tirto.id - Jumat, 15 Maret 2019 akan dikenang sebagai sejarah kelam di Selandia Baru. Hari itu, di Masjid Al-Noor dan Masjid Linwood di kota Christchurch, penembakan brutal terjadi kepada para jamaah yang hendak menunaikan salat Jumat.
Pelaku teror yang teridentifikasi bernama Brendon Tarrant tersebut adalah warga Australia berusia 28. Saat melakukan aksinya, ia sempat menyiarkan melalui media sosial selama 17 menit.
Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern kaget mendengar peristiwa penembakan massal yang menewaskan 49 orang tersebut.
“Apa yang terjadi di sini adalah tindakan kekerasan yang luar biasa dan belum pernah terjadi sebelumnya,” kata Ardern.
Ardern pun mengatakan bahwa migran dan pengungsi mungkin terkena dampak dari penembakan paling mematikan dalam sejarah Selandia Baru modern itu.
“Jelas, ini adalah serangan teroris,” tegas Jacinda Ardern seperti dikutip AP News.
Saat melakukan penembakan di Masjid Al-Noor, pelaku menyiarkan amarahnya dan menyalakan kamera sesaat sebelum melakukan penembakan. Dalam manifesto online sebanyak 74 halaman itu, pelaku menyebut dirinya sebagai “orang kulit putih biasa”, dilahirkan “dari kelas pekerja, keluarga berpenghasilan rendah yang memutuskan mengambil sikap untuk memastikan masa depan bagi rakyat saya.”
Perdana Menteri Australia Scott Morrison membenarkan bahwa salah satu tersangka yang ditahan adalah warganya. Morrison menyebut pelaku sebagai teroris ektremis, “sayap kanan, dan kejam.”
Framing Penembakan dan Terorisme
Beberapa saat setelah aksi, mesin analisis media sosial Drone Emprit merilis data tentang framing publik dan media terhadap peristiwa tersebut, dengan menyaring kata “Terrorist” dan “Shooting”. Pendiri Drone Emprit Ismail Fahmi menyampaikan analisis itu ia lakukan untuk mengetahui respons publik setelah kejadian.
Fahmi membeberkan, mulanya Drone Emprit menggunakan kata kunci ‘New Zealand’ dan menyaring percakapan di Twitter berdasarkan kata kunci yang dikategorikan sebagai ‘Shooting’ dan ‘Terrorist’. Dalam analisis tersebut, Fahmi juga memasukkan kata “shooting, shootings, shoot” untuk “shooting” dan kata “terrorist, terror, terrorists, terrorism” untuk “terrorist”.
“Data kemarin simpel saja, itu masih beberapa jam, jadi sebetulnya tidak lengkap, belum masif. Saya pengin tahu dulu respons sesaat hasilnya kayak gitu. Total retweet itu lebih menunjukkan publik. Kemudian saya pilih itu dari SNA (Social Network Analysis), mana yang paling banyak menggunakan. Ternyata pada jam itu banyak yang menggunakan ‘Shooting’ daripada ‘Teroris’,” ujar Ismail Fahmi kepada Tirto, Sabtu (16/3/2019).
Dalam analisis tersebut, Fahmi berasumsi bahwa seluruh percakapan warganet di Twitter tentang New Zealand membicarakan tentang tragedi penembakan.
Berdasarkan analisis yang mereka lakukan, penduduk Twitter cenderung menyebut serangan ini karena kelakuan terrorist. Sejak Jumat, 15 Maret 2019, pukul 14.00 sampai 18.00, jumlah mention di Twitter terhadap kata “Shooting” sebanyak 25.384 dan kata “Terrorist” sebanyak 39.511.
Namun hasil tersebut berbanding terbalik dengan peta Social Network Analysis (SNA) yang menggabungkan dua kategori percakapan. Media cenderung menyebut kejadian itu sebagai peristiwa “Shooting”.
“Artinya kita tahu ada media-media yang cenderung menggunakan ‘shooting’. Bisa jadi dia pakai 'terrorist’, tapi tidak mendapat banyak retweet gitu. Dan ini yang kemudian saya pakai untuk melihat data kemarin,” ungkap Fahmi.
Setelah dua hari, Drone Emprit kembali merilis analisis data percakapan di Twitter, dan menemukan bahwa 70 persen (460.366) percakapan mengatakan bahwa kejadian itu adalah serangan “terrorist” dan 30 persen (197.529) sisanya menyebut bahwa kejadian tersebut adalah “shooting”.
Tak hanya itu, Drone Emprit juga mengkaji engagements antara orang-orang yang berpengaruh di jagat Twitter dengan pengguna Twitter. Pada kata ‘terrorist', akun @iyliasyazwanie, @HillaryClinton, @captnlavi, @DanCrenshawTX, dan @_SJPeace_ memiliki engagements terbanyak. Sedangkan pada kata ‘shooting’, akun @yazanqandel22, @ajplus, @BBCWorld, @JustinTrudeau, dan @FLOTUS mempunyai engagements teratas.
