tirto.id - Gempa bumi di laut Maluku Utara berkekuatan Magnitudo 7,1 yang terjadi pukul 00.17 WITA, Jumat (15/11/2019) memicu guncangan kuat di Manado, Ternate, Bitung hingga Gorontalo. Setelah gempa itu terjadi, BMKG sempat mengeluarkan peringatan dini tsunami di Minahasa Utara Bagian Selatan (Sulawesi Utara).
Berdasar pantauan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), gempa bumi Maluku Utara memang memicu tsunami kecil di Bitung, Halmahera, dan Ternate. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) juga menerima laporan tsunami sempat terjadi meski dengan ketinggian gelombang hanya 10-20 cm di Halmahera Selatan. Tsunami itu tidak berdampak ke daratan.
Lalu, apa penyebab gempa bumi Maluku Utara dan bagaimana mekanisme pergerakan sesar yang membangkitkan lindu tersebut?
Menurut Kepala Bidang Mitigasi Gempabumi dan Tsunami BMKG, Daryono, gempa bumi Maluku Utara itu termasuk kategori yang disebut para ahli sebagai gempa intraslab. Hal ini mengingat pusat gempa berada di dalam lempeng Laut Maluku.
"Zona gempa Laut Maluku terletak di antara Busur Sangihe dan Halmahera. Zona gempa ini membentang dalam arah utara-selatan, didasari oleh zona subduksi ganda (double subduction) yang menunjam ke bawah Pulau Halmahera di sebelah timur dan ke bawah Busur Sangihe di sebelah barat," kata Daryono melalui keterangan tertulisnya pada Jumat (15/11/2019).
Dia menjelaskan zona subduksi tersebut membentuk kemiringan ganda yang tidak simetris. Sebab, slab Lempeng Laut Maluku di bawah Busur Sangihe berlanjut hingga kedalaman 600 km. Sedangkan di bawah Busur Halmahera, slab lempengnya lebih dangkal, yakni hanya sampai kedalaman 300-an km.
Daryono menyebut, subduksi ganda itu terbentuk karena tekanan lempeng laut Filipina dari arah timur, di zona Halmahera. Sebaliknya, dari arah barat, lempeng Sangihe juga relatif mendorong ke timur.
"Akibat dorongan ini terbangun akumulasi medan tegangan, produk gaya kompresi pada batuan kerak samudera di bagian tengah Zona Tumbukan Laut Maluku. Di zona ini lah terbentuk jalur Punggungan Mayu yang ditandai dengan keberadaan Pulau Mayu," jelas Daryono.
Sesuai penjelasan Daryono, akumulasi medan tegangan di sepanjang jalur Punggungan Mayu tersebut memicu dislokasi batuan dalam lempeng. Akibatnya, di zona ini terdapat banyak pusat-pusat gempa dengan mekanisme sesar naik atau thrust fault. Pusat gempa bumi Maluku Utara M7,1 baru-baru ini juga menunjukkan ciri memiliki mekanisme sumber sesar naik.
Dia menambahkan gempa besar ini hanya memicu tsunami kecil sebab slip yang terjadi relatif dalam. Kondisi ini membuat eksitasi terhadap tsunami lebih kecil dibandingkan dengan slip yang terjadi di kedalaman lebih dangkal.
Selain itu, kata Daryono, "Pada kasus gempa tadi malam, energi akibat kompresi yang terjadi pada salah satu slab lempeng tidak seluruhnya terakumulasi di zona gempa, tetapi juga disebarkan ke bagian slab lempeng pada zona subduksi di sebelahnya."
Mekanisme seperti ini, menurut Daryono, berbeda dengan yang terjadi pada kebanyakan zona subduksi. Di zona subduksi lain, biasanya energi yang terakumulasi hanya terkonsentrasi pada satu slab lempeng saja. Konsentrasi energi di zona gempa yang terpusat pada satu lempeng bisa memicu tsunami lebih besar.
Meskipun begitu, Daryono mengingatkan, kawasan Laut Maluku merupakan zona rawan gempa dan tsunami yang patut diwaspadai.
Analisis PVMBG soal Gempa Bumi Maluku Utara M7,1
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) sudah merilis analisis singkat untuk menanggapi gempa bumi Maluku Utara kemarin malam.
Analisis PVMBG juga memperkirakan gempa berkekuatan M7,1 itu berasosiasi dengan subduksi di Punggungan Mayu. Analisis ini berdasarkan data loksai dan kedalaman pusat gempa bumi di Laut Maluku Utara tersebut.
Jika merujuk pada data BMKG, pusat gempa bumi Maluku Utara berada pada koordinat 1.67 LU dan 126.39 BT, dengan kedalaman 73 km. Lokasi pusat gempa itu berjarak 137 km arah barat laut Jailolo, Maluku Utara.
Sedangkan menurut laporan The United States Geological Survey (USGS), lokasi pusat gempa yang sama berada di koordinat 1.589 LU dan 126.416 BT. Data USGS juga menunjukkan kekuatan gempa sebesar M7,1. Sedangkan kedalaman pusat gempa ini, seusai data USGS, berada pada kedalaman 45.1 km.
Dalam laporan PVMBG, disebutkan bahwa lokasi pusat gempa tersebut, berada di laut tengah-tengah di antara wilayah Sulawesi Utara dan Pulau Halmahera, yang didominasi batuan gunungapi kuarter. Batuan jenis ini bersifat lepas dan berpotensi pencairan lahan. Sementara batuan lapuk dan bersifat lepas umumnya memperkuat efek guncangan gempa.
Editor: Agung DH