Menuju konten utama

Penerimaan Cukai Hasil Tembakau Turun, Ini Biang Keroknya

Realisasi penerimaan cukai rokok tersebut menurun 5,16 persen secara tahunan atau year on year (yoy).

Penerimaan Cukai Hasil Tembakau Turun, Ini Biang Keroknya
Pekerja menunjukkan rokok Sigaret Kretek Tangan (SKT) di salah satu pabrik rokok di Kudus, Jawa Tengah, Jumat (4/11/2022). ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho/foc.

tirto.id - Kementerian Keuangan mencatat penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) pada akhir April 2023 senilai Rp72,35 triliun. Realisasi penerimaan cukai rokok tersebut menurun 5,16 persen secara tahunan atau year on year (yoy) dibandingkan realisasi di periode yang sama tahun lalu sebesar Rp76,29 triliun.

Rendahnya penerimaan negara ini antara lain disebabkan kenaikan konsumsi rokok murah dari golongan 2 dan 3 yang membayar tarif cukai lebih rendah. Fenomena perpindahan konsumsi ke rokok murah ini tidak hanya menjadi ancaman bagi penerimaan negara dari CHT, namun juga tidak sejalan dengan tujuan kesehatan, utamanya untuk menurunkan prevalensi perokok anak.

Dalam RPJMN 2020 - 2024, prevalensi perokok anak ditargetkan untuk turun menjadi 8.7 persen. Dengan semakin banyaknya rokok murah, target ini terancam tidak tercapai.

Analis Kebijakan Ahli Madya Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Sarno tidak menampik saat ini terjadi peningkatan produksi rokok yang memiliki harga rendah (SKM golongan 2 dan SKT golongan 3). Dia mengklaim peningkatan itu terjadi dalam 4 tahun terakhir. SKM golongan 2 dan SKT golongan 3 naik 31 persen dan 122 persen selama periode 2019-2022.

Sementara itu, dia menjelaskan kenaikan ini dapat disebabkan oleh semakin lebarnya gap tarif dan HJE golongan 2 dan 3 dengan golongan 1 yang otomatis berpengaruh pada penurunan penerimaan negara.

“Pasti berimpact (kepada penerimaan negara), meskipun kita berharap tren penurunan ini tidak terus berlanjut dan penerimaan CHT tercapai. Namun kita waspadai dan kita cek terus,” ucap Sarno di Jakarta, Selasa (12/6/2023).

Sementara itu, Kepala Laboratorium Ekonomi Departemen Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, Kun Haribowo mengamini perilaku konsumsi masyarakat yang rentan terpengaruh dengan kebijakan kenaikan tarif CHT. Pergeseran konsumsi rokok dari golongan 1 ke rokok golongan 2 dan 3 yang lebih murah sangat memungkinkan terjadi jika melihat gap harga yang cukup jauh antar golongan.

“Sebagai masyarakat yang rasional, konsumen tentu akan memilih rokok yang harganya sesuai dengan kondisi ekonominya. Dengan harga yang separuh antara golongan 1 dan 2, ada potensi pergeseran konsumsi ke golongan yang lebih murah,” ungkap Kun.

Dia menjelaskan, produksi rokok golongan 1 saat ini sangat elastis terhadap kenaikan cukai. Penurunan produksi golongan 1 tidak dapat dikompensasi oleh kenaikan produksi golongan 2 dan 3 sehingga penerimaan CHT secara keseluruhan menjadi kontraksi.

Kun memprediksi outlook penerimaan CHT Semester 1 tahun 2023 pertama kali dalam 5 tahun terakhir akan mengalami penurunan hingga 6 persen - 14 persen (yoy).

“Perlu perbaikan dalam struktur tarif cukai HT untuk menghindari shifting dari segi demand maupun supply (produsen) termasuk pengaturan tarif cukai di dalam struktur tersebut,” kata Kun.

Sementara itu, Director of Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Fiscal Research & Advisory Bawono Kristiaji menjelaskan, diversifikasi golongan rokok berdasarkan produksinya membuka celah perpindahan konsumsi rokok yang lebih besar karena perbedaan harga yang cukup jauh. Konsumen akan selalu mencari celah untuk mengkonsumsi rokok dengan substitusi yang ditawarkan, misalnya beralih ke rokok yang lebih murah.

“Dengan jarak tarif yang makin besar maka akan semakin banyak tantangannya, baik dari sisi pengendalian konsumsi rokok maupun penerimaan negara,” kata Bawono.

Baca juga artikel terkait PENERIMAAN CUKAI ROKOK atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin