tirto.id - DPRD Kota Pariaman pada hari Rabu, 28 November 2018 mereka mengesahkan Peraturan Daerah (Perda) tentang Ketentraman dan Ketertiban Umum yang di dalamnya memuat sanksi bagi Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender.
“Bunyi pasal melakukan tindakan yang mengganggu ketertiban umum, misalnya berdiri di lampu merah, mengamen, menyanyi sambil memanggil-manggil orang dengan pakaian yang merusak pemandangan,” ucap Wakil Ketua DPRD Kota Pariaman Fitri Nora kepada Tirto.
Fitri menyampaikan bahwa aturan itu muncul karena tingginya angka LGBT dan pengidap HIV/AIDS di Kota Pariaman. Dalam perda tersebut, ada dua pasal yang secara jelas mengatur LGBT, yakni pasal 24 dan pasal 25.
Dalam peraturan daerah itu, pasal 24 tertulis: "Setiap orang dilarang berlaku sebagai waria yang melakukan kegiatan mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum."
Sementara itu, pasal 25 berbunyi: "Setiap orang laki-laki dan perempuan dilarang melakukan perbuatan asusila dengan sesama jenis atau melakukan perbuatan yang dimaksud dengan LGBT."
Sebelum Kota Pariaman, sikap diskriminatif terhadap LGBT pernah dilakukan oleh Bupati Cianjur, yang mengedarkan Surat Bupati Cianjur kepada camat se-Kabupaten Cianjur yang meminta seluruh masjid jami untuk menyampaikan khotbah terkait materi LGBT. Ada juga beberapa daerah lain yang hendak membuat perda serupa, seperti Depok, Kabupaten Kotawaringin Timur, dan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat.
Opini Publik terhadap LGBT
(Rencana) perda-perda ini beriringan dengan gelombang diskriminasi dan persekusi terhadap LGBT secara umum. Laporan berjudul “Seri Monitor dan Dokumentasi 2018: Bahaya Akut Persekusi LGBT” (PDF) yang dipublikasikan oleh LBH Masyarakat pada Mei 2018 mencatat ada 973 korban stigma, diskriminasi, dan kekerasan berbasis orientasi seksual, identitas dan ekspresi gender di luar norma biner heteronormatif.
Dalam laporan tersebut, 715 orang korban berasal dari kelompok transgender, 225 orang dari kelompok gay, 29 orang dari kelompok lesbian, dan 4 orang korban dari kelompok lainnya.
Tingginya angka diskriminasi itu tak lepas dari adanya stigma terhadap kelompok LGBT. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh M.V. Lee Badgett dan 2 orang rekannya berjudul “LGBT Exclusion in Indonesia and Its Economic Effects” (PDF), terdapat tiga studi global opini publik yang menunjukkan tingkat stigma LGBT di beberapa negara, salah satunya Indonesia.
Dari survei Pew Global Attitudes Surveys 2013 yang mereka kutip, pada 2013 hanya 3 persen dari 1.000 responden yang bisa menerima homoseksual. Pada survei World Values Survey tahun 2006 yang juga dicuplik, ada 67% dari 1.985 responden menolak homoseksual menjadi tetangga mereka. Juga dikutip hasil survei International Social Survey Program pada 2008 yang menunjukkan 95,4% dari 2.000 responden berpendapat homoseksual adalah aktivitas yang tidak pernah bisa dibenarkan.
Perda Melanggar Konstitusi
Survei-survei itu memperlihatkan bahwa ada sentimen anti-LGBT pada khalayak. Namun, apakah sentimen dan nilai yang dianut publik bisa menjadi pembenaran bagi penerbitan perda-perda yang diskriminatif?
“Pandangan moralitas dari mayoritas masyarakat diadopsi menjadi hukum. Padahal moralitas itu harus dipisahkan dari hukum, karena hukum punya kekuatan yang merepresi langsung. Beda sama nilai-nilai moral,” kata Bivitri, pengajar di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera.
Menurutnya, peraturan-peraturan daerah yang dibentuk tersebut melanggar konstitusi, sebab dalam kaidah penyusunan peraturan perundang-undangan sudah seharusnya tidak dibuat untuk mendiskriminasi kelompok tertentu di masyarakat.
“Ada Undang-Undang nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan itu di pasal 5 dan pasal 6 itu ada asas-asas pembentukan peraturan perundang-perundangan harus memenuhi asas apa saja, nah itu harusnya dipenuhi, dan salah satunya tidak boleh diskriminatif,” ungkap Bivitri.
Sedangkan pada pasal 6 tercantum bahwa materi peraturan perundang-undangan harus mencerminkan asas pengayoman; kemanusiaan; kebangsaan; kekeluargaan; kenusantaraan; bhineka tunggal ika; keadilan; kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; ketertiban dan kepastian hukum; dan/ atau keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Aturan pembentukan perundang-undangan itu juga tak hanya mengatur tentang ketertiban dan kepastian hukum, tapi juga soal keadilan.
Pembentukan perda yang mengatur tentang aktivitas LGBT, menurut Bivitri, juga melanggar tata urutan perundang-undangan yang mengatur bahwa perda tidak boleh bertentangan dengan peraturan di atasnya.
Hierarki peraturan perundang-undangan adalah: UUD 1945, Ketetapan MPR, UU/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Perturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, dan terakhir Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Munculnya peraturan daerah yang membatasi aktivitas LGBT jelas melanggar UUD 1945, khususnya pasal 28D tentang Hak Asasi Manusia (PDF). Dalam pasal itu, tertulis bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Selain pasal 28D, Perda LGBT juga melanggar pasal 28I yang menyatakan setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
Bivitri juga menyampaikan bahwa pemerintah telah meratifikasi kovenan Internasional hak sipil dan politik (ICCPR) yang tertulis pada Undang-Undang nomor 12 tahun 2005 (PDF) yang jelas mengakui hak hidup, hak memperoleh perlindungan hukum, serta pelarangan perlakuan atau penghukuman yang kejam dan merendahkan martabat.
DPRD Kota Pariaman, menurut Bivitri, bisa saja mengatakan bahwa aturan yang mereka buat hanya berlaku bagi orang yang melanggar susila dan ketertiban umum. Namun, pada praktiknya, peraturan diskriminatif bisa menjadi dasar legitimasi bagi khalayak untuk melakukan persekusi terhadap minoritas secara umum.
“Praktik diskriminasi itu sering terjadi di lapangan, tapi [mengacu] kepada teks. Misalnya persekusi,” tutur Bivitri.
Lalu, apakah peraturan daerah diskriminatif yang melanggar konstitusi ini bisa dihilangkan? Perda yang dianggap diskriminatif bisa dihapus dengan mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung (MA). Sejak 2017, kewenangan itu beralih ke MA, setelah sebelumnya ditangani oleh Kementerian Dalam Negeri.
Penulis: Widia Primastika
Editor: Maulida Sri Handayani