tirto.id - Penanggung Jawab Tim Kerja Penyusunan Naskah Akademik RUU Permusikan, Inosentius Syamsul, memberikan penjelasan terkait banyaknya pihak yang mengkritik RUU Permusikan, khususnya pasal 5 yang banyak memuat larangan dan dinilai rentan mengkriminalisasi musisi.
Inosentius menilai seharusnya masyarakat dan para musisi tak perlu terlalu khawatir terlebih dahulu dengan poin-poin dalam pasal tersebut. Karena, menurutnya, poin-poin tersebut sudah sangat normatif dan jamak berada peraturan-peraturan lain.
"Orang kalau lihat larangan itu sudah alergi saja. Sebenarnya larangan itu sangat normatif. Liat dulu isinya, jangan judulnya. Konten porno, menghina agama, kan ada semua, normatif. Jadi artinya tidak ada sesuatu yang mengkriminalisasi. Ya semua yang ada cuma kita kumpulkan jadi satu," katanya saat ditemui oleh reporter Tirto di ruangannya, Kamis (31/1/2019) siang.
Para musisi ramai-ramai mengkritik Rancangan Undang-undang (RUU) Permusikan yang diusulkan oleh Komisi X DPR RI. Mereka menilai ada klausul yang rentan menjadi ‘pasal karet’.
Aturan “karet” yang dimaksud adalah Pasal 5. Isinya tentang beberapa larangan bagi para musisi: dari mulai membawa budaya barat yang negatif, merendahkan harkat martabat, menistakan agama, membuat konten pornografi hingga membuat musik provokatif.
"Artinya UU ini untuk semacam mendokumentasikan atau membuat khusus bidang permusikan itu disistematisasi, distrukturisasi, dengan baik. Mulai proses kreasinya, perdagangannya seperti apa, jadi lebih terstruktur. Selama ini kan enggak ada," katanya.
Padahal, tak sedikit musisi yang mengeluh dan mengkritik RUU tersebut karena mereka menilai proses pembuatan musik tak bisa disistematisasi atau distrukturisasi seperti harapan Inosentius.
Salah satunya penyanyi Danilla Riyadi. Menurutnya, dunia kesenian memang memiliki teknik dan teori, hal ini berlaku untuk musik, melukis, seni peran, dan sebagainya. Namun, jika menyangkut ekspresi atau interpretasi, itu akan kembali kepada pelaku dan penikmatnya masing-masing.
"Tapi tetap saja ada sistemnya. Ya misalnya, boleh enggak orang membuat musik kontennya porno. Boleh enggak? Kan, ditegaskan di pasal 5. Jadi gini, nanti coba dilihat konten pasalnya ada enggak yang aneh-aneh, yang aneh-aneh ya kita coret aja. Enggak ada masalah. Tapi kalau misalnya pornografi, tak bertentangan dengan prinsip-prinsip kenegaraan dan lambang negara, masa enggak boleh? Ini hanya penegasan aja," bantah Inosentius.
Namun, bagaimana pun juga, pasal 5 yang berisi banyak larangan tersebut rentan menimbulkan multitafsir dan mengkriminalisasi musisi, mengingat tak ada batasan yang jelas terhadap poin-poin tersebut.
"Saya hampir speechless. Ini sama saja dari gabungan Orde Baru dan Orde Lama. Semua kaya lelucon saja. Maksud saya, hampir semuanya pasal karet. Definisi asing dan lokal gimana? Definisi negatif dan positif seperti apa?" kata Ucok Homicide saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (30/1/2018) siang.
"Jika yang memang represif, kemudian yang bisa mengkriminalisasi berlebihan, yang pengertiannya bias, bisa kita hilangkan, tak masalah. Tapi jangan sampai kita hilangkan tujuan paling utama itu, jadi kalau hal-hal seperti itu enggak masalah dihapus," kata Inosentius.
"Itu bisa didiskusikan. Tapi begini ya, maksud saya gini, ini proses yang baik. Bagi saya, RUU ini dapat tanggapan itu saya malah senang. Secara pribadi, artinya ada proses politik di DPR yang diperhatikan masyarakat. Jadinya masyarakat jadi concern. Dalam tim kami pun sudah dengar keluhan pasal 5 itu, nanti kita kaji dan revisi lagi," tambahnya.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Maya Saputri