tirto.id - Di atas meja makan itu tersedia madeira [minuman anggur beralkohol tinggi dari pulau Madeira] dan bitter [sejenis minuman beralkohol yang terbuat dari herbal atau akar tumbuhan dan digunakan sebagai campuran minuman atau sebagai tonik]. Dua anak laki-laki berbaju putih dan dengan rambut hitam yang disisir rapi, menyuguhkan Wallace sebuah nampan berisikan satu baskom air dan serbet bersih.
Makan malam yang sangat lezat telah menyambut sang tamu. Unggas yang disajikan oleh tuan rumah dimasak secara beragam. Daging babi liar panggang, rebus dan goreng, setup saus daging kelelawar dan sayuran, kentang, nasi dan sayur-mayur lainnya; semua itu disajikan menggunakan peralatan makan keramik bermutu tinggi, dengan gelas tinggi dan serbet halus, serta bir dan anggur yang enak dalam jumlah besar.
Bagi Alfred Russel Wallace (8 Januari 1823-7 November 1913), semua ini agak sedikit mengherankan, karena seorang kepala desa pribumi bergelar “Wali kota” dari daerah pegunungan di Sulawesi dapat menyajikan hidangan semelimpah ini.
Tuan rumah mengenakan pakaian berwarna hitam dengan sepatu kulit berwarna terang. Dia terlihat sangat nyaman dan hampir mirip seperti tuan besar dengan baju itu. Wali kota duduk di kepala meja dan melakukan tata cara penyambutan dengan benar, meskipun dia sendiri tidak banyak bicara sepanjang acara jamuan makan. Pembicaraan mereka sepenuhnya dalam bahasa Melayu, karena bahasa itu juga merupakan bahasa ibu dan satu-satunya bahasa yang dikuasai oleh tuan rumah.
Bagaimanapun, jamuan ini meyakinkan Wallace, bahwa semua kepala suku saat itu dengan bangga telah mengadaptasi budaya Eropa dan senang jika dapat menyambut tamu mereka dengan cara demikian. Ayahnya Wali kota, yang merupakan kepala suku sebelumnya, menurut informasi yang Wallace dapat, hanya mengenakan kulit pohon sebagai pakaiannya, dan tinggal di rumah panggung sederhana dan dihias dengan banyak kepala manusia.
Setelah makan malam dan rehat minum kopi, si “Pengawas” pergi ke Tondano. Wallace pun berjalan-jalan keliling desa sambil menunggu barang-barangnya diantar; yang diangkut menggunakan sebuah gerobak yang ditarik oleh lembu jantan dan baru tiba pasca tengah malam.
Sekadar catatan, tanaman kopi diperkenalkan ke Minahasa pada 1822, dan sebuah uji coba sedang dijalankan untuk membudidayakan tanaman tersebut. Kopi ternyata dapat tumbuh dengan subur antara ketinggian 1.500 kaki sampai dengan 4.000 kaki [457-1.219 meter] di atas permukaan laut.
Jamuan tengah malam tidak terlalu berbeda dengan makan malam. Tatkala hendak tidur, Wallace diantar ke sebuah kamar kecil nan indah dengan tempat tidur yang nyaman, lengkap dengan kain kelambu berwarna biru dan merah, beserta segala perlengkapan yang dia perlukan. Keesokan paginya pada saat mentari terbit, termometer di beranda menunjukkan suhu sebesar 69 Fahrenheit (20 celcius). Menurut informasi yang ia terima, itu merupakan suhu terendah di daerah ini, yakni pada ketinggian 2.500 kaki [762 meter] di atas permukaan laut.
“Saya menikmati sarapan yang enak terdiri dari kopi, telur, roti segar, dan juga mentega, sambil duduk di beranda yang luas, di antara semerbak wangi mawar, melati, dan bunga-bunga harum lainnya yang tumbuh di kebun depan. Sekitar pukul delapan, saya meninggalkan Tomohon disertai 12 orang pembawa koper,” ujar Wallace.
Jalan yang mereka tempuh melintasi punggung pegunungan pada ketinggian 4.000 kaki [1.219 meter] di atas permukaan laut, kemudian menurun sekitar 500 kaki [152 meter] menuju sebuah desa kecil bernama Rutukan, desa tertinggi di distrik Minahasa, dan mungkin di seluruh Sulawesi. Wallace berniat tinggal sementara di sini untuk meneroka apakah ketinggian ini akan mengakibatkan perubahan pada klasifikasi keanekaragaman fauna yang ada di sana.
Desa ini baru saja didirikan sekitar sepuluh tahun yang lalu dan sama asrinya dengan desa-desa yang telah dia kunjungi, namun lebih indah. Desa ini terletak pada sebuah dataran kecil. Dari sini, medan berubah menjadi lereng berhutan yang menurun hingga mencapai danau Tondano yang cantik, dengan bayangan gunung berapi di belakangnya. Pada satu sisi terdapat lembah dan setelahnya terdapat daerah pegunungan rimba yang memukau.
Guncangan, Kepanikan, Penemuan
Selama tinggal di Rurukan, keingintahuan Wallace terpuaskan setelah mereka mengalami guncangan gempa bumi yang cukup kencang. Menjelang malam hari pada 29 Juni 1859, pukul 8 lewat 15 menit, dia sedang duduk membaca ketika rumah mulai berguncang pelan. Dalam sekejap, guncangan bertambah keras.
Wallace masih terus saja menikmati teksnya selama beberapa detik berikutnya. Namun, tak kurang dari setengah menit, guncangan itu menjadi begitu kuat sehingga mampu membuat dia jatuh dari kursi, dan membuat rumah yang didiaminya terlihat jelas bergoyang, berderak-derak seolah-olah segera roboh.
Lalu terdengar teriakan dari seluruh peluruh penjuru desa. “Tana goyang! Tana goyang!” (Gempa bumi! Gempa bumi!”) suara-suara itu bergema. Semua orang berlarian ke luar dari rumah mereka-para perempuan menjerit dan anak-anak menangis –dan Wallace berpikir bahwa sebaiknya dia juga ikut keluar. Wallace melukiskannya secara detail:
"Ketika saya mencoba berdiri, kepala saya terasa berputar dan langkah saya limbung, sampai-sampai saya selalu jatuh saat melangkah. Guncangan berlangsung sekitar satu menit dan selama itu saya merasa seperti berputar-putar; laiknya sedang mabuk laut. Sekembalinya ke dalam rumah, saya mendapati lampu dan sebotol arak jatuh berantakan. Gelas minuman yang digunakan sebagai tempat lampu juga telah terguling dari piring tatakan, tempatnya diletakkan."
Gempa itu bergerak vertikal, cepat, bergetar, dan menghentak. Wallace tidak meragukan bahwa getaran itu dapat menghancurkan cerobong asap dan dinding, juga menara gereja yang terbuat dari batu bata. Akan tetapi, karena rumah-rumah ini merupakan bangunan rendah dan diperkuat oleh rangka kayu, jadi tidak mungkin akan mengakibatkan banyak korban luka-luka, kecuali jika gempa itu cukup kuat untuk meluluhlantakkan sebuah kota seperti di Eropa. Penduduk desa menyampaikan bahwa sudah sepuluh tahun berlalu sejak mereka merasakan gempa yang lebih kuat dari ini. Saat itu, banyak rumah roboh dan sejumlah orang menjadi korban jiwa.
Setiap sepuluh menit hingga setengah jam sekali, mereka bisa merasakan guncangan ringan dan getaran. Terkadang cukup kuat hingga membuat mereka kembali berhamburan ke luar. Ada campuran rasa ngeri sewaktu menanggapi situasi yang mereka hadapi. Ada kemungkinan, setiap saat mereka akan mengalami gempa yang jauh lebih kuat, sehingga sanggup merobohkan rumah dan mengubur mereka, atau –yang lebih Wallace takutkan–terjadi tanah longsor dan mendorong mereka jatuh ke jurang yang dalam, karena desa ini dibangun tepat di bibir jurang.
Namun, ada satu hal lain; Wallace tidak bisa untuk tak tertawa setiap kali mereka berlarian ke luar karena guncangan kecil dan dalam waktu singkat kembali lagi ke dalam rumah.
Perasaan takjub dan lucu benar-benar terasa tapi sangat berbeda. Di satu sisi, salah satu fenomena alam yang paling parah dan berpotensi menghancurkan segalanya sedang terjadi di sekeliling bumi –batu-batuan, pegunungan, tanah padat, semuanya bergetar dan berguncang –dan mereka benar-benar tidak berdaya untuk menangkal bahaya yang setiap saat bisa saja menimpa.
Sedangkan di sisi lain: pemandangan sejumlah orang, baik lelaki, perempuan, dan anak-anak berlarian ke luar dan masuk dari atau ke rumah mereka, yang lebih sering terbukti tak perlu dilakukan. Pemandangan itu membuat Wallace merasa geli. Kejadian ini lebih mirip laiknya orang sedang “bermain pada saat gempa bumi” dan membuat banyak orang akhirnya ikut tertawa terbahak-bahak bersama Wallace, walau mereka masih saling mengingatkan bahwa gempa ini bukan bahan olok-olokan.
Malam itu, udara menjadi sangat dingin. Wallace menjadi sangat mengantuk dan berniat untuk segera tidur. Dia pun meninggalkan pesan kepada anak buahnya, siapa pun yang tidak tidur paling dekat dengan pintu agar segera membangunkannya seandainya rumah hendak roboh. Tak dinyana, dia salah perhitungan. Alih-alih tertidur pulas, dia malah terjaga malam itu.
Guncangan terus berlangsung dengan interval antara setiap setengah jam atau satu jam sekali sepanjang malam. Cukup kuat untuk membangunkan Alfred setiap kali terjadi dan membuatnya siap untuk berlari ke luar seandainya guncangan semakin besar. Karena itu dia sangat lega ketika akhirnya pagi datang.
Ternyata, sebagian besar penduduk tidak tidur sama sekali dan sebagian lagi memilih untuk tetap berada di luar sepanjang malam. Selama dua hari berikutnya, gempa terus berlangsung siang-malam dengan interval yang lebih pendek dan berangsur-angsur melemah menjadi beberapa hari sekali dalam sepekan.
Seberapa besar bahaya yang mereka hadapi? Semua itu masih misteri dan merupakan suatu hal yang tak pasti. Tapi itulah yang menyebabkan mereka menjadi lebih berimajinasi dan mempengaruhi harapan serta rasa takut mereka. Bagaimanapun, apa yang Wallace kisahkan hanya berlaku dalam gempa bumi skala sedang. Karena gempa dahsyat merupakan bencana paling menghancurkan dan mengerikan yang harus dihadapi oleh umat manusia.
Kelak, Alfred Russel Wallace ditahbiskan sebagai ilmuan naturalis Inggris abad ke-19 terpenting dan paling berpengaruh di dunia. Menurut Charles H. Smith & George Beccaloni dalam Natural Selection and Beyond: the Intellectual Legacy of Alfred Russel Wallace (2008), Wallace telah menghabiskan waktu selama empat tahun di hutan Amazon sebelum akhirnya dia memutuskan bahwa kepulauan Melayu merupakan lokasi yang paling kaya spesies zoologi. Dia tiba pada 1854 dan menetap di sana selama 8 tahun. Pelayaran yang sering dilakukan –sebagian besar di bagian timur Indonesia –merupakan bukti betapa dirinya telah mencurahkan waktu dan tenaga untuk mendekatkan diri dengan lingkungan yang ada sekaligus demi mendapatkan sebuah koleksi nan unik.
Wallace membagi penelitian populernya tentang kepulauan Melayu menjadi lima bagian. Empat di antaranya mengenai wilayah Indonesia Timur: Sulawesi, kelompok kepulauan Bali/Lombok/Timor, Maluku dan Papua (termasuk Kei dan Aru).
Indonesia Timur merupakan salah satu lokasi unik yang menjadi kontribusi Wallace bagi dunia ilmu pengetahuan. Pada awal 1858, saat dia tinggal di Ternate karena sakit demam, Wallace yang sudah memberikan kontribusi berupa sebuah tulisan perihal “evolusi spesies”, mendapatkan sebuah ide, bahwa salah satu metode evolusi adalah seleksi alam.
Kemudian, Wallace menyurati Charles Darwin, yang secara pribadi telah menyusun tulisan mengenai teori yang sama. Hasilnya adalah sebuah kolaborasi tulisan yang diterbitkan pada Juli 1858. Kala itulah, “teori evolusi” yang sudah dikembangkan ini diperkenalkan secara global.
Wallace pun kembali ke Inggris pada 1862. Dia memilah-milih koleksinya sekaligus meraup keuntungan dari koleksi-koleksinya itu dan lantas menyusun buku berjudul The Malay Archipelago: the Land of the Orang-utan, and the Bird of Paradise. A Narrative of Travel, with Studies of Man and Nature [1869] (2008), sebuah tulisan cerkas dan unik yang tidak hanya berisi penelitian sejarah alam, tetapi juga catatan perjalanan yang menarik untuk kita baca –termasuk tentang uraian teori “Garis Wallace” miliknya dan pengalaman gempa bumi selama dia di Minahasa.
Wallace terus menulis tentang ilmu pengetahuan hingga akhir hayatnya. Sang naturalis meninggal dunia di usia 90 tahun.
Editor: Nuran Wibisono