tirto.id - Apa yang dialami perempuan bernama IY bisa menimpa siapa saja. Dan sialnya, kelompok dan orang yang dia bela tampaknya tak peduli dengan apa yang IY lakukan.
IY ditangkap polisi di Bekasi, Jawa Barat, karena diduga merekam HS saat bicara "penggal kepala Jokowi" dalam demonstrasi di Badan Pengawas Pemilu, Jumat (10/5/2019) sekitar pukul 3 sore. Polisi menyita barang bukti berupa kacamata hitam, satu unit telepon seluler, masker, hingga cincin.
IY pun ditetapkan sebagai tersangka sama seperti HS. IY dikenakan pasal berlapis, yakni Pasal 104 KUHP, Pasal 110 juncto Pasal 104 KUHP, Pasal 27 ayat (4) juncto Pasal 45 ayat 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Menurut pengamat komunikasi politik dari Unair, Suko Widodo, apa yang dilakukan dua orang itu adalah bukti bahwa perilaku elite politik memang berdampak ke masyarakat luas. IY dan HS menginternalisasi apa yang selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun terakhir dipertontonkan para politikus terutama dari kubu 02, nomor urut pasangan Prabowo-Sandi di Pilpres 2019.
"Kalau dia orang politik [maksudnya: politikus], tidak mungkin dia melakukan itu. Bisa jadi dia korban dari narasi-narasi yang selama ini beredar dari 02," katanya kepada reporter Tirto, Rabu (15/5/2019).
Suko juga bilang karena status "orang biasa" itulah polisi cepat menangani keduanya. Akan berbeda halnya jika yang diusut adalah orang yang punya "nama".
"Kalau polisi menangkap orang yang elite, kan, berisiko. Kalau menangkap ecek-ecek, ya, mudah," katanya.
Apa yang dikatakan Suko juga pernah disinggung pengajar komunikasi politik dari UIN Jakarta, Adi Prayitno. Pada Februari lalu, Adi bilang, yang kerap terjadi adalah para relawan lapangan, orang-orang biasa itu, "hanya menerjemahkan hal-hal yang sering diucapkan para elite."
IY dan HS memang pendukung Prabowo-Sandiaga. Mereka berdemo ke Bawaslu karena merasa pemilu kali ini penuh kecurangan. Sementara pemilu curang adalah narasi yang dimainkan kubu Prabowo sejak hari pencoblosan 17 April lalu.
Tapi status itu tak cukup bagi kubu Prabowo-Sandi untuk turun tangan membantu orang-orang yang dengan militan mendukung mereka. Anggota Direktorat Hukum dan Advokasi Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Sahroni, mengatakan mereka sangat berhati-hati menyikapi kasus ini.
"Bukan berarti kami tutup mata atau lepas tangan. Hanya saja kami sering terjebak membantu yang nyatanya bukan relawan. Hanya orang suka rusuh dan bikin onar, yang suka menjatuhkan nama relawan 02," katanya kepada reporter Tirto.
Bahkan Eggi pun Tak Dianggap
Apa yang dinyatakan Sahroni tampak wajar kalau kita melihat apa yang terjadi kepada Eggi Sudjana. Pengacara Eggi, Pitra Romadoni, mengatakan kalau kliennya itu "korban politik" dan BPN tak membantu apa-apa, padahal di atas kertas, Eggi adalah jurkamnas dan anggota Direktorat Hukum dan Advokasi BPN. Eggi, dalam konteks ini, jelas berbeda dengan IY dan HS yang bukan siapa-siapa.
Eggi ditetapkan sebagai tersangka kasus makar karena pernyataannya soal people power. Pernyataan ini dilontarkan di tempat 'sakral': di kawasan rumah Prabowo di Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan, sore hari 17 April 2019.
"Saya minta kepada tim BPN kalau seumpama tidak bisa membantu, tolong jangan buat kami susah," katanya.
Tuduhan ini memang disanggah Ali Lubis selaku juru bicara Direktorat Advokasi BPN. Namun sanggahannya jadi menegaskan kalau memang BPN tak melakukan apa pun bahkan untuk orang yang punya posisi di struktural tim sukses.
"Seharusnya lawyer Bang Eggi melakukan koordinasi dengan tim hukum BPN terkait masalah ini. Sampai sekarang tidak ada tim hukum Bang Eggi yang berkoordinasi dengan tim hukum BPN," katanya, Rabu (15/5/2019).
Maka IY dan HS bernasib sama seperti tiga ibu-ibu dari Partai Emak-Emak Pendukung Prabowo Sandi alias Pepes yang ditangkap polisi pada 13 Februari lalu: tidak dianggap, divonis "orang luar", dan dibiarkan menanggung beban sendiri.
Penulis: Rio Apinino
Editor: Mufti Sholih