Menuju konten utama

Penyakit di Usia 60 Tahun: Kebutaan akibat Degenerasi Makula

AMD tipe basah dapat ditangani dengan terapi Aflibercept yang disuntikkan ke mata.

Penyakit di Usia 60 Tahun: Kebutaan akibat Degenerasi Makula
Ilustrasi Lansia Membaca. foto/istockphoto

tirto.id - Bayangkan Anda sangat gemar membaca atau berprofesi sebagai penulis, atau mungkin tidak keduanya tapi tentu butuh indra visual untuk melakukan ragam kegiatan. Saat tengah berkutat pada rutinitas harian tersebut tiba-tiba saja terdapat kabut di tengah penglihatan Anda.

Kira-kira begitulah gambaran peristiwa yang dialami Emil Salim dan Edwin. Keduanya merupakan pasien dengan degenerasi makula terkait usia (Age-related Macular Degeneration/AMD).

Emil pernah menjabat sebagai menteri di beberapa periode pemerintahan, mulai dari dekade 70-an hingga awal dekade 90-an lalu. Saat mengemban tugas negara itulah Emil diharuskan banyak membaca laporan.

Pun ketika lengser, ia tetap harus berkutat dengan tumpukan diktat. Sebagai seorang akademisi, Emil masih rutin mengajar dan menyiapkan materi perkuliahan.

Sekitar periode 1994-1995, ketika tengah membaca laporan di kementeriannya, Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Emil merasa fokus indra visualnya kabur. Hanya sisi sekitar yang terlihat jelas untuk melihat tulisan.

Kondisi ini ia rasakan semakin parah, tak cuma terjadi saat membaca saja, tapi juga ketika melakukan aktivitas lain.

“Penglihatan rasanya tidak tajam. Baru ketahuan saya mengalami AMD setelah periksa ke RSCM,” katanya dalam sesi diskusi virtual World Sight Day 2021 bersama PERDAMI, organisasi profesi dokter spesialis mata dan Bayer Indonesia.

Cerita lain dituturkan Edwin, ia berkisah soal gangguan di mata kirinya yang terdeteksi pada trimester awal 2012. Sama seperti Emil, kedua matanya mulai melihat semacam “kabut tebal”, terutama di siang hari.

“Lihat televisi, kalender, jam itu jadi susah," tutur Edwin.

Emil dan Edwin merupakan sebagian kecil dari 196 juta penderita AMD global (2020). Studi The Lancet Global Health memperkirakan peningkatan jumlah AMD mencapai 288 juta di tahun 2040. Apalagi kondisi global tengah menjajaki era ageing population, dimana jumlah penduduk usia 60 tahun mencapai 7 persen total penduduk.

AMD merupakan ganguan penglihatan mulai dari distorsi bentuk (garis lurus terlihat melengkung), penglihatan buram, bagian tengah penglihatan berwarna hitam (scotoma) hingga penglihatan mendadak terhalang.

“Pasien akan kehilangan kemampuan melihat detail halus, sulit membaca, menulis, bahkan tidak dapat melihat wajah orang di depannya,” kata Gitalisa Andayani, dokter spesialis mata konsultan RSCM-FKUI, dokter yang menangani Emil dan Edwin.

Peta AMD di Indonesia dan Penanganannya

Secara global, prevalensi AMD tahap awal pada rentang usia 45-85 tahun mencapai kisaran 8 persen di seluruh dunia, sementara pada tahap lanjut populasinya mencapai 0,4 persen.

Di Indonesia belum ada data nasional mengenai epidemiologi AMD. Namun penelitian di RSUP Prof Dr.R.D. Kandou Manado melaporkan 41 pasien AMD selama periode Januari 2013-Oktober 2015. Mayoritas pasien berada dalam kelompok usia 61-70 tahun, yakni 16 jiwa (39%).

“Usia di atas 60 tahun sangat berisiko terkena AMD,” jelas Gitalisa.

Jika merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) terdapat 26,82 juta lansia di Indonesia, atau sekitar 9,92 persen dari total penduduk Indonesia. Lanjut usia menurut UU Nomor 13 Tahun 1998 adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun ke atas.

Artinya jika jumlah ini dihitung secara kasar menggunakan persentase global, yakni sebanyak 8 persen, maka kira-kira terdapat 2 juta lansia Indonesia yang menderita AMD.

Pada tahun 2050, jumlah lansia Indonesia diproyeksikan naik mencapai hampir 25 persen dari total penduduk Indonesia. Piramida penduduk Indonesia pun tengah bergeser “membesar” di bagian tengah dan atas. Indonesia berada dalam fase penuaan penduduk.

Konversi jumlah penduduk lansia dengan berbagai macam penyakit penyerta, termasuk AMD tentu membuat beban kesehatan baru bagi negara. Lalu bagaimana cara mengatasinya?

Emil dan Edwin kembali berbagi pengalaman terapi AMD yang mereka jalankan selama ini untuk mengatasi AMD tipe basah.

“Saya periksa ke RSCM, dokter bilang terapinya dengan cara ditusuk. Panik saya, kaget,” kata Emil.

“Ditusuk” yang dimaksud Emil adalah terapi yang dilakukan dengan menyuntikkan Aflibercept ke dalam bola mata (intravitreal). Aflibercept merupakan obat yang dapat memperlambat pertumbuhan pembuluh darah abnormal dan mencegah kerusakan makula lanjut, sehingga mencegah kebutaan.

Studi ALTAIR (2020) menunjukan terapi Aflibercept intravitreal pada penderita AMD tipe basah dapat memperpanjang jarak interval pengobatan. Sebelumnya pasien harus datang untuk perawatan setiap 2 bulan sekali.

Studi menunjukan setelah terapi Aflibercept, 40 persen pasien berobat 4 bulan sekali, dan 60 persen lainnya 3 bulan sekali.

“Harapannya dengan interval terapi lebih lama, terutama di masa pandemi Covid-19, jumlah kunjungan dan beban ekonomi dapikutat berkurang,” lanjut Gitalisa.

Ia memberi garansi pada layanan Aflibercept di Indonesia sudah dilakukan dengan baik. Sehingga pendirita AMD tidak perlu takut melakukan pemeriksaan. Apalagi terapi Aflibercept intravitreal juga efektif menangani satu sub-tipe AMD tipe basah yaitu Polypoidal Choroidal Vasculopathy (PCV).

PCV paling banyak menimpa ras Asia sehingga lazim disebut “Asian AMD”. Sebanyak 25-50 persen pasian Asia dengan AMD juga memiliki PCV.

Jika boleh meminjam nasihat dari Emil, orang dengan usia lanjut harus rutin memeriksakan matanya. Jika didiagnosa AMD, ikuti petunjuk pemeriksaan dan pengobatan dari dokter.

“Banyak penyakit bisa diobati jika diketahui sedini mungkin. Penyakit bisa dihindari dengan pengecekan berkala,” pungkas Emil.

Baca juga artikel terkait KEBUTAAN atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Yantina Debora