tirto.id -
"Upaya untuk mengkontruksikan atau untuk menciptakan nuansa bahwa pemilu ini bermasalah, pemilu kita ini curang, pemilu kita tidak benar itu tidak terjadi dalam satu dua bulan belakangan. Tapi ini memang terjadi sejak pertengahan tahun 2018," kata Wawan saat berbicara di acara Sarasehan Refleksi Pemilu di UGM Yogyakarta, Jumat (26/4/2018).
Lebih jauh Wawan mengatakan bahwa konstruksi yang diciptakan itu bukan dalam rangka check and balance bukan dalam rangka untuk mengontrol kualitas. Namun upaya itu adalah dalam angka mendelegitimasi.
Ia menjelaskan bahwa komitmen dari awal untuk menerima hasil pemilu sudah dikonstruksi sedemikian rupa. Ketidakpercayaan akan hasil pemilu menurutnya bukan sesuatu yang alamiah karena tidak mendapatkan hak pilih atau karena penyelenggaraan pemilu yang tidak baik.
Ia menilai ada proses penciptaan ketidakpercayaan yang disengaja sejak Juli 2018 lalu terus dikembangkan. Serta yang sudah mereda kemudian dihidupkan kembali jelang coblosan.
Wawan mencontohkan upaya menciptakan ketidakpercayaan itu melalui sejumlah isu dan kabar bohong.
Misalnya isu soal 17,5 juta DPT palsu, isu temuan tujuh kontainer surat suara telah tercoblos, dan isu bahwa website KPU telah diatur untuk memenangkan salah satu paslon.
Isu yang beredar ini kata Wawan tidak muncul dengan sendirinya, melainkan diciptakan oleh pihak-pihak yang menginginkan isu itu bergulir. Serta pihak-pihak yang diuntungkan isu itu adalah para elit.
Sehingga menurutnya para elit lah yang perlu untuk mendapatkan edukasi, di samping masyarakat yang juga membutuhkan edukasi mengenai politik.
"Yang perlu diedukasi itu elit-elit. Karena pertama kali yang menciptakan distrust itu bukan rakyat. Yang sengaja menciptakan bahwa pemilu seolah-olah delegitimate itu para elit-elit itu tadi," kata dosen Fisipol UGM ini.
Apa yang ia paparkan itu kata Wawan bukan dari hasil pengamatan saja. Ia mendapatkan data dengan mengkombinasikan big data analytics, wawancara bertemu dengan semua yang berkompetisi di pemilu, serta para buzzer.
Apa yang ia temukan ini menurutnya cukup menghawatirkan. Pasalnya dengan perkembangan teknologi dan sosial media semakin kuat, namun tidak digunakan secara bertanggungjawab maka upaya mengkonstruksi pemilu tidak legitimate akan sangat luar biasa.
"Dan kita harus berdamai dengan kenyataan. Pada akhirnya 45 persen sampai dengan 49,99 persen plus satu pemilih [yang kalah], siapapun nanti yang menang. Mereka adalah pihak yang tidak mendukung pemenang," katanya.
Maka tingkat penolakan atas sistem keseluruhan yang ada dalam negara akan terus bekerja pada jutaan penduduk pemilih yang kalah dalam pemilu.
Jika dihitung secara kasar 45 persen sampai 49,99 persen pemilih, dengan asumsi DPT 192 juta, ada 80 juta orang.
"80 juta orang kalau dikecilkan lagi kira-kira ada 40 juta orang yang betul-betul bisa dikonstruksi keyakinan mereka atas sesuatu," kata dia.
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Pramono Ubaid Tanthowi mengatakan adanya upaya-upaya delegitimasi pemilu melalui isu-isu dan kabar bohong diakuinya memang ada.
"Upaya deligitimasi itu kita lawan," kata Pramono.
Ada tiga hal yang dilakukan untuk melawan deligitimasi pemilu. Di antaranya yang sudah dilakukan kata Pramono adalah dengan mengklarifikasi setiap kabar bohong dan fitnah.
Kedua jika fitnah dirasa merusak kredibilitas lembaga maka akan dilakukan langkah hukum sebagaimana hal itu dilakukan pada pelaku penyebar kabar bohong tujuan kontainer surat suara telah dicoblos.
"Ketiga kami memperbaiki ke dalam dengan semakin transparan dan semakin informatif," katanya.
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Nur Hidayah Perwitasari