tirto.id - Data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) per 2022 menyimpulkan bahwa generasi penerus Indonesia mulai malas menikah. Kuantitas anak muda berumur 16-30 tahun yang memilih tetap single melonjak hingga 8% dalam satu dekade terakhir.
Dari segi kebijakan publik, fenomena kependudukan tersebut barang tentu mengancam situasi bonus demografi nasional yang diprediksi akan berakhir sekitar 13-14 tahun lagi.
Bila angka kelahiran mandek akibat frekuensi pernikahan menurun, sementara Angka Harapan Hidup (AHH) terus menanjak sebagai konsekuensi logis dari peningkatan kualitas hidup, bukan sesuatu yang mustahil Indonesia akan mengalami bencana demografi pada 2050.
Total penduduk lanjut usia (lansia) bakal dapat menyusul laju pertumbuhan angkatan kerja usia produktif setidak-tidaknya dalam dasawarsa yang sama dengan perayaan seabad proklamasi kemerdekaan republik tercinta.
Agaknya, alarm bahaya semacam itulah yang ditangkap oleh Bene Dion Rajagukguk dalam film panjang keduanya yang bertajuk Ganjil Genap. Perhitungan tentang hal tersebut jelas bukan hal yang rumit bagi seorang lulusan teknik dari Universitas Gadjah Mada yang menyandang status cumlaude.
Meskipun skenario yang ia besut merupakan hasil adaptasi dari novel berjudul serupa garapan, pendekatan alih medium yang Bene Dion terapkan mampu memberi warna segar bagi semesta kisahnya.
Buat saya, Ganjil Genap adalah salah satu drama komedi romantis terbaik di separuh jalan tahun ini. Pencapaian naratif dan warisan estetik Ngeri-Ngeri Sedap tampaknya bakal terlampaui.
Setidaknya terdapat sepasang poin utama yang merepresentasikan kekayaan kandungan olah kisah dalam film ini. Kita akan menilik poin-poin itu secara lebih mendalam pada bagian berikutnya.
Limit Cinta, Salah Komitmen
Sebuah penanda deskriptif yang kerap berulang dalam Ganjil Genap adalah pengungkapan seputar daya tahan cinta. Diklaim sebagai sebentuk "hasil riset ilmiah", para karakter protagonis dalam film terus menyuarakan urgensi mengenai seberapa lama cinta mampu survive dalam sanubari setiap individu yang menikah.
“Cinta hanya bertahan selama empat tahun. Sisanya ‘tuh komitmen!”
Benarkah demikian? Rasanya tidak penting memperdebatkannya secara serius (apalagi sampai turut menerapkan kaidah-kaidah ilmiah yang ketat dan kaku). Yang jelas argumen itu menjadi alat justifikasi atas keputusan-keputusan karakter protagonis yang mengesampingkan nilai fundamental dari komitmen.
Gala (Clara Bernadeth) menjalani masa pacarana selama delapan tahun hingga Bara (Baskara Mahendra) memutuskannya secara sepihak. Tak lama berselang, hadir sesosok pria baru bernama Aiman (Oka Antara). Sayangnya, Bara dan Aiman sama-sama memperlakukan komitmen dengan metode yang nyeleneh.
Isu komitmen kemudian berkembang semakin liar, menjadikannya bak hantu gentayangan di sekitar orang-orang yang mendiami semesta film. Lambat laun mereka mulai mewaspadai presensi isu itu.
Mereka bukannya tak punya alasan bersikap demikian. Ruang hidup urban, latar post-modern, hingga gaya hidup individualis yang mengesampingkan idealisme bangunan keluarga kental sekali mempengaruhi paradigma yang berlaku.
Justru kekhawatiran Bara dan Aiman tampil membawa efek echo chamber. Celetukan-celetukan mereka tatkala berhadapan dengan Gala berhasil mewakili kegelisahan anak-anak muda yang sehari-hari berkutat dalam ekosistem serupa.
Elemen mikro semacam itu berperan besar mempertautkan semesta film dengan para audiens, membuat penonton larut dalam problematika personal di antara ketiga karakter utamanya. Namun substansi isu yang menguar sesungguhnya jauh lebih kompleks.
Ironi Pemberdayaan
Sebuah penelitian (yang ini beneran saintifik, lho!) yang dilakukan Karel Karsten Himawan dari Universitas Pelita Harapan pada 2020 menunjukkan bahwa tren pertumbuhan orang lajang sudah menerpa Indonesia sejak empat dekade silam.
Jumlah orang yang tidak menikah meningkat secara konsisten sepanjang periode 1970-2010. Secara spesifik, perempuan usia 35-39 tahun yang memilih single naik hingga tiga kali lipat. Sebaliknya, pria usia 35-39 tahun yang hidup sendiri juga bertambah dari 10,02% medio 2000 menjadi 11,58% medio 2010.
Penelitian tersebut memaparkan pula bahwa pandangan neoliberal yang menyatakan pernikahan sebagai produk usang dan kurang relevan dengan kepentingan individu masa kini mulai merambah ke tanah air.
Di sisi lain, fenomena itu berkorelasi dengan program pengarusutamaan gender yang dijalankan pemerintah. Partisipasi perempuan dalam dunia kerja menanjak pesat, mendorong mereka menanggalkan nilai-nilai tradisional.
Pilihan tersebut, berpadu dengan tradisi hipergami yang lazim dijumpai dalam budaya masyarakat kita, berkontribusi besar mengakselerasi temuan Karel. Walaupun fakta lapangan ini tampak bersilangan dengan penggambaran konflik dalam film, substansinya tetap bermuara pada kecemasan yang sama.
Pada titik ini, penyebab munculnya kekhawatiran mengikatkan diri pada calon pasangan potensial terbagi menjadi dua aspek. Pertama, kesiapan mental dan finansial. Aspek inilah yang ditekankan berulang-ulang oleh karakter Aiman yang disimbolkan melalui kegugupannya menghadapi anak kecil.
Aspek tersebut pula yang mampu menjawab pertanyaan mengenai kenapa laju pertumbuhan pernikahan terus melambat sementara kebanyakan orang Indonesia masih menempatkan status pernikahan sebagai identitas sosial strategis.
Kedua, penyebab minor dari ketakutan atas komitmen agaknya tak jauh dari intervensi negara yang terlalu jauh mencampuri ranah privat warganya via produk legislasi. Pasalnya, cawe-cawe itu berkelindan dengan unsur hipergami di atas.
Pada intinya tradisi hipergami mensyaratkan bahwa pernikahan perlu terjadi antara lelaki dengan status sosial, ekonomi, dan tingkat spiritualitas yang lebih tinggi daripada perempuan atas dasar nilai keagamaan/religiusitas.
Hal tersebut tentu bertentangan dengan semangat pemberdayaan perempuan serta pengarusutamaan gender. Yang satu membatasi gerak-gerik agar tetap berada dalam koridor normatif, yang lain menawarkan ruang otonom seluas-luasnya.
Perihal Transformasi
Bene Dion selaku nakhoda film ternyata turut mengadopsi sepasang pendekatan dalam bagian terdahulu. Ia melukiskan pertumbuhan psikologis Gala secara ciamik sampai mencapai klimaks yang termanifestasikan melalui sekuens "jembatan cincin" di babak ketiga.
Gala memainkan peran sentral bagi proses pendewasaan Bara sembari memancing Aiman untuk berani keluar dan mengalahkan momok komitmen yang menghantuinya selama ini.
Rentetan adegan tersebut menjadi pembuka yang manis bagi pengujung film, sebelum sang sutradara menutup rangkaian narasinya dengan epilog singkat yang berisi sebuah punchline menohok.
Betul bahwa tidak ada pernikahan literal di sana, tapi pernikahan yang jauh lebih subtil sesungguhnya telah terjadi. Singkat cerita, trio karakter utama menjalani transformasi personal masing-masing sampai benar-benar rampung.
Keluaran tiap-tiap proses transformasi memang berbeda, bisa dipandang negatif atau positif. Durasi waktu yang diperlukan guna menuntaskan transformasi pun cukup bervariasi sebab amat tergantung kepada kualitas refleksi individual.
Yang jelas, semuanya sukses mencerabut akar momok yang tertanam dalam benak mereka dan menggantinya dengan pot ontologis yang segar. Dengan demikian, komitmen bukan lagi musuh, melainkan katalis untuk terus bertumbuh.
Penulis: Jonathan Manullang
Editor: Lilin Rosa Santi