Penembakan Massal dan Terorisme
Kejadian penembakan dengan korban jiwa yang tak sedikit bukan sekali ini saja terjadi. Di pengujung 2018, misalnya, Guardian mengabarkan tentang seorang pria yang secara brutal menembaki orang yang berada di dekat pasar malam Natal di Strasbourg, Perancis. Kejadian tersebut menewaskan 3 orang dan melukai 12 orang.
Di awal 2018, New York Times pernah memberitakan seorang bernama Nikoas Cruz melepaskan peluru pada sebuah sekolah di Parkland, Florida, AS. Peristiwa berdarah itu menghilangkan nyawa 17 orang.
Tapi kapan sebuah peristiwa disebut penembakan massal atau terorisme?
Seorang pengacara bernama Page Pate pernah membuat opini yang dipublikasikan di CNN. Dalam opini tersebut dia membahas tentang batasan sebuah kasus penembakan massal disebut terorisme.
Pate menyebutkan peristiwa penembakan di San Bernardino dan Colorado Springs yang mematikan banyak orang sebagai contoh. Saat itu, banyak orang bertanya-tanya, kapan penembakan massal disebut sebagai aksi terorisme. Tentu saja hal tersebut mengundang perdebatan publik.
Perdebatan itu juga pernah diangkat New Yorker dalam artikel berjudul “Why We Should Resit Calling The Las Vegas Shooting ‘Terrorism’”. Dalam artikel tersebut, Masha Gessen, seorang penulis di New Yorker yang juga menulis lebih dari 10 judul buku, memaparkan bahwa setiap insiden penembakan terjadi, publik pasti akan menunggu pernyataan yang dikeluarkan negara. Apakah kejadian itu disebut “terorisme” atau “penembakan massal”.
Dalam artikel tersebut, Gessen mengatakan bahwa tidak ada definisi tunggal terkait terorisme. Namun, Ilmuwan politik Irlandia Louise Richardson telah menetapkan tujuh karakteristik utama dari aksi teroris: terinspirasi oleh politik; disertai dengan kekerasan atau ancaman kekerasan; bertujuan mengirim pesan daripada mengalahkan musuh; memiliki makna simbolis; dilakukan oleh “kelompok substate” daripada aktor negara; para korban kekerasan berbeda dari audiens yang disampaikan oleh teroris; dan tindakan tersebut menargetkan warga sipil.
Pate kemudian menjelaskan tentang definisi terorisme di bawah hukum federal AS. Suatu kejadian bisa dikatakan sebagai terorisme ketika tindakan tersebut merupakan kekerasan. Tentu saja syarat itu bisa dipenuhi dalam kasus penembakan yang terjadi di Selandia Baru. Apalagi kejadian Jumat siang tersebut membuat puluhan jiwa melayang.
Syarat kedua adalah kejahatan itu dimaksudkan untuk memunculkan rasa takut kepada penduduk sipil atau pemerintah dengan cara tertentu. Kejadian penembakan massal tentu saja memunculkan ketakutan, tapi dalam aksi terorisme, ketakutan itu tak hanya dirasakan oleh orang-orang di sekitar lokasi, tapi juga para penduduk sipil.
Namun, dalam hal ini terorisme tak ada kaitannya dengan jumlah orang yang meninggal. Selain itu, dalam aksi teror, tak banyak pelaku yang membeberkan maksud dan motivasi dari insiden yang mereka ciptakan. Syarat terakhir terorisme berkaitan dengan ideologi.
Frederic Lemieux, akademikus dari Georgetown University, dalam artikel berjudul “What is Terrorism? What Do Terrorists Want?” yang diunggah The Conversation, Lemieux menyebutkan bahwa terorisme adalah taktik yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu. Kekerasan yang mereka lakukan bertujuan untuk menciptakan rasa takut pada populasi sasaran dan kerap memicu tanggapan keras dari sebuah negara.
Dalam memikirkan aksinya, teroris seringkali membenarkan tindakan berdarahnya dengan persepsi soal ketidakadilan sosial, ekonomi, dan politik yang mereka yakini. Ada pula yang diinspirasi oleh keyakinan religius atau prinsip spiritual tertentu.
Maka, masuk akal jika Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern menyebut kejadian Jumat, 15 Maret 2019 siang itu sebagai aksi terorisme. Selain karena pelaku telah merencanakan aksi dengan matang, Brendon Tarrant meninggalkan 74 halaman manifesto anti-imigran di media sosial setelah serangan tersebut. Melalui akun media sosialnya itu pula ia mengaku sebagai seorang rasis.
Editor: Ivan Aulia Ahsan