Menuju konten utama

Penolakan Deklarasi #2019GantiPresiden Bisa Jadi Bumerang ke Jokowi

Pemerintah dinilai mencederai reformasi karena tak melindungi kebebasan publik berekspresi dan berpendapat, karena gerakan ini legal.

Penolakan Deklarasi #2019GantiPresiden Bisa Jadi Bumerang ke Jokowi
Massa menunjukkan kaos yang bertuliskan #2019GantiPresiden saat deklarasi di kawasan Silang Monas, Jakarta, Minggu (6/5/2018). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Rencana deklarasi gerakan #2019GantiPresiden mendapat penolakan di sejumlah daerah. Setelah diimbau tak digelar di Jawa Barat, penolakan serupa muncul di Sulawesi Selatan.

Penolakan kali ini diinisiasi Pengurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Makassar. Mereka menolak deklarasi #2019GantiPresiden pada 12 Agustus mendatang di depan Monumen Mandala.

Ketua PC PMII Makassar Azhari Bahar menyatakan penolakan ini ditujukan untuk mencegah politik SARA yang dapat memicu ketegangan antarkelompok masuk ke Makassar.

Sikap MUI Jawa Barat dan PMII Makassar disayangkan Ketua DPP Gerindra sekaligus aktivis #2019GantiPresiden Habiburokhman. Ia menilai gerakan ini tak boleh dilarang dan pemerintah seharusnya tak boleh mendiamkan munculnya pelarangan semacam ini lantaran terdapat Undang-undang kebebasan berekspresi dan berpendapat.

“Harusnya pemerintah aktif melindungi kebebasan berekspresi karena itu kewajiban mereka,” kata Habiburokhman kepada Tirto, Selasa (7/8/2018).

Ketua Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) ini juga menilai pemerintah mencederai reformasi karena tak melindungi kebebasan publik berekspresi dan berpendapat. Terlebih, gerakan #2019GantiPresiden menurutnya adalah gerakan legal.

Habiburokhman balik menuding pemerintah diam-diam memanfaatkan penolakan masyarakat untuk meredam gerakan #2019GantiPresiden yang menurutnya semakin masif dari waktu ke waktu.

“Kami enggak pernah mempersoalkan atau mengganggu mereka yang serukan #Jokowi2Periode, kenapa mereka mengganggu kami?” kata Habiburokhman.

Bisa Rugikan Jokowi

Pendapat seperti Habiburokhman disampaikan Direktur Populi Centre Usep S. Ahyar. Lelaki yang akrab disapa Ahyar ini mengatakan pemerintah tidak semestinya mendiamkan penolakan terhadap publik yang ingin menyuarakan pendapatnya, apa pun bentuknya.

“Saya pikir, karena undang-undang kebebasan berekspresi sudah jelas, jadi pemerintah sebagai pelaksana harus memastikannya ditegakkan,” kata Ahyar kepada Tirto.

Ahyar juga menyebut, sikap pemerintah yang cenderung diam bisa berakibat buruk bagi upaya politik Jokowi menjelang Pilpres 2019. Penolakan sejenis menurutnya sangat mungkin lebih sering terjadi pada masa kampanye nanti.

“Secara kalkulasi politik, itu bisa membuat masyarakat justru bersimpati pada oposisi. Itu bisa menurunkan elektabilitas Jokowi,” kata Usep.

Infografik CI Gerombolan #2019GantiPresiden

#2019GantiPresiden adalah Kampanye Politik

Pendapat Habiburokhman dan Ahyar dibantah elite-elite partai pendukung Jokowi. Ketua DPP Nasdem Irma Suryani Chaniago menyatakan pemerintah tidak pernah mendiamkan segala bentuk pembatasan kebebasan berekspresi.

“Asal tertib, sesuai aturan, dan tidak menimbulkan konflik,” kata Irma kepada Tirto.

Irma malah menyebut gerakan #2019GantiPresiden mempunyai peluang untuk menciptakan kegaduhan politik menjelang pemilu 2019. Menurutnya, gerakan tersebut mempunyai kecenderungan untuk melakukan kampanye negatif.

“Ujung-ujungnya kan nanti menjelek-jelekkan pemerintah dan Pak Jokowi. Menyuarakan kebencian,” kaya Irma.

Irma mengatakan, gerakan #2019GantiPresiden berpeluang menjadi preseden kepada kelompok masyarakat lain untuk melakukan hal sama jika dibiarkan. Pada akhirnya, siapa pun presidennya kegaduhan akan tetap terjadi.

Secara terpisah, Ketua DPP PDI Perjuangan Hendrawan Supratikno menilai deklarasi #2019GantiPresiden merupakan bagian dari kampanye politik yang tidak tepat dilakukan saat ini.

“Sebagaimana disepakati kampanye pileg dan pilpres baru dimulai 23 September nanti,” kata Hendrawan kepada Tirto.

Anggota Komisi IX DPR ini pun yakin gerakan tersebut tak akan mampu menggerus suara Jokowi lantaran gerakan ini terkadang memberi kesan campur aduk. “Kadang lucu, kadang kelewatan, kadang seperti menyuarakan kekecewaan, kegetiran, dan sebagainya. Masyarakat yang semakin cerdas kami harapkan mengolah berbagai informasi dengan benar,” katanya.

Konteks Penolakan

Penolakan terhadap deklarasi ini awalnya dilakukan Ketua Umum MUI Jawa Barat Rahmat Syafei. Saat dihubungi Tirto, tengah pekan lalu, Rahmat menjelaskan imbauan itu disampaikan karena pelaksanaan deklarasi bertepatan dengan pembukaan Asian Games 2018.

“Waktunya mula-mula tanggal 11 Agustus, kemudian pindah tanggal 18 Agustus. Nah, 18 Agustus itu pas pembukaan [Asian Games]. Makanya diimbau itu [untuk tidak digelar],” kata Rahmat kepada Tirto.

Selain alasan itu, Rahmat menjelaskan MUI Jawa Barat mencoba meredam konflik horizontal lantaran perbedaan pilihan politik menjelang Pemilu Presiden 2019. Perbedaan pandangan ini dianggap Rahmat bisa memicu kericuhan.

“Kami imbau supaya tidak saling terpecah. Sudahlah deklarasi itu jangan mengatasnamakan agama. Ini kan ada yang mengatasnamakan agama, membawa ijtima ulama,” kata Rahmat.

Sikap Rahmat dan jajaran pengurus MUI Jabar diapresiasi Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid Saadi. Dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto,Zainut mengatakan MUI Pusat mendukung imbauan MUI Jabar karena khawatir gerakan tersebut menimbulkan konflik di tengah panasnya suhu politik saat ini.

Zainut mengatakan, MUI Pusat juga berharap deklarasi serupa tidak dilakukan di seluruh wilayah Indonesia. “Baik kampanye ganti presiden ataupun kampanye mempertahankan presiden,” ucap Zainut.

Ia menegaskan, sikap seperti ini diambil sebagai sebuah ikhtiar supaya tidak terjadi kerusakan berupa konflik, gesekan, dan ancaman perpecahan bangsa. “Mencegah terjadinya kerusakan dalam agama memang harus didahulukan dari pada untuk membangun kemaslahatan, sebagaimana kaidah fiqih,” kata Zainut.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Politik
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Mufti Sholih