tirto.id - "Ikutilah Aksi Demo Bela Agama Islam dan Pribumi Menolak Bioskop XXI Dekat Masjid As-Sinah di PGC. Aksi Demo Pada Hari: Jumat, 17 Januari 2020, JAM: 13.00 WIB (Setelah Sholat Jumat). Bareng-bareng Usir Cina-Cina Brengsek dari Cililitan".
Begitulah tulisan yang berada pada spanduk penolakan kehadiran Bioskop XXI di Pusat Grosir Cililitan (PGC), Jakarta Timur. Dalam spanduk itu terdapat logo ormas yang menamakan dirinya Gerakan Ormas Islam Betawi (GOIB) lengkap dengan gambar bendera merah putih di kiri dan kanannya.
Reporter Tirto pada Jumat (17/11/2020) mendatangi PGC dan langsung menuju lantai A atau lantai 7, lantai tertinggi di PGC. Sejak pukul 11.00 WIB hingga sore tak terlihat aktivitas akan ada aksi demonstrasi.
Beberapa warga bahkan sempat melaksanakan salat Jumat berjamaah dengan tertib di Masjid As-Sinah yang memang lokasinya berdekatan dengan Bioskop XXI. Selama salat Jumat dan hingga selesai tak nampak kerumunan massa demonstrasi. Bioskop XXI PGC pun beroperasi seperti biasanya. Hanya saja beberapa polisi berpakaian preman terlihat di sekitar wilayah bioskop untuk berjaga-jaga.
Ternyata pihak kepolisian sudah mendinginkan suasana sehari sebelum aksi demonstrasi. Dibantu pengelola PGC, jajaran kelurahan dan kecamatan setempat, aparat kepolisian beramai-ramai mendatangi kediaman Ketua GOIB, Andy M. Soleh di kawasan Cililitan, Kramat Jati, Jakarta Timur pada Kamis (16/1/2020).
Andy bahkan sempat menjalani pemeriksaan di Polda Metro Jaya sehari sebelum jadwal aksi. Pihak kepolisian akhirnya menyita belasan spanduk yang rencananya akan digunakan saat aksi tersebut dari kediaman Andy.
Penolakan Mengatasnamakan Agama
Alasan penolakan yang disampaikan Andy dalam keterangan tertulisnya karena timbul keresahan warga akibat letak bioskop yang berdekatan dengan Masjid As-Sinah.
“Dianggap tidak menghormati umat Islam dan kaum pribumi,” ujar Andy melalui keterangan tertulis yang diterima tirto, Jumat (17/1/2020).
Hal itu bukan alasan Andy mengakomodir penolakan. Ternyata ada motif ekonomi di baliknya, yakni dugaan ketakutan warga sekitar PGC yang tidak akan dipekerjakan kembali.
“Adanya warga RW 07 dan RW 15 yang sebagai warga pribumi atau sekitar PGC tidak dipekerjakan kembali oleh PGC,” tuturnya.
Persoalan ini pun ditepis General Manager PGC Akub Sudarsa. Akub dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto, Sabtu (18/1/2020) mengatakan “Saat ini 60 oersen pekerja di PGC baik security, kebersihan, dan lain-lain, berasal dari warga sekitar PGC, khususnya Kelurahan Cililitan. Tentunya dengan perjanjian yang telah disepakati dan tetap mengutamakan profesionalitas".
Sementara itu, Camat Kramat Jati Eka Darmawa mengklaim polemik penolakan XXI di Pusat Grosir Cililitan sudah mencapai titik damai.
Ia lantas mengimbau kepada masyarakat, jikalau menemukan hal serupa terulang kembali lekas melaporkan ke pihak berwajib atau ke kantor kecamatan langsung.
"Nanti konfirmasi atau cari informasi lanjutan agar terhindar dari berita hoax. Kaitan dengan hal ini, permasalahan yang timbul agar di koordinasikan dengan tiga pilar Kecamatan Kramat Jati," ujarnya kepada Tirto, Jumat (17/1/2020).
Setelah menemui Andy M. Soleh, akhirnya sepakat untuk membatalkan aksi demonstrasi. Meski begitu, ia sempat khawatir jika demonstrasi terjadi akan merusak citra wilayah Kramat Jati.
"Saya minta bantuannya kepada Andy M. Sholeh untuk membantu meredam aksi unjuk rasa ini, sehingga bisa dicari jalan penyelesaiannya," ujarnya.
Ormas Otoriter & Intoleran
Kejadian ormas menolak keberadaan bioskop bukan baru kali ini saja terjadi. Sebelumnya penolakan kehadiran bioskop juga bergejolak di Aceh pada awal Januari 2020.
Lantaran dianggap tidak memberikan manfaat. Pada 2017, Dee Cinema yang rencananya akan beroperasi di Cipanas, Jawa Barat juga ditolak Ormas. Selain memang karena persoalan izin, warga menolak karena bioskop menghadap ke masjid.
Direktur Riset SETARA sekaligus dosen Universitas Negeri Yogyakarta, Halili Hasan menilai kejadian penolakan bioskop di berbagai tempat termasuk PGC menunjukkan meningkatnya kapasitas koersif kelompok-kelompok warga intoleran. Menurutnya, sikap warga tersebut sudah melampaui apa yang dilakukan negara.
“Ekspresi pilihan sikap mereka dalam tindakan sudah melampaui negara yang sejatinya memiliki daya paksa yang dibenarkan atau authoritative coercion,” ujarnya kepada tirto, Sabtu (18/1/2020).
Kejadian macam itu terulang kembali, menurut Halili, dikarenakan lemahnya upaya penindakan aparatur negara dalam menghadapi kelompok mayoritas yang mengatasnamakan agama di tengah menguatnya populisme dan mayoritarianisme.
“Di sisi lain, di tengah lemahnya penegakan hukum, kelompok intoleran semakin percaya diri menampilkan secara terbuka ekspresi dan narasi konservatif-intolerannya,” tuturnya.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Bayu Septianto