tirto.id - Ketika masuk ke warteg sebagai seorang perantau baru di Jakarta, saya cukup terkesiap dengan pilihan lauknya. Apalagi hari masih pagi, sayur masih baru, lauk di wadah stainless steel masih menguarkan asap. Menarik. Saya menunjuk ini, minta sayur itu, dan mata menumbuk tetelan sapi berkuah kuning di ujung lemari kaca.
"Itu apaan?"
Jawabannya bikin saya melongo.
"Rawon."
Hah? Rawon?
Tentu saja kekagetan saya tak tunggal. Rupanya melihat rawon berkuah kuning --dan setelah saya icip rasanya nyaris tak berbeda dengan gulai-- itu adalah kekagetan kolektif perantau Jawa Timur di Jakarta. Beberapa teman juga mendapatkan pengalaman yang mengguncang jiwa itu ketika baru sampai di Ibu Kota. Pada akhirnya, setiap ke warteg, saya tak pernah lagi makan rawon berbumbu kuning itu. Bukan soal enak atau enggak, tapi cocok atau tidak belaka.
Namun, saya juga berusaha memaklumi kalau ada percakapan soal rawon berbumbu kuning di Jakarta. Sebab, di Indonesia, ada banyak makanan yang beralih wujud begitu rupa, juga pemakaian istilah yang sumir, ketika berada jauh dari daerah asalnya.
Selain rawon berkuah kuning, seberapa sering kamu memesan tempe mendoan tapi yang datang adalah tempe goreng tepung yang tebal dan garing? Atau apakah kamu pernah sedang kangen nasi pecel, tapi temanmu yang bukan orang Jawa Timur itu mengarahkan ke pedagang pecel lele.
Dan pasti masih ada banyak lagi makanan yang bernasib sama.
Terlepas dari itu semua, pada dasarnya rawon itu hidangan yang luwes. Dulu, waktu era Bapak Pembangunan, daging adalah bahan baku yang relatif mewah bagi kami, keluarga PNS dengan empat orang anak dan beberapa jiwa yang ikut tinggal di rumah. Maka rawon Mamak, alias ibu, akan punya isi berbagai jenis. Porsi dagingnya mungkin hanya 250 gram untuk sekitar sepuluh orang penghuni rumah. Sisanya adalah labu. Kadang juga tahu.
Dari situ, kita tahu bahwa kekuatan rawon memang ada di kuahnya. Selama kuah rawonnya enak, maka jenis isian tak jadi masalah.
Bagaimana cara mendapatkan kuah rawon yang enak? Tentu kaldunya dari daging dan lemak sapi. Agar lebih machtig, lebih baik pakai juga tulang. Sisanya bahan bumbu lain, mulai dari bawang merah, putih, kemiri, cabai kunyit, dan ada juga yang pakai kencur. Lalu bahan cemplungnya mulai dari serai, daun jeruk, juga bawang daun.
Sudah? Tentu belum.
Ada satu bumbu kunci yang selama ini identik dengan rawon: kluwek. Nama lainnya beragam, tergantung daerah. Ada yang menyebutnya payang, pucung atau picung, pangi, atau simanguang. Selain memberikan rasa gurih dan aroma yang khas, kluwak ini yang membuat kuah rawon jadi hitam, sekaligus gurih. Semakin banyak rasio kluwek, semakin pekat pula warna hitamnya.
Buat para perantau di Jakarta, tenang saja: rawon warna kuning itu sepertinya hanya ada di warteg. Di Jakarta ada banyak sekali warung yang menyajikan rawon dengan "baik dan benar". Kuahnya warna hitam, gurih, pakai toge pendek sebagai pugasan, dan tak lupa sampiran berupa kerupuk udang.
Selama jadi perantau nyaris satu dekade, rawon terenak yang pernah saya temukan itu justru di sebuah tempat yang tak terbayang. Di ruas jalan Cikini IV, hanya selemparan batu dari nasi uduk Gondangdia yang tenar itu, dulu ada sebuah rombong (apa ya istilah yang tepat untuk ini?) yang menjual beberapa masakan rumahan Jawa Timur.
Menunya berganti tiap hari, hanya ada dua yang jadi menu tetap: pecel dan rawon. Waktu mencoba pecelnya untuk pertama kali, saya berdecak kagum. Waaah, ini pecel yang saya cari. Rasa kacangnya kuat, diseduh cukup dengan sedikit air panas sehingga bumbunya tak encer, aroma daun jeruk dan kencurnya meninggalkan kesan kuat di lidah, dan tentu saja: pedas!
Karena pecelnya lolos ujian lidah, maka berikutnya rawon yang jadi item uji coba. Dan benar saja, lolos dengan nilai memuaskan. Nasi putih dibanjur kuah kehitaman yang masih panas, dengan daging dan tetelan, ditambah tempe goreng dan toge, dipungkasi dengan sambal merah menyala, membikin saya siang itu keringatan. Di luar sana boleh bising, tapi rawon membuat saya menekuri piring dengan khusyuk. Tandas dalam waktu kurang dari lima menit.
