tirto.id - Aksi teror dan penembakan di masjid di Christchurch, Selandia Baru dinilai sebagai bukti gelapnya dunia online atau internet.
Daniel Byman, seorang senior di Brookings Institute menilai perekrutan dan penyebaran cita-cita ekstremis bukanlah hal baru, baik secara langsung ataupun online.
Ia menilai internet telah memfasilitasi orang-orang yang ingin mendiskusikan ide-ide semacam terorisme.
"Dewasa ini orang dapat secara online menemukan kelompok besar untuk memperkuat dan mendorong ide-ide mereka hampir secara instan," tuturnya pada Sabtu (16/3/2019) sebagaimana diwartakanAP News.
“Orang-orang melakukan banyak hal secara online, karena mereka mungkin ragu untuk melakukannya dalam kehidupan nyata,” ujar Daniel lagi.
Hal seperti itu bisa dimulai dari tindakan yang tidak berbahaya, seperti mengirim email kepada seseorang yang sebenarnya kita takut untuk mendekatinya, kemudian untuk berbagi, bahkan membangun dan mendorong pandangan ekstremis serta kekerasan.
"Hal tersebut memungkinkan Anda untuk lebih berani," tutur Daniel.
Tersangka penembakan di Selandia Baru, Brenton Harrison Tarrant sepertinya mencoba membuat serangan yang sesuai di zaman internet ini. Seperti mencoba menyiarkannya secara langsung (live streaming), meneriakkan slogan meme populer dan menerbitkan manifesto panjang yang penuh lelucon yang ditujukan untuk mereka yang mendalami budaya internet underground.
Semua itu membuat Brenton Harrison Tarrant, laki-laki yang didakwa atas pembunuhan dan serangan pada Jumat (15/3/2019) di masjid di Christchurch, merupakan orang terbaru yang diduga melakukan pembantaian massal dari komunitas online yang mengembangkan ekstremisme.
Selain itu, manifesto Tarrant menyebar dengan cepat pada forum online 8chan. Esai setebal 74 halaman ini mendukung pandangan supremasi kulit putih bahkan ketika itu bertentangan dengan dirinya sendiri.
Beberapa terlihat sama dengan manifesto setebal 1.500 halaman yang ditulis oleh Anders Behring Breivik, seorang ekstrimis sayap kanan Norwegia yang membunuh 77 orang pada tahun 2011.
Mary Anne Franks, seorang profesor hukum di University of Miami dan presiden Cyber Civil Rights Initiative menyerukan pengawasan yang lebih besar terhadap platform sosial setelah manifesto dan serangan Tarrant terjadi.
"Sangat jelas bahwa orang yang terlibat di sini diradikalisasi secara online," katanya, seperti dilansir AP News.
"Percakapan di ruang obrolan dan aplikasi pesan teks yang berisi lelucon dan meme adalah bagian dari pengembangan jenis orang radikal tertentu di ruang-ruang ini,” sambung Mary.
“Meski demikian, mungkin sulit untuk menempatkan tindakannya pada perilakunya secara online,” kata Hannah Bloch Webha, seorang profesor hukum di Universitas Drexel.
"Saya tidak berpikir masyarakat cukup memahami tentang peran propaganda dan pidato kekerasan dalam memprovokasi kekerasan yang sebenarnya," tutur Hannah.
Tindakan menyiarkan langsung serangan itu sendiri merupakan tanda seberapa jauh budaya internet telah merambah ke dunia fisik.
“Di mana, orang-orang secara teratur telah menyiarkan acara harian mereka, termasuk konfrontasi mereka dengan penegak hukum,” ujar Daniel Byman lagi.
“Penembak telah melakukan penelitian. Dia menemukan informasi online, dia menemukan validasi, dia menemukan ideologi dan tujuan hidup yang mengarah langsung pada apa yang dia lakukan," kata Rabi Abraham Cooper, rekan dekan di Simon Wiesenthal Center, sebuah organisasi hak asasi manusia Yahudi.
“Media sosial adalah pusat dari tantangan yang semakin meningkat ini,” katanya.
Seperti Facebook, YouTube, Twitter dan situs-situs lain yang memungkinkan orang untuk mengunggah konten mereka sendiri, telah memperoleh reaksi keras karena membiarkan orang-orang memposting foto dan video yang penuh kekerasan dan kebencian.
Walaupun, perusahaan akhirnya menghentikan penyebaran video siaran langsung tentang penembakan Selandia Baru, pada Jumat (15/3/2019). Tetapi banyak yang mengatakan bahwa mereka terlalu lambat, dan berpendapat bahwa video itu seharusnya tidak menyebar secara online.