tirto.id - SETARA Institute menilai kasus pemotongan nisan salib di pemakaman Jambon, Purbayan, Kotagede merupakan bentuk intoleransi. Direktur Riset SETARA, Halili Hasan menyebutkan, Pemerintah Provinsi DIY harus memberikan perhatian lebih untuk merekonstruksi toleransi di DIY.
"Pemprov harus memberikan perhatian lebih tentang bagaimana merekonstruksi toleransi tidak hanya di permukaan, tapi pada lapis terdalam toleransi di level hidup keseharian masyarakatnya," ujar Halili saat dihubungi reporter Tirto pada Rabu (19/12/2018).
Menurut Halili, intoleransi di Purbayan, Kotagede itu setidaknya terjadi dalam 3 bentuk, yaitu penolakan simbol salib di pemakaman, penolakan doa-doa dalam upacara pemakaman, dan penolakan kegiatan ibadah mendoakan arwah di rumah almarhum.
Selain itu, yang perlu menjadi catatan adalah intoleransi terjadi di lapis paling bawah basis sosial. Menurut Halili, karena terjadi atas inisiatif warga, maka perlu didalami apakah ada provokasi dari beberapa kelompok intoleran.
"Yang kami temukan dalam dua hari ini, lebih besar inisiatif warga, jadi perlu perhatian serius. Di mana konservatisme keagamaan kemudian penguatan identitas dan resistensi terhadap liyan itu sudah sedemikian dalam merasuk lapisan terbawah dari struktur sosial," ujarnya.
Halili menyebut, pihaknya tidak melihat tindakan tegas pemerintah dalam mengatasi kasus intoleransi di Yogyakarta. Berdasarkan catatan Tirto, pelarangan ibadah sudah terjadi beberapa kali di Yogya sejak 2006.
Beberapa kasus itu di antaranya penolakan perayaan Paskah Adiyuswa Sinode, penolakan Kebaktian Nasional Reformasi 500 Tahun Gereja Tuhan di Stadion Kridosono, dan penyerangan Gereja di Pangukan, Tridadi, Sleman.
"Saya tidak melihat tindakan tegas pemeinrtah. Kasus semacam ini berulang dan dibiarkan begitu saja. Memang ada upaya