Sayang, pada suatu hari, rombong itu menghilang begitu saja. Saya beberapa kali ke sana, beberapa kali itu pula harapan saya bertemu dengan kekecewaan. Saya tanya tukang parkir di sana, katanya yang jual trauma karena kena razia. Sampai sekarang, saya tak pernah lagi menemukan rawon seenak itu di Jakarta.
Rawon tanpa Kluwek di Lumajang
Sepanjang tulisan ini, mungkin saya terasa membuat dikotomi antara rawon Jawa Timur dan non Jawa Timur. Seolah semua rawon Jawa Timur itu homogen: memakai kluwek. Padahal saya punya rawon favorit dari kota kelahiran saya, Lumajang, dan ia tak pakai kluwek.
Perkenalkan, rawon Bu Katun.
Bu Katun bukan pendatang baru di dunia kuliner. Beliau berjualan sejak tahun 1952, di dalam sebuah gang tak jauh dari pusat kota Lumajang. Yang mengajak ke sini tentu Ayah dan Mamak, yang memang tumbuh besar di Lumajang. Sejak 1990-an, orang tua saya yang tinggal di Jember, sekitar sejam perjalanan dari Lumajang, sering mengajak saya ke Bu Katun tiap kami ke Lumajang.
Saya yang terbiasa makan rawon masakan Mamak sebenarnya agak kaget juga ketika pertama kali berhadapan dengan rawon Bu Katun: warnanya gelap tapi tidak hitam pekat seperti rawon (gelapnya karena diberi kecap manis), lalu diberi semacam tumis semur kental dengan isian tahu dan jeroan, lalu diberi bumbu Bali. Toge pendek biasanya ditaruh di pinggir piring, bareng sambal. Sudah, itu saja. Rasanya ringan, pas sekali disantap pagi hari.
Tak ada daging seperti di rawon yang kamu kenal. Sebagai gantinya, ada pemeran pengganti yang lebih nguawur: aneka daging dan jeroan sapi. Favorit ayah adalah empal dan otak goreng. Mamak suka babat dan paru. Saya: otak dan paru. Perhatikan: tak ada kata atau di sana. Alias sekali makan, dua lauk penyumbang angka kolesterol tinggi akan ada di piring.
Bayangkan, baru jam 7 pagi kamu sudah ngganyem aneka jerohan penuh semangat. Sungguh vivere pericoloso, sarapan para pemberani!
Bu Katun memang punya jam operasional yang singkat. Buka selepas subuh, jam 8 pagi mungkin sudah tinggal sisa-sisa. Meleng sedikit, otak yang lembut itu sudah lenyap dari pandangan. Selain itu, menunya memang cuma satu, ya rawon itu.
Lalu seperti apa posisi rawon Bu Katun bagi para penganut mazhab kluwek-di-rawon-itu-wajib?
Mungkin mereka juga kebingungan. Kalau mereka bilang apa yang dijual Bu Katun itu bukan rawon, jelas mereka akan berhadapan dengan puluhan ribu, atau mungkin ratusan ribu, orang yang jadi pelanggan Bu Katun sejak lebih dari 70 tahun silam.
Indah Masdar adalah salah satu pelanggan Bu Katun sejak era 1980-an. Baginya, meski rasanya ringan dan tak sekuat rawon buatan ibunya, rawon Bu Katun tetap punya ciri khas sendiri. Plus, aneka lauknya bikin susah ditolak.
"Sampai sekarang masih sering makan di Bu Katun dengan teman-teman sekolah yang tinggal di luar kota. Kalau mereka mudik, pasti kami ramai-ramai ke Bu Katun. Memang rawon legend sih," kata perempuan yang menjabat Wakil Bupati Lumajang ini.
Begitu pula yang dirasakan oleh Arief Rakhmadani. Sama seperti saya, Arief juga tertegunwaktu pertama kali menyantap rawon Bu Katun. Bayangan rawon yang dipatri oleh rawon mazhab Nguling, seketika langsung bubrah. Tapi suapan pertama, Arief cengengesan. Enak, katanya. Dan akhirnya setiap pulang ke Lumajang, pria yang tinggal di Jakarta ini tak pernah absen makan di Bu Katun.
"Setiap mudik, kami sekeluarga selalu mengagendakan ke Bu Katun bareng. Aku selalu makan dengan lawuh babat goreng, paru, dan otak goreng," kata pria yang dikenal sebagai konsultan marketing dan komunikasi ini.
Pada akhirnya, saya punya kesimpulan bahwa semakin sering kita belajar soal makanan Indonesia, semakin kita tidak tahu apa-apa. Ada terlalu banyak varian dari makanan di Indonesia, bahkan yang beridentitas kuat (dan seolah tunggal) seperti rawon sekalipun (di Bangkalan, Madura, ada juga rawon tanpa kluwek, tapi saya belum pernah coba). Semoga hal ini terus membuat saya mau terus belajar dan memahami.
Pengalaman makan rawon Bu Katun di Lumajang, makin menegaskan kebenaran idiom lawas: ojo nggumunan, jangan kagetan!
Editor: Irfan Teguh Pribadi