Penenggelaman kapal mungkin memiliki efek publikasi yang luas, sekaligus memberikan efek jera bagi pelaku. Negara yang biasanya memusuhi Indonesia pun ingin mengkloningnya. Namun, kebijakan ini mustahil dilakukan untuk seluruh kapal ilegal yang bersliweran di perairan kita.
Kunci dari pemberantasan kapal pencuri ikan sebenarnya terletak pada pengawasan sekaligus penegakan hukum yang tegas terhadap mereka yang tertangkap. Pengawasan, yang disertai efek deterrence lewat keberadaan patroli penjaga pantai dan TNI AL yang berkekuatan lengkap, akan lebih efektif untuk mencegah masuknya kapal pencuri ikan. Penenggelaman kapal tetap merupakan metode yang penting, tapi bukan yang utama.
Ada satu anekdot menarik terkait penenggelaman kapal-kapal berbendera asing oleh Susi Pudjiastuti. Seperti dikutip dari Mongabay edisi Maret 2015, suatu kali Susi berkesempatan menemui para duta besar dari enam negara di Asia Pasifik (Thailand, Vietnam, Malaysia, Cina, Australia, dan Filipina). Kapal-kapal dari beberapa negara tersebut pernah menjadi korban “keganasan” Susi.
Mereka tentu saja mempertanyakan efektivitas dari penenggelaman kapal-kapal itu terhadap penurunan jumlah kapal asing ilegal di Indonesia.
“Ibu menteri, maafkan kami, tapi buktinya masih ada banyak kapal di perairan anda?,”celetuk mereka.
Susi hanya menjawab singkat.
“Itu berarti, maafkan saya para duta besar yang terhormat, saya [terpaksa] akan terus menenggelamkan kapal-kapal anda.”
Apakah Bu Susi akan menepati kata-katanya?
Penulis: Putu Agung Nara Indra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti