Menuju konten utama

Perdebatan Panjang Membangun Jalur Kereta Api di Tanah Minang

Rencana pembangunan jalur kereta api di Sumatra Barat di abad ke-19 melalui perdebatan panjang. Direalisasikan untuk mendukung pertambangan batu bara.

Perdebatan Panjang Membangun Jalur Kereta Api di Tanah Minang
Masinis menjalankan lokomotif uap E1060 "Mak Itam" yang membawa gerbong penumpang saat uji coba di Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, Sabtu (26/11/2022).ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra/hp.

tirto.id - Selama 200 tahun mengukir sejarah, kereta api masih menjadi moda transportasi dengan dampak luar biasa. Para pakar pun memperkirakan kereta api masih bakal menjadi pilihan terbaik di masa depan, baik dalam hal efisiensi energi, kapasitas penumpang, dan kecepatan mobilitas.

Dalam konteks sejarah Indonesia pun demikian. Di pertengahan abad ke-19, kereta api hadir di Hindia Belanda untuk memenuhi kebutuhan akan transportasi darat yang efisien, berkapasitas besar, dan cepat. Namun semula, ia bukan dimaksudkan untuk memperlancar mobilitas manusia, melainkan pengangkutan hasil bumi.

Demikianlah jalur kereta api pertama di Jawa dibangun untuk mendukung pengangkutan tanaman ekspor. Di Sumatera Barat, kondisinya serupa. Hanya saja, komoditas utama yang diangkut berbeda.

Untuk memperoleh gambaran lebih dekat, ada baiknya jika kita telaah langsung dinamika perencanaan pembangunan infrastruktur kereta api oleh pakar Belanda saat itu. Salah satu karya yang cukup komprehensif adalah Spoorwegaanleg aan Sumatra’s Westkust (Konstruksi Rel Kereta Api di Sumatra Barat) susunan Th.F.A. Delprat (1891).

Kajian lainnya adalah Steenkolen en Spoorwegen ter Westkust van Sumatra (Batu Bara dan Rel Kereta Api di Sumatera Barat) karya E.B. Kielstra (1884). Selain itu, kita pun masih bisa membuka laporan-laporan dari sejumlah insinyur Belanda saat itu, seperti Cluysenaer dan Ijzerman.

Komoditas penting dari Sumatera Barat yang melatari pembangunan jalur kereta api ini adalah batu bara. Menurut F. Colombijn dalam kajiannya “Uiteenlopende Spoorrails: De Verschillende Ideeën over Spoorwegaanleg en Ontginning van het Umbilin-kolenveld in West-Sumatra 1868-1891” (terbit di jurnal Bijdragen en Mededelingen Betreffende de Geschiedenis der Nederlanden, 1992),rencana pembangunan rel kereta api di Sumatra Barat menjadi perdebatan sejak 1868 hingga 1891.

Perdebatan panjang itu terjadi di semua level, baik di level para insinyur, pengaju konsesi, Pemerintah Kolonial, dan Parlemen Belanda. Poin-poin perdebatannya pun luas, mulai dari soal siapa akan mengggali tambang, melalui rute mana jalur kereta api dibangun, siapa yang akan membangun rel tersebut, dan siapa yang akan melakukan eksploitasi di jalur itu.

Timbang-timbang Rute

Deposit batu bara dalam jumlah besar ditemukan di kawasan sebelah timur Danau Singkarak, juga di dekat Sulit Air dan Sungai Durian pada 1867 dan 1868. Sejak saat itu, Insinyur Tambang W.H. de Greeve dan Supervisor Kalshoven sudah memikirkan metode terbaik untuk mengangkutnya.

Dalam bayangan de Greeve, batu bara itu tentu bakal diangkut ke Pantai Barat. Juga, yang lebih penting baginya adalah transportasi ke Pantai Timur yang terkoneksi dengan jalur perdagangan dunia.

“Rancangannya memuat sejumlah koneksi rel kereta atau transportasi sungai dari Barat ke Pantai Timur dan dari situ dibangun pula rel kereta yang menghubungkan tempat-tempat penting di pedalaman Sumatera Barat,” tulis Colombijn.

Namun, de Greeve kemudian hanya membuat usulan detail untuk jalur rel dari Sungai Durian via Solok menuju Padang. Dia mengesampingkan rute ke Pantai Timur lantaran terbatasnya data-data terkait kondisi geografis dan politik di wilayah bagian tengah Sumatra.

Meski demikian, Pemerintah Hindia Belanda tetap mendukung ide de Greeve melakukan survei jalur ke Pantai Timur. Melalui Surat Keputusan Nomor 14 tertanggal 17 April 1872, Pemerintah Kolonial memerintahkan sebuah eskpedisi pencarian jalur yang juga diikuti oleh de Greve.

Nahas, nyawa de Greve melayang dalam musibah kecelakaan kapal di Durian Gadang. Misi eksplorasi tambang di Sumatra Barat kemudian digantikan oleh geolog Verbeek. Dia berhasil mengestimasi sedikitnya 200 juta ton batu bara, jauh melebihi kebutuhan tahunan seluruh Hindia Belanda sebesar 100.000 ton.

Sementara itu, berdasar Keputusan Kerajaan Belanda Nomor 18 tertanggal 10 Januari 1873, Insinyur J.L. Cluysenaer diberikan tugas menentukan metode terbaik untuk konstruksi rel kereta api di Sumatra Barat.

Saat itu, Cluysenaer sudah dikenal sebagai insinyur yang terlibat aktif membangun beberapa jalur kereta api di Belanda, seperti jalur Breda-Venlo-Maastricht dan proyek-proyek lain dari Staatspoorwegen.

Cluysenaerkemudian merancang tiga laporan dengan dua usulan rute berbeda. Ekspedisi Cluysenaer yang pertama dijalankan selama tiga tahun dan menghabiskan biaya sebesar 700 ribu gulden. Selama itu, Cluysenaer menjelajahi hutan rimba Minangkabau dan melibatkan tujuh staf insinyur serta lebih dari 600 tenaga kerja.

Hasilnya adalah sebuah laporan sepanjang 700 halaman yang terbit 1876. Dalam laporan itu, Cluysenaer menuangkan usulan pembangunan jalur rel dari Sungai Durian (Sawahlunto), melewati lembah Sungai Lasi, kemudian ke dekat Solok, terus ke Sitinjau Laut (Soebang-pas) di Bukit Barisan, hingga berakhir di Brandenwijnsbaai alias Teluk Bayur di sisi selatan Padang.

Kesimpulan lain, pelabuhan di muara Padang tidak akan bisa membawa batu bara sehingga perlu dibangun satu pelabuhan baru di selatan Padang. Cluysenaer juga memasukkan perhitungan biaya total 25 juta gulden yang mencakup biaya pembangunan jalur rel, biaya penambangan batu bara, plus biaya pembuatan pelabuhan baru.

Untuk ukuran saat sezaman, itu merupakan jumlah yang besar. Karenanya, tidak ada swasta yang sanggup merealisasikannya. Sang insinyur kemudian mengusulkan agar Pemerintah Belanda sendiri yang turun tangan membiayai pembangunan itu.

Dua tahun kemudian (1878), Cluysenaer mengajukan laporan kedua yang memuat rancangan beberapa rute rel dari Padang Darat menuju situs-situs tambang batu bara utama. Total biaya yang dibutuhkan turun jadi 24 juta gulden.

Laporan ketiga Cluysenaer pun terbit di tahun yang sama. Kali ini, dia memasukkan ide penggunaan teknologi rel bergerigi seperti yang telah digunakan di Pegunungan Rigi, Swiss, pada 1870.

Cluysenaer mengusulkan rute baru Tambang Sungai Durian ke Padang via Lembah Anai. Sang insinyur mengatakan, meski lebih panjang, total biaya pembangunan rute ini hanya 24,4 juta gulden. Nilai plus lain dari usulan ini adalah revolusi transportasi ke Padang Darat.

Karena Belanda masih butuh banyak uang untuk membiayai perang di Aceh dan pembangunan kereta api di Jawa, usulan ketiga inilah lewat yang kemudian disetujui. Meski demikian, pengerjaan proyeknya baru berjalan sepuluh tahun kemudian (1887) dan rampung pada 1894.

Meski demikian, Cluysenaer tidak terlibat dalam proyek pembangunan jalur rel itu. Proyek ini dipimpin oleh rekan lamanya, J.W. Ijzermaan.

Infografik KA Sumatera Barat

Infografik KA Sumatera Barat. tirto.id/Ecun

Perdebatan Lain

Meski laporan-laporan Cluysenaer sudah cukup komprehensif—dan kemudian disetujui oleh Pemerintah Belanda, pencarian rute dan moda transportasi alternatif yang lebih murah untuk membawa hasil tambang terus berlanjut.

Misalnya adalah ekspedisi ilmiah Midden Sumatra (1877-1879) yang digagas Nederlands Aardrijkskundig Genootschap (Komunitas Geografi Belanda). Tim ekspedisi ini kemudian mengusulkan agar batu bara diangkut lewat jalur sungai ke Pantai Timur Sumatra. Bahkan, ada pula yang menyarankan jalur lain lewat Batang Hari ke Palembang.

Setelah perdebatan sengit, jalur ke Pantai Timur pada akhirnya tidak disokong. Pasalnya, Belanda hanya secara de jure menguasai kawasan yang akan dilalui. Penguasa de facto atas wilayah-wilayah itu tetaplahpara pemimpin pribumi yang merdeka.

Dalam masa itu pun, masih ada Quarles van Ufford dan rekan-rekan yang mengusulkan konsesi pembangunan jalur transportasi kombinasi dari daerah tambang ke Padang via Soebang-pas. Kombinasi moda yang dimaksud itu adalah kereta api, kereta kabel (kabelspoor), tram, dan kapal uap.

Sebelum rekomendasi Cluysenaer di setujui, beberapa menteri dan Tweede Kamer Belanda masih memperdebatkan pilihan jalur mana (antara via Sitinjau Laut dan Lembah Anai) yang akan direalisasikan. Saat itu, Insyinyur Ijzermaan kebetulan sedang cuti ke Belanda sehingga dia bisa melibatkan diri dalam debat itu.

Usai mempelajari laporan ketiga Cluysenaer, Ijzermaan menulis 12 halaman rancangan jalur rel kereta dan pelabuhan via Lembah Anai. Padahal, eksplorasi lapangan atas rute tersebut belum dilakukan. Namun, secara tiba-tiba pada 10 Juni 1887, proyek jalur kereta api via Lembah Anai itu disetujui dan mendapat kucuran dana.

Keputusan itu tentu saja mengecewakan perusahaan-perusahaan yang mengajukan konsesi untuk jalur via Soebang-pas.

Proyek yang dipimpin oleh Ijzerman itu secara total menelan biaya 22 juta dolar. Meski kemudian terwujud, proyek ini bukan tanpa petaka. Pada 1892, pengerjaan bantaran membuat celah Anai semakin sempit sehingga mengakibatkan banjir di Batang Anai jauh lebih besar dari sebelumnya. Gara-gara banjir besar, beberapa jembatan serta lebih 1,5 km rel terbawa arus.

Baca juga artikel terkait KERETA API atau tulisan lainnya dari Novelia Musda

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Novelia Musda
Penulis: Novelia Musda
Editor: Fadrik Aziz Firdausi