tirto.id - Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI, Febrio Kacaribu menilai jumlah pemain dompet digital (digital payment/wallet) idealnya berjumlah dua sampai tiga saja. Febrio mengatakan konsolidasi ini diperlukan karena para pemain industri itu perlu segera menghasilkan keuntungan dan berhenti “membakar” uang.
“Pada akhirnya akan mengarah ke duopoli atau oligopoli yang optimal. Teknologi semahal ini mungkin hanya 2 paling jago 3. Yang bawah-bawah kalau enggak bisa ke tiga, enggak ada alasan untuk hidup,” ucap Febrio dalam workshop isu teknologi finansial di Hotel Park Regis, Rabu (18/12/2019).
Menurut data Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech), per hari ini ada sekitar 61 penyedia layanan digital payment. Data iPrice per 12 Agustus 2019 aplikasi digital payment Go-Pay, OVO, dan Dana memimpin pasar secara berurutan dari banyaknya pengguna aktif.
Dia pun pesimistis terhadap nasib digital payment skala kecil yang tak masuk urutan 3 besar. Ia memprediksi, bakar uang para pemain yang lebih kecil bisa jadi tidak akan menghasilkan apa-apa. Penjualan 2/3 saham OVO oleh Lippo menjadi salah satu pertanda tren itu akan berakhir.
Sebaliknya, ia menyarankan mereka segera berkonsolidasi dengan bergabung ke 2 atau tiga pemain besar. Namun, hasil akhir konsolidasi dinilai tidak boleh berujung pada monopoli karena dapat merugikan konsumen sehingga persaingan tetap harus ada setidaknya dari dua pemain besar.
“Kemarin ada selentingan Dana-OVO merger. Itu masuk akal. Sampai kapan bisa bakar uang. Kalau kecil-kecil enggak sanggup lawan Gopay. OVO-Dana gabung bisa cukup kuat head to head dengan Gopay,” ujarnya.
Febrio menjelaskan konsolidasi serupa sudah terjadi di Cina dalam waktu kurang dari 10 tahun. Per kuartal 2 2019, Alipay dan WeChat pay menguasai 54 dan 40 persen pasar negara itu.
Jika konsolidasi ini rampung, Febrio bilang sistem promo ala cashback bisa jadi tak lagi diperlukan seperti di Cina. Sebaliknya, kedua pemain besar bisa mulai mengejar untung dengan cara yang wajar. Sebab bila jumlah pemain tetap banyak, maka corak bakar uang akan berlanjut dan industri bisa jadi tak selamat.
Visi para pemain untuk menjangkau masyarakat luas dengan digital payment akan sulit jika tidak dilakukan dalam skala besar. Belum lagi ada wilayah Timur yang belum cukup tersentuh teknologi ini.
Alasan lainnya, Febrio mengingatkan ada potensi ekspansi cukup besar digital payment seperti WeChat pay dari Cina terlihat dari rencana BCA untuk menjajaki kerjasama dengan perusahaan itu. Jika pasar Indonesia tetap terpecah menjadi banyak pemain dan terutama berukuran kecil, ia khawatir, pemain dalam negeri bisa jadi akan sulit bertahan bahkan tak mampu bersaing dengan Wechat Pay.
“Kalau OVO-Gopay tidak berbenah ya WeChat pay masuk ke sini. Itu tinggal terjadi. Kalau tidak berbenah, tidak akan sanggup saingin Wechat,” pungkasnya.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Gilang Ramadhan