Menuju konten utama

Natal Bersama Kelompok Minoritas di Gereja Komunitas Anugerah

Merayakan natal bersama keluarga tahanan politik Papua, penyintas 65 dan LGBTIQ di Gereja Kristen Anugerah.

Natal Bersama Kelompok Minoritas di Gereja Komunitas Anugerah
Perayaan natal di Gereja Komunitas Anugerah di Jakarta, 24 Desember 2019. tirto.id/Aulia Adam

tirto.id - “Selamat malam, salam sejahtera,” ucap Sang Pendeta, kemudian mengambil jeda. Ia berharap jemaat menyahut semangat, yang terdengar cuma sayup-sayup. “Kurang kencang. Sekali lagi, selamat malam!” katanya lagi.

“Malam,” sahut sekitar 150-an orang.

“Ini baru seratusan orang,” sambung Sang Pendeta, kali ini disambut gemuruh tawa. “Mungkin karena terbawa lagu-lagu Natal yang syahdu gitu ya, makanya agak lemes. Maklum, biasanya jemaat GKA itu, kalau enggak (nyanyi) lagu Internationale ya Darah Juang.”

Jemaat kembali tertawa.

Selasa malam, 24 Desember kemarin, saya menghadiri Misa Natal Gereja Komunitas Anugerah (GKA) Reformed Baptist. Malam itu, Pendeta Suarbudaya Rahadian memang banyak melempar kelakar dalam kotbahnya.

Sering kali humor itu berbentuk ironi, tentang kekhasan gereja mereka yang dianggap unik atau aneh oleh kelompok konservatif. Beberapa komentar yang lebih ekstrem bahkan tak sungkan mencap sesat karena keputusan-keputusan progresif mereka.

GKA adalah institusi agama pertama di Indonesia yang mendeklarasikan menerima dan mengafirmasi kelompok rentan Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Inteseksual, dan Queer (LGBTIQ), 2015 silam. Artinya, gereja itu tak mempermasalahkan orientasi seksual, ekspresi gender, dan ihwal lain dari kelompok tersebut—yang masih dianggap “dosa” dan “sesat” oleh komunitas agama lain.

Mereka juga jadi rumah bagi sebagian penyintas Tragedi 1965, yang sering kali dituding komunis. Belakangan, saat sejumlah aktivis Papua ditangkapi aparat karena menyuarakan penindasan di tanah mereka, dan dituding sebagai pelaku aksi makar, GKA juga jadi salah satu lembaga yang membantu advokasi.

Mendeklarasikan hal semacam itu tentu mengundang respons-respons buruk. Dianggap sesat dan dikucilkan di kelompok Kristen sendiri bukan barang baru buat mereka. “Banyak, kok, anggota yang masih kucing-kucingan dengan keluarganya untuk bisa beribadah,” kata Pendeta Suarbudaya sambil tersenyum, suatu sore di September kemarin, pada pertemuan pertama kami.

Humor ironis begitu memang sering kali jadi candaan eksklusif antar sesama jemaat. Di tengah-tengah kotbah tadi malam, misalnya, Pendeta Suarbudaya berkata:

“Tahun lalu, survei Wahid Institute bilang kalau LGBT adalah kelompok paling dibenci nomor dua di Indonesia. Nomor satunya komunis. Dua-duanya, ada di sini. Sekarang.”

Para jemaat kembali tertawa.

“Tapi, saudara-saudara. Orang-orang seperti kita yang tersingkir, tersisih, dan dianggap tidak memiliki daya ini, karena situasi itulah kita ingin berorganisasi dan ingin berdaya. Ini gereja apa LBH [lembaga bantuan hukum] ya?” sambung Pendeta Suarbudaya, yang disambut tawa jemaat lagi.

Saling Menerima, Saling Menjaga

Meski ditaburi humor, isi pidato Sang Pendeta sebetulnya tak bisa dibilang ringan juga. Ia merangkum sejumlah pelanggaran HAM yang terjadi selama setahun terakhir, dan mengingatkan jemaat untuk tak lupa saling mengasihi dan saling menjaga. Terutama untuk berusaha hadir buat kawan-kawan yang membutuhkan.

“Malam ini kita bersama keluarga tahanan politik Papua, karena sebagian dari anggota keluarga mereka ditahan karena dituduh makar,” katanya. “Mari bersama-sama kita menguatkan.”

Suasana berubah makin haru ketika memasuki Perjamuan Kudus. Pendeta Suarbudaya mengundang beberapa orang dari kelompok penyintas 65, LGBTIQ, dan keluarga tahanan politik Papua untuk bergabung dengannya di meja panjang di depan altar.

Sebelum memakan remahan roti dan meminum seteguk anggur, ia mempersilakan dua orang keluarga tahanan politik Papua membacakan surat kerinduan buat anggota keluarga mereka dalam tahanan.

