tirto.id - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan sistem keuangan Indonesia, pada Triwulan I-2018, tetap dalam kondisi stabil dan terkendali.
Sri Mulyani mengakui tekanan pada pasar keuangan mengalami peningkatan menjelang akhir April 2018. Tapi, menurut dia, sistem keuangan Indonesia tetap stabil sebab ditopang oleh fundamental ekonomi yang kuat, kinerja lembaga keuangan yang membaik serta kinerja emiten di pasar modal yang stabil.
"Demikian kesimpulan rapat berkala Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) berdasarkan penilaian terhadap perkembangan moneter, fiskal, makroprudensial, sistem pembayaran, pasar modal, pasar Surat Berharga Negara, perbankan, lembaga keuangan nonbank, dan penjaminan simpanan," kata Sri Mulyani usai rapat berkala KSSK di kantor Bank Indonesia, Jakarta, pada Senin (30/4/2018).
Dia menjelaskan terdapat empat hal yang menunjukkan fundamental ekonomi Indonesia pada triwulan I-2018 tetap kuat. Pertama, tingkat inflasi terjaga sesuai target pada 2018, yakni 3,5 plus minus satu persen.
Kedua, kondisi APBN tetap terjaga dengan defisit anggaran dan defisit keseimbangan primer yang jauh lebih kecil dibandingkan triwulan I-2017. Sri Mulyani mencatat realisasi penerimaan Pajak Penambahan Nilai (PPN) tumbuh 15,03 persen dan penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) non migas tumbuh 20,12 persen tanpa tax amnesty.
Ketiga, momentum pertumbuhan ekonomi terus berlanjut dengan tingkat konsumsi, investasi, dan ekspor yang masih terus terjaga.
"Pertumbuhan ekonomi diharapkan tetap terjaga sesuai target pertumbuhan ekonomi 2018 sebesar 5,4 persen," kata Sri Mulyani.
Keempat, dia menambahkan, defisit transaksi berjalan masih di bawah batas aman, yakni 3 persen dari Product Domestic Bruto (PDB) dengan ditopang oleh neraca perdagangan yang surplus. Selain itu, ketahanan sektor eksternal juga terjaga. Hal itu tercermin dari posisi cadangan devisa sebesar 126 miliar dolar AS, pada akhir triwulan I-2018.
"Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 7,9 bulan impor atau 7,7 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Angka tersebut berada di atas standar kecukupan internasional sebesar 3 bulan impor," kata Sri Mulyani.
Sementara berkaitan dengan pelemahan nilai tukar rupiah, yang sempat tembus angka Rp13.900 per dolar AS pada April 2018, Sri Mulyani menyatakan kondisi tersebut terjadi karena faktor eksternal.
"Penguatan dolar AS tersebut didorong oleh berlanjutnya kenaikan yield US Treasury (suku bunga obligasi negara AS) hingga mencapai 3,03 persen, yang tertinggi sejak 2013 dan potensi kenaikan Fed Funds Rate lebih dari 3 kali [pada 2018]," kata dia.
Sedangkan dari sisi domestik, pelemahan nilai tukar rupiah pada April 2018, memicu kenaikan permintaan valas sesuai pola tahunan.
Sri Mulyani mengklaim depresiasi nilai tukar rupiah masih terjaga dan lebih rendah dibandingkan dengan yang terjadi pada sejumlah mata uang sejumlah negara berkembang maupun negara maju lainnya.
"Terkelolanya kurs rupiah didukung oleh upaya stabilisasi untuk mengurangi volatilitas baik di pasar valas maupun pasar SBN," kata Sri Mulyani.
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Addi M Idhom