Menuju konten utama

Pengalaman Memeriksa Corona Setelah Berinteraksi dengan Budi Karya

Beberapa jurnalis yang sempat meliput dan berinteraksi dengan Menhub Budi Karya Sumadi menjalani tes COVID-19 pada akhir pekan kemarin. Bagaimana pengalaman mereka?

Pengalaman Memeriksa Corona Setelah Berinteraksi dengan Budi Karya
Petugas ambulan tiba di depan ruang Pinere, RSUP Persahabatan, Pulogadung, Jakarta Timur, Kamis (12/3/2020). ANTARA FOTO/Andi Firdaus.

tirto.id - Jika ada yang ikut khawatir setelah Menteri Perhubungan dinyatakan positif terjangkit Corona atau COVID-19, itu tidak lain adalah jurnalis, terutama yang berinteraksi dengan Budi Karya Sumadi dalam dua pekan terakhir. Biasanya, para juru warta akan mengerubungi sang menteri untuk diwawancarai lebih lanjut setelah dia menggelar konferensi pers--biasa disebut doorstop interview.

Sapto, pewarta yang bertugas di Istana Negara, bersama kawan sesama jurnalis berinisiatif memeriksakan diri pada Ahad lalu (15/3/2020) ke RSUP Persahabatan, salah satu rumah sakit rujukan penanganan Corona. Ia sampai pukul 9 pagi.

“Pergi ke Griya Puspa. Di sana ketemu petugas, ditanya 'ada keluhan enggak?' Kalau enggak ada, besok ke sini lagi. Kalau ada, silakan ke Pinere,'” kata Sapto. Pinere merupakan ruang yang disediakan RSUP Persahabatan sebagai pusat penyedia informasi penanganan kasus Corona.

Sapto dan seorang jurnalis lain menunggu cukup lama. Sapto lantas bertanya ke petugas dan mendapat jawaban tak terduga. “Ternyata kalau Minggu tutup. mereka enggak ada sif jaga,” katanya.

Saptop lantas menghubungi Achmad Yurianto, juru bicara penanganan Corona. Yuri lantas mengarahkan para pewarta ke Instalasi Gawat Darurat (IGD). Saat itu juru warta semakin banyak berdatangan, juga untuk memeriksakan diri. Namun ternyata itu tak membuat semuanya lebih mudah. “Ditolak halus. Intinya, klinik Covid-19 tutup. Kalau mau datang lagi besok,” kata Sapto menirukan ucapan petugas.

Sapto menjelaskan mereka punya riwayat kontak dengan Budi Karya--disebut kasus ke-76. Ia lantas diminta mengisi kartu informasi dan setelah itu disuruh pulang.

Sapto menghubungi kembali Yuri. Setelah itu petugas menemuinya dan mengatakan para wartawan akan diperiksa pukul 12. Namun ternyata sampai jam 12 lewat “masih enggak jelas, katanya masih disiapkan.” Mereka dibiarkan menunggu di luar, yang saat itu sedang terik-teriknya. “Ya wes aku nyerah sekitar jam 12-an.”

Sapto dan beberapa pewarta lain akhirnya memutuskan pindah ke RSUD Pasar Minggu. Di sana dia akhirnya ditangani tapi tidak lama-lama karena tidak ada gejala sakit apa pun. Sapto kecewa karena tidak semua rumah sakit beroperasi.

Saya mengalami hal yang tak jauh beda dari Sapto. Saya, yang sehari-hari juga ditugaskan kantor meliput di Istana dan sempat kontak dengan Budi Karya, turut serta memeriksakan diri. Saya datang sekitar pukul 10.00 WIB ke RSUP Persahabatan. Saat tiba sudah ada 10 wartawan sedang mengantre di depan IGD. Ada dua perawat yang menangani mereka.

“Bapak ada riwayat?” tanya salah satu perawat.

Beberapa wartawan akhirnya tidak mengisi kartu kesehatan dan ada yang diminta pulang. Beberapa yang lain tetap ingin memeriksakan kesehatannya.

Sebagaimana Sapto ceritakan, wartawan memang sempat diminta untuk menunggu karena pihak rumah sakit meminta waktu untuk persiapan. Salah satu wartawan, Anang Purwanto, mengeluhkan rumah sakit yang tidak langsung menangani pasien.

“Tadi kami datang ke IGD, mengisi formulir orang dengan riwayat ke daerah terinfeksi. Habis itu dijelaskan petugas dokter jaga IGD. Peralatannya masih disiapkan segala macam. Belum ada pengecekan sama sekali,” katanya.

Wartawan kemudian menunggu hingga pukul 12.00. Namun, pihak rumah sakit tidak kunjung menangani. Salah satu wartawan menghubungi Dirut RS Persahabatan Rita Rogayah, tapi rumah sakit tetap mengaku tidak bisa langsung menangani wartawan yang saat itu kira-kira sudah ada 30 orang.

“Saat ini ada pasien. Masal mau digabung?” kata Rita saat itu.

RS Sulianti Saroso Lebih Sigap

Tak mendapat penanganan di RSUP Persahabatan, saya memutuskan ke rumah sakit rujukan pemerintah lainnya, yakni RSPI Sulianti Saroso, Sunter, Jakarta Utara. Begitu tiba di RSPI Sulianti Saroso, setidaknya ada 20 orang mengantre untuk diperiksa.

Salah seorang satpam langsung menanyakan maksud kedatangan kami. Saya yang datang bersama tiga jurnalis langsung mendapatkan nomor antrean dengan catatan. “Satu nomor berdua ya,” kata satpam itu.

Setidaknya saya harus menunggu sampai satu setengah jam untuk dipanggil. Saat itu petugas langsung menanyakan keluhan dan alasan ke RSPI. Pria tersebut tidak memperkenalkan diri, tetapi saya mendengar yang lain memanggilnya Agus. Suhu tubuh saya saat itu 36,7 derajat, cukup normal.

Usai memeriksa, Agus menjelaskan tentang masa inkubasi Covid-19, yaitu 14 hari. “Nanti biar petugas medis di IGD yang memeriksa ya,” ujar Agus.

Saya lantas dibawa ke IGD RSPI Soelianti Saroso. Ruangannya cukup besar dengan enam tempat tidur dan alat bantu pernapasan yang tersimpan di kotak.

Setidaknya ada empat petugas medis dengan menggunakan alat pelindung diri mondar-mandir. Ada yang sedang menangani pasien, ada juga yang mengisi dokumen. Salah seorang tenaga medis mengulang pertanyaan Agus: kenapa saya ke sini. Saya kembali mengulang jawaban kepada Agus. Ia lantas meminta saya berbaring di kasur dan mengukur tekanan darah.

Seorang tenaga medis lain lagi-lagi menanyakan hal serupa, dan saja jawab juga dengan jawaban yang sama. Ia lantas menegaskan kalau saya dikategorikan sebagai orang dalam pengawasan (ODP).

Selama menunggu hasil, saya melihat beberapa pasien tidak menggunakan masker. Salah satu dari mereka bertanya soal hasil rontgen karena merasa sesak napas. Ada juga pasien yang bersikeras minta ditangani lebih serius

Pada pukul 16.30 atau 30 menit setelah ditanya-tanya tenaga medis, sampel darah saya diambil. “1-2 jam lagi baru bisa diambil [hasil cek lab]. Yang tes darah banyak,” kata petugas yang mengambil darah.

Saya sempat keluar dari ruangan sekitar dua jam. Saya baru kembali ke RSPI pukul setengah delapan malam.

Pihak rumah sakit kemudian menyampaikan kalau saya memang ada masalah kesehatan, tetapi bukan karena Covid-19. “Ada bakteri,” kata petugas.

Meskipun tidak ada indikasi Covid-19, saya diminta untuk mengisolasi diri selama 14 hari. Ia pun meminta agar saya segera memeriksakan diri jika kondisi kesehatan memburuk hingga 25 Maret.

Saya akhirnya meninggalkan rumah sakit setelah membawa sejumlah dokumen dan membayar sekitar Rp300 ribu.

Hingga Minggu (15/3/2020), sudah ada 117 pasien positif Corona di Indonesia. Korban meninggal sudah lima, dan yang sembuh delapan orang.

Baca juga artikel terkait WABAH VIRUS CORONA atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Maya Saputri