tirto.id - Pengamat Pertanian Center of Reform on Economic (CORE) Eliza Mardian mengatakan, saat ini hampir 80 persen kebutuhan kedelai masih dipenuhi dari impor. Hal ini karena produksi dalam negeri masih kalah saing dengan kedelai impor.
Menurut Eliza, kedelai dalam negeri ini kalah saing disebabkan beberapa aspek seperti harga, insentif petani kedelai, hingga preferensi konsumen soal kedelai.
"Dari segi harga, dalam kondisi normal kedelai impor relatif lebih murah dibandingkan dalam negeri. Produksi dalam negeri kurang efisien karena belum optimalnya produktivitas kedelai saat mengembangkan varietas," ucap Eliza kepada Tirto, Jakarta, Senin (17/7/2023).
Kemudian untuk aspek kedua menurut Eliza, yaitu kurangnya insentif petani kedelai. Karena, harga pembelian kedelai dinilai tidak memberikan semangat bagi para petani untuk menanam. Lalu, mayoritas petani menanam kedelai pada musim ketiga setelah menanam padi 2 kali atau tanaman sela.
"Sehingga, kebanyakan karena memang untuk rotasi tanaman saja. Bukan spesialisasi di kedelai," ungkapnya.
Ketiga, yaitu soal preferensi konsumen soal kedelai. Para produsen seperti tahu dan tempe lebih menyukai kedelai impor, karena biji kedelainya yang relatif lebih besar jika dibandingkan dengan kedelai dalam negeri.
Menurut Eliza, selama belum ada upaya yang pasti dari pemerintah terkait dengan peningkatan produksi kedelai dalam negeri, maka kedelai dalam negeri akan terus mengalami kesulitan produksi dan tetap akan kalah dengan kedelai impor.
"Selama belum ada upaya komprehensif dari berbagai pihak kepentingan, swasembada kedelai akan sulit karena produk kita kalah bersaing dengan produk luar," bebernya.
Eliza juga mengungkap sisi lain yaitu adanya Perppu Nomor 2 Tahun 2022 mengenai Cipta Kerja, yang dinilai membuka pintu masuk produk impor.
"Terlebih lagi dalam Perppu 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja, itu semakin membuka keran impor karena adanya narasi cadangan pangan membolehkan dari impor. Kalau aturan sebelumnya cadangan pangan harus diutamakan dari dalam negeri, jika tidak terpenuhi barulah impor," katanya.
Akibat kemudahan tersebut dan tidak adanya progres produksi dalam negeri yang signifikan, menyebabkan ketergantungan yang tinggi terhadap impor dengan harga relatif lebih murah dengan kualitas dan disukai konsumen.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan melakukan pertemuan dengan Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa. Pertemuan itu membahas rencana untuk mengimpor sapi dan kedelai.
“Salah satu agenda penting yang kami bahas adalah persiapan untuk partisipasi Presiden Joko Widodo dalam KTT BRICS (Brasil, Rusia, India, China, Afrika Selatan) yang akan datang. Pertemuan ini memberikan platform untuk diskusi yang produktif, dengan kedua belah pihak berharap akan dilakukan penandatanganan kesepakatan mengenai impor sapi dan kedelai," katanya dikutip Antara, Jakarta, Rabu (12/7/2023).
Sebagai langkah awal, Indonesia sedang menjajaki kemungkinan impor 50.000 ekor sapi dan 300.000 ton kedelai dari Afrika Selatan, dengan tujuan memperkuat dan memperluas perdagangan bilateral di sektor pertanian.
Indonesia saat ini mengimpor sapi senilai lebih dari 1 miliar dolar Amerika Serikat (AS) dan kedelai senilai lebih dari 2 miliar dolar AS setiap tahun.
Penulis: Hanif Reyhan Ghifari
Editor: Anggun P Situmorang