tirto.id - Bergaya sesuka hati tanpa ada yang mengomentari pasti menjadi harapan kebanyakan orang yang berpindah ke luar negeri. Namun, di balik imaji-imaji berpindah ke negeri asing tidak selamanya indah. Mereka mungkin akan mengalami shock culture atau gegar budaya dalam Bahasa Indonesia.
Pengertian Gegar Budaya atau Shock Culture
Gegar budaya atau shock culture adalah suatu perasaan bingung, cemas, risau, gelisah ketika bertandang atau bermukim di lingkungan masyarakat yang baru dan total beda dengan situasi biasanya. Terlebih bagi mereka yang baru pertama kalinya tinggal dalam waktu lama di daerah baru
Umumnya culture shock yang dialami pertama kali ialah pada proses berkomunikasi. Pengalaman berbicara bahasa asing tidak di negara aslinya akan sangat berbeda ketika mempraktikkannya langsung di negara asal. Belum lagi disparitas nilai mata uang, perilaku mengonversi harga barang di luar negeri dengan mata uang negara asal kerap kali terjadi dan menjadi kendala.
Gejala Gegar Budaya
Proses adaptasi setiap orang pasti berbeda-beda, ada yang berhasil melaluinya dengan cepata atau lambat untuk keluar dari fase tersebut. Begitu pula dengan dampak dari shock culture yang memengaruhi kehidupan setiap orang dalam bentuk yang beragam. Meski begitu setiap individu akan mengalaminya.
Untuk mengidentifikasi bahwa sedang mengalami shock culture, berikut adalah tanda-tandanya:
- merasa bosan,
- menarik diri dari lingkungan baru,
- diliputi perasaan tidak berdaya
- mudah lelah hingga lebih sering tidur,
- terlalu sering mengomentari budaya atau tradisi setempat,
- homesick alias kangen rumah
- depresi.
Tahapan Gegar Budaya
Melansir dari Now Health International, gegar budaya terbagi dalam empat sampai lima tahapan. Mengapa dikatakan empat sampai lima tahapan? Hal ini dikarenakan tahap satu sampai empat akan dialami seseorang ketika di perantauan. Sedangkan fase ke lima akan mereka rasakan saat kembali ke kampung halamannya.
1. Honeymoon Stage
Honeymoon Stage babak pertama dari shock culture, biasanya terjadi pada minggu sampai bulan pertama. Hal yang dominan dirasakan adalah euphoria menjalani kehidupan ‘baru’ yang berbeda dari sebelumnya. Mulai dari panorama, kemajuan teknologi, hingga keunikan tradisi dari daerah baru tersebut.
Pada fase ini umumnya dipenuhi dengan pengalaman-pengalaman menyenangkan. Namun, periode ini harus berakhir dan beralih pada tahapan selanjutnya.
2. Negotiation Stage
Pada tahap ini seseorang akan mulai mengalami frustasi. Sering kali dikarenakan peralihan dari honeymoon stage yang penuh kebahagiaan berganti ke negotiation stage, yakni kesulitan mulai menyerang secara bertubi-tubi.
Beberapa contohnya adalah terkendala dengan jalan pulang atau kebingungan memilih menu saat di restoran menjadi yang paling sering dialami. Perubahan situasi yang berbanding terbalik ini kerap kali membuat orang putus asa dan ingin kembali ke negara asalnya. Fase transisi ini biasa dibarengi dengan kondisi kesehatan yang mengalami penurunan.
3. Adjustment Stage
Setelah melewati kurang lebih setengah tahun, seseorang akan memasuki tahap penyesuaian yakni sudah lebih bisa memahami kondisi lingkungan hidupnya. Di fase ini umumnya individu mulai mencoba berbaur kembali dengan masyarakat hingga mempelajari hal-hal baru yang berkaitan dengan budaya negara tersebut.
Salah satu cara adaptasi yang umum dilakukan adalah membangun relasi dengan warga setempat. Selain itu orang tersebut mampu menangani jauh lebih baik dari sebelumnya.
4. Adaptation Stage
Tahap adaptasi menjadi tahapan terakhir yang akan seseorang alami ketika masih berada di "daerah asing". Pada fase ini individu telah sepenuhnya merasa nyaman dengan segala yang terjadi di daerah baru tersebut.
Hal ini dilatarbelakangi oleh keberhasilan seseorang dalam pembiasaan akan keadaan baru dengan membuat pola hidup sesuai kepribadiannya. Sekalipun anda tidak akan kembali merasakan euforia yang sama seperti honeymoon stage, anda akan merasa bahagia dan betah menetap di lingkungan baru tersebut.
5. Re-entry Shock
Setelah bermukim di daerah baru dalam jangka waktu panjang di mana sudah terbiasa dengan segala macam situasi dan kondisinya. Ketika pulang ke daerah asal seseorang akan dengan cepat menyadari bahwa keadaan sudah berbeda dan tidak lagi sama ketika dirinya pergi merantau.
Individu akan merasa keluarga, teman atau kerabatnya sudah berkembang tanpa dirinya di sana. Perasaan sedih akan meliputi ketika harus beradaptasi kembali dengan segala kebaruan di lingkungan lama.
Cara Mengatasi Gegar Budaya
Gegar budaya adalah hal yang wajar dan tidak sebaiknya membebani pikiran. Kendati begitu, para calon ekspatriat atau turis ada baiknya melakukan persiapan sebagai upaya meminimalkan dampak dari culture shock. Namun, apabila sudah atau bahkan masih terjadi, maka dapat dilakukan dengan langkah-langkah seperti berikut:
1. Mempelajari daerah tujuan
Cari tahu lebih dalam mengenai seluk beluk negara baru yang akan disinggahi. Hal ini tidak terbatas pada pengetahuan-pengetahuan umum saja, coba sesekali mencari fakta unik terkait negara tersebut atau anjuran mengenai perilaku-perilaku yang tidak disenangi penduduk lokal.
2. Menghafal lokasi-lokasi penting
Ketika sudah sampai daerah tujuan, biasakan untuk memahami lingkungan sekitar dimulai yang terdekat. Hafalkan lokasi tempat-tempat penting seperti kantor polisi, rumah sakit, dan sebagainya. Perhatikan pula bangunan-bangunan di sekitaran tempat tinggal.
3. Tidak membandingkan daerah
Hindari kebiasaan membandingkan segala sesuatu di daerah baru dengan daerah asal. Hal ini dapat menyulitkan untuk terus bergerak maju. Perantau akan terus teringat dengan kampung halaman dan merasa berat untuk menjalani kehidupan di tempat baru.
4. Menjalin relasi di daerah baru
Di daerah baru, perantau sebaiknya menjalin relasi dengan masyarakat setempat. Sering bersosialisasi bisa menjadi salah satu cara bertahan hidup di lingkungan baru. Namun, waspada tetap menjadi kunci keselamatan diri tetapi juga jangan sampai mengunci diri.
5. Berpikir terbuka
Tetap memiliki pola pikir yang terbuka dipercaya menjadi cara paling efektif dalam menghadapi shock culture. Dengan menjadi pribadi yang adaptif tanpa harus memaksakan diri terlalu keras, niscaya guncangan budaya akan terlewati.
Penulis: Farizqa Ayuluqyana Putri
Editor: Agung DH