Menuju konten utama

Pemuda Asal Semarang Disiksa dan Dipaksa Jadi Scammer di Myanmar

Korban saat ini masih terjebak di Myanmar. Ia masih bisa menceritakan kondisi yang dialami kepada keluarganya melalui telepon dengan cara sembunyi-sembunyi.

Pemuda Asal Semarang Disiksa dan Dipaksa Jadi Scammer di Myanmar
Ibu dan bapak korban yang merupakan warga Semarang Utara menceritakan kasus anaknya. (FOTO/Baihaqi Annizar)

tirto.id - Seorang pemuda dari Semarang, Jawa Tengah, berinisial A, diduga menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Ia disiksa dan dipaksa menjadi scammer atau orang yang melakukan penipuan secara online.

Saat ini korban yang berusia 36 tahun tersebut masih terjebak di Myanmar. Ia masih bisa menceritakan kondisi yang dialami kepada keluarganya melalui telepon dengan cara sembunyi-sembunyi.

TS, ibu korban, yang merupakan warga Semarang Utara mengungkapkan, mula-mula anaknya diiming-imingi kerjaan sebagai admin di Selandia Baru dengan gaji Rp12 juta sampai Rp20 juta per bulan.

Keluarga korban sebenarnya sudah melarang anaknya bekerja di luar negeri. Apalagi info pekerjaan didapat dari media sosial dan harus membayar Rp16 juta kepada penyalur kerja.

"Dari awal kami sudah punya firasat, tapi anak keukeuh," ucap ibu korban kepada kontributor Tirto, Rabu (26/6/2024).

Firasat buruk ibunya ternyata menjadi kenyataan. Korban berangkat pada akhir Mei 2023 melalui jalur laut dengan kondisi mata tertutup. Dari Bali-Indonesia, korban menyeberang dan transit di Thailand sebelum akhirnya dibawa ke Myanmar.

"Sampai sana anak saya ngabari sambil nangis-nangis. Kondisinya dijaga petugas bersenjata," ujar ibu korban.

Korban tak pernah jadi bekerja di Selandia Baru seperti yang dijanjikan. Lokasi terbarunya di Myanmar sudah dipastikan setelah korban mengirim titik kordinat kepada keluarganya melalui telepon.

Tak Digaji dan Disiksa

Korban A bekerja dalam tekanan. Ia dipaksa menjadi penipu berbasis daring. Menurut pengakuannya, korban bekerja 18 jam dalam sehari di depan layar monitor dengan waktu istirahat 30 menit.

"Terakhir anak saya ngabarin sudah mulai terkena gangguan penglihatan karena kan di depan komputer terus," ungkap ibu korban.

Korban dalam bekerja juga dikejar target. Jika tak memenuhi, konsekuensinya mendapat siksaan. Ibu korban sampai menitikan air mata saat menceritakan penderitaan yang dialami buah hatinya.

"Satu bulan setelah kerja, anak saya dipaksa angkat galon sambil berkeliling, kadang disetrum, dicambuk," ungkap ibu korban.

Parahnya, korban tak pernah digaji selama bekerja. Kebutuhan makan dan pakaian hanya mengandalkan pemberian si pemberi kerja.

Karena kerjanya sering tidak memenuhi target, korban sempat dijual ke perusahaan penipuan lain. Perusahaan baru itu masih di wilayah Myanmar.

Namun, korban tak bisa berbuat banyak karena, sekali lagi, berada dalam pengawasan petugas bersenjata.

Korban A sempat meminta dipulangkan ke Indonesia tetapi ia diharuskan membayar uang kompensasi. "Disuruh bayar Rp150 juta, kami tidak mampu," keluh ibu korban.

TPPO Modus Baru

Pendamping keluarga korban dari LBH Semarang, Tuti Wijaya, mengatakan kasus yang dialami pemuda berinisial A ini merupakan perkara perdagangan orang dengan modus baru.

"LBH Semarang mendampingi korban jerat paksa perdagangan orang dengan pola baru, yang salah satu korbannya dari Semarang," jelas Tuti.

Lowongan pekerjaan berujung TPPO ini disebarkan lewat media sosial seperti Facebook. Untuk memperdaya korban, perusahaan dibuat seolah-olah merupakan perusahaan ternama dan legal.

Proses penerimaan kerjanya diskenario seideal mungkin. Kata Tuti, ada mekanisme berbalas email seperti laiknya pendaftaran kerja pada perusahaan profesional. Korban juga diiming-imingi gaji tinggi.

Setelah diterima kerja, korban dipaksa menjadi scammer atau menipu orang melalui media daring. Kemungkinan, menurut Tuti, penipuan ini memanfaatkan media sosial arus utama.

"Korban ini direkrut dari identitas perusahaan yang sebenarnya tidak ada. Korban di Myanmar dipaksa jadi scammer, banyak siksaan," papar Tuti.

Khusus korban dari Semarang ini merupakan lulusan SMA yang sebenarnya tidak memiliki keahlian khusus dalam teknologi digital. Bahkan ia hanya bisa berbahasa Indonesia. Sehingga sasaran penipuannya sesama orang Indonesia.

Selain A pemuda dari Semarang, terdapat 7 korban lain dari Indonesia yang bernasib sama. Mereka dipaksa kerja di lokasi yang sama, di wilayah konflik bebas hukum di Myanmar.

"Sekarang delapan korban berkumpul di satu kamp, ada [korban lain] dari Kalbar, Bandung, Bekasi, Singkawang, Semarang salah satunya," imbuhnya.

LBH Semarang bersama dengan Solidaritas Jaringan Jerat Paksa yang tersebar di beberapa daerah, tengah mengawal kasus ini dan berupaya memulangkan para korban ke Indonesia.

Kasus ini telah diadukan ke Kementerian Luar Negeri, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI), hingga Mabes Polri. Khusus pendamping hukum dari korban di Semarang hari ini, Rabu (26/6/2024) bersurat ke Presiden RI.

"Kami melihatnya pemulangan korban memang bergantung pada pemerintah. Makannya kami menaruh harapan besar kepada pemerintah," harap Tuti.

Baca juga artikel terkait KASUS TPPO atau tulisan lainnya dari Baihaqi Annizar

tirto.id - Flash news
Kontributor: Baihaqi Annizar
Penulis: Baihaqi Annizar
Editor: Irfan Teguh Pribadi