Meski terkesan seperti komunitas pembela hak asasi, karena kegiatan advokasi mereka, Pendeta Suarbudaya menegaskan bahwa semua yang dilakukan GKA berdasarkan keimanan.

“Kami lembaga agama. Kami akan bilang kami mau me-reclaim kembali tafsir yang sudah direbut kelompok homofobik bahwa kami melakukan ini bukan karena human rights. Kami melakukan ini, first, karena kami Kristen. Yang kedua, baru karena human rights. Kenapa kami pakai jargon itu? Karena biasanya orang Kristen itu mikir human rights itu sekuler,” katanya.

Mereka ingin bilang: Afirmasi kami kepada LGBTIQ, misalnya, justru dimulai dari, “jantung keyakinan agama kami. Human rights itu justru jadi lapisan keduanya. Maka, kami menyebut diri faith community, bukan human rights community,” tambahnya.

Itu sebabnya mereka menerima semua orang yang terbuka untuk bergabung. GKA yang berdiri sejak 2013 sebetulnya berawal sebagai komunitas religius alternatif.

Kata Pendeta Suarbudaya, orang-orang yang datang ke sana sekitar 90 persen awalnya adalah orang-orang ateis dan agnostik, yang dulu pernah beragama tapi meninggalkan keimanan karena dianggap Kristen atau agama lain tidak relevan, rasional, ataupun manusiawi.

Tempat Bertemu Keluarga Baru

Salah satu jemaat yang saya temui tadi malam adalah Zaki. Ia pernah membagi kisah pergolakan imannya, yang memilih untuk tidak beragama, pada Tirto Agustus kemarin. Zaki sudah empat tahun terakhir sering berkunjung ke GKA, mengikuti ibadah Minggu, dan kelas-kelas diskusi yang disediakan Gereja pada hari-hari biasa di luar akhir pekan.

“Saya sebetulnya masih bisa dibilang panteism, belum Kristen. Tapi, GKA ini menarik. Ajarannya sangat progresif, dan selalu mencoba relevan dengan situasi sosial yang kita hadapi sehari-hari. Itu kan sesuatu yang jarang ada, bahkan mungkin tidak dipunyai intitusi agama lainnya,” kata Zaki, yang memilih tak menggunakan nama asli.

Ia senang pergi ke GKA karena atmosfer inklusif yang ditebarkan. Menurutnya, agama tak cuma jadi pakem yang tak bisa diperdebatkan di sana. GKA tetap menjalankan fungsinya sebagai jembatan agar agama tetap terus relevan bagi jemaat.

“Kita di sini diskusi, gimana agama bisa tetap merangkul. Bukannya malah dijadikan alat buat mengekslusifkan satu kelompok, dan mengasingkan kelompok lain,” kata Zaki.

Zaki datang bersama Celine, pacarnya. Meski sudah hampir setahun mengenal GKA dan sering mengikuti ibadah minggu dan diskusi-diskusi teologi mereka, malam tadi adalah perayaan Natal pertama Celine di sana. Dari kecil, ia adalah jemaat di salah satu Gereja Karismatik di Jakarta.

“Aku pertama kali ke sini [GKA], ya diajak Zaki,” kata Celine. “Walaupun sebenarnya aku yang Kristen dari kecil, tapi Zaki duluan yang ketemu tempat ini.” Celine bercerita sambil tertawa.

Buat Celine, ajaran-ajaran GKA juga jauh lebih membumi daripada pengalaman bergereja yang pernah dirasakannya. “Di gereja yang dulu, aku bahkan lebih jauh dengan jemaatnya. Walaupun ketemu setiap minggu selama sepuluh tahun terakhir, beda sama di sini,” tambah Celine.

Ia juga senang dengan gagasan-gagasan GKA yang dekat dengan konflik yang dihadapi sehari-hari. Terus mengkaji diri dan menyelaraskan dengan permasalahan yang muncul. “Banyak pertanyaan-pertanyaan personal yang sebelumnya bahkan enggak berani aku pertanyakan, tapi malah bisa dijawab di sini.”

Misalnya, perkara mengapa LGBTIQ begitu dimusuhi agama. “Padahal menurutku mereka biasa-biasa aja, enggak pernah mengganggu orang dengan jadi dirinya sendiri,” ungkap Celine.

Pasangan beda agama ini juga mengagumi bagaimana GKA terus berusaha tak cuma membuka diskusi, tapi juga mengadvokasi kelompok yang datang dari luar mereka. “Aku ngerasa Natal ini lebih hikmat dan syahdu, karena dengar surat dari keluarga tapol Papua tadi,” kata Celine.

“Aku juga terharu banget tadi,” sambung Zaki.

Baca juga artikel terkait NATAL 2019 atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Aulia Adam
Editor: Mawa Kresna