Menuju konten utama
Misbar

Onde Mande! dan Jalan Tengah Cita Rasa Lokal

Onde Mande! mengolah cerita Kampung Sigiran di pinggir Danau Maninjau, Sumatera Barat, menjadi sarana bernostalgia.

Onde Mande! dan Jalan Tengah Cita Rasa Lokal
Film Onde Mande. FOTO/IMDB

tirto.id - Pasca Reformasi 1998, film Indonesia memasuki babak baru. Eksplorasi naratif kian bebas dan berkembang, tak terkecuali merambah khazanah kebudayaan lokal yang amat kaya di berbagai daerah.

Dekade 2010 ke atas mulai dibanjiri oleh fragmen lokalitas yang mengisi layar lebar non dokumenter. Pemantik utama masih berasal dari para pembuat film asal Yogyakarta sekitarnya yang tampak ingin membangun sebentuk aliran new wave.

Sebut saja judul-judul fenomenal seperti Vakansi Yang Janggal dan Penyakit Lainnya (Yosep Anggi Noen, 2012); Siti (Eddy Cahyono, 2014); Turah (Wicaksono Wisnu Legowo, 2016), hingga Prenjak (Wregas Bhanuteja, 2016) yang berjaya di Cannes Film Festival.

Dari luar kultur Jawa terdapat Sepatu Baru (Aditya Ahmad, 2013), Sekala Niskala (Kamila Andini, 2017) serta Istri Orang (Dirmawan Hatta, 2018) yang begitu provokatif dalam aspek produksi.

Sayangnya kanal distribusi karya-karya itu masih terkungkung pada koridor festival film, baik nasional maupun internasional, serta gerakan-gerakan ekshibisi alternatif yang dominan berada di kota-kota besar dan/atau kawasan urban.

Dari segi kuantitas, penikmat festival maupun pemutaran berbasis komunitas tentu bisa dihitung dengan jari. Daya cakupannya pun terbatas hanya pada jejaring pergaulan tertentu yang belum bersifat inklusif.

Kebuntuan narasi kedaerahan menembus layar bioskop arus utama mulai merasakan angin segar tatkala Ngeri-Ngeri Sedap (Bene Dion Rajagukguk, 2022) sukses menyihir para penonton di seantero negeri.

Debut penyutradaraan yang mengangkat adat istiadat Batak Toba, isu seputar perantauan, serta relasi antara orang tua dan anak tersebut mampu membawa secercah harapan bahwa selain horor, kisah berbasis budaya lokal sanggup menjadi viral dan diterima secara universal.

Keyakinan itulah yang agaknya dipegang dan diterapkan oleh Onde Mande!. Setelah produk kultural Batak yang bernuansa segar, giliran narasi dari Tanah Minang yang mengudara.

Alegori Nostalgia

Premis yang mencuat dalam film ini sesungguhnya merefleksikan kehidupan pribadi sang sineas, Paul Agusta. Ia memanfaatkan kesempatan mengolah cerita Kampung Sigiran di pinggir Danau Maninjau, Sumatera Barat, menjadi sarana bernostalgia.

Tak berlebihan rasanya menyebut Onde Mande! sebagai sekuel tidak resmi dari Semua Sudah Dimaafkan, Sebab Kita Pernah Bahagia (2017). Keduanya disutradarai oleh sosok yang sama serta berkutat pada tokoh yang sama pula: sang mendiang ayahanda sekaligus salah seorang seniman terkemuka, Leon Agusta.

Onde Mande! selangkah lebih maju dalam memperlakukan suasana nostalgia dimaksud. Alih-alih menempatkannya secara harfiah, karakter Angku Wan (Musra Dahrizal Katik Rajo Mangkuto) selaku representasi personifikasi Alm. Leon Agusta justru diposisikan sebagai sebuah alegori.

Karakter ini merupakan simbol bagi keteguhan menjunjung adat istiadat sembari mengusahakan kemakmuran seluruh penduduk melalui bantuan dana yang bersifat populis. Sekilas, sepasang elemen itu seakan bertolak belakang.

Tradisi sejatinya tidak pernah populer. Ia dianggap bagian dari kekolotan yang menolak bergerak mengikuti perkembangan zaman. Sebaliknya, yang populer umumnya adalah produk modernitas yang kerap diolok-olok oleh kelompok-kelompok konservatif sebagai wujud penetrasi budaya asing.

Sedari pembukaan film, Angku Wan telah melihat celah kompromi. Ia konsisten mengikuti undian sebuah komoditas populis, menang, lantas berniat menggunakannya demi sebesar-besarnya kepentingan warga Kampung Sigiran. Ia memilih jalan tengah yang tidak bakal mudah dipahami oleh tetangga-tetangganya.

Pemaknaan serupa dapat berlaku dalam membaca arah konflik yang telah disinggung di atas. Siapa bilang kultur daerah mustahil berhasil dalam ekosistem mainstream? Siapa bilang yang tradisional tidak bisa laku dan populer?

Mungkin, sehabis ini, proses pencarian terhadap formula produksi film yang mampu mempertemukan cita rasa lokal dengan tuntutan hiburan arus utama akan mulai menunjukkan titik terang. Dan itulah perjudian yang tengah dijalani oleh Onde Mande! sepanjang masa tayangnya.

Infografik Misbar Onde Mande

Infografik Misbar Onde Mande. tirto.id/Ecun

Proyeksi Masa Depan

Saya sama sekali tidak terganggu dengan cara Paul menuntaskan konflik yang tersaji dalam film. Saya akan jauh lebih terganggu bila film ini, dengan segala potensinya, gagal menuntaskan tantangan yang sedang terbentang di hadapannya.

Jika Onde Mande! mampu meraup atensi masyarakat secara signifikan (tergambar melalui jumlah penonton di pengujung masa tayangnya kelak), maka ia, bersama Ngeri-Ngeri Sedap, telah mematrikan sebentuk preseden penting terkait problem pencarian formula produksi pada bagian sebelumnya.

Karya-karya lokal berikutnya tinggal melanjutkan apa yang telah mereka mulai dengan penyesuaian-penyesuaian taktis dan adaptif. Namun memang, praktik di lapangan tidak pernah sesederhana rumusan teoritis.

Formula yang menerapkan kombinasi (meminjam sebagian kecil aspek kedaerahan lantas memadukannya dengan narasi utama yang populis) sudah jamak kita jumpai. Justru karena itu, pilihan kreatif Paul yang merancang filmnya secara radikal ketika 90% dialog diutarakan dalam Bahasa Minang patut diapresiasi.

Untuk hari-hari selanjutnya, pemerintah melalui kementerian terkait perlu memberi perhatian khusus pada upaya mengeksplorasi budaya lokal serta proses alih wahana hasil eksplorasi tersebut ke tatanan medium audio-visual.

Porsi-porsi pendanaan, pembekalan, sampai pendampingan negosiasi dengan calon investor lintas negara wajib dikedepankan. Toh, model co-production multinasional kian lazim dewasa ini.

Pemerintah bisa berkolaborasi dengan segenap pemangku kepentingan dalam hal memastikan bahwa kekayaan tradisi Indonesia yang amat beragam memperoleh kehormatan dan posisi yang layak, baik di kalangan audiens dalam negeri maupun dalam forum-forum pemutaran di tingkat global.

Jalan tengah tentu butuh jembatan. Negara sangat mampu mengambil peran perantara itu dalam konteks jangka panjang. Ia menjembatani sepasang paradigma yang bertentangan secara alamiah, kemudian menunjukkan persamaan-persamaan di antara mereka yang potensial menjadi kompromi yang saling menguntungkan.

Ketika kelak ada film Indonesia yang sepenuhnya bertumpu pada bahasa daerah, adat istiadat setempat, serta problematika marjinal sanggup mengharumkan nama bangsa dan negara di kancah internasional, tentu semua orang akan larut dalam luapan kebanggaan.

Pada momen-momen magis nan langka semacam itu, seni film (yang bukan horor) akan berdiri setara dengan olahraga sepakbola sebagai alat pemersatu yang terbukti mangkus dan sangkil.

Namun yang lebih penting dari itu adalah memenangkan hati penonton tanah air. Bukan hanya mereka yang berdarah Minang, melainkan seluruh penikmat film Indonesia yang berasal dari berbagai latar belakang suku dan tradisi.

Seumpama slogan jadoel yang kerap direproduksi setiap kali momen Hari Film Nasional tiba: “saatnya film Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri!”. Konsep jalan tengah ini adalah jalan terbaik menuju perwujudan ke arah sana, setidaknya untuk saat ini.

Baca juga artikel terkait MISBAR TIRTO atau tulisan lainnya dari Jonathan Manullang

tirto.id - Film
Kontributor: Jonathan Manullang
Penulis: Jonathan Manullang
Editor: Lilin Rosa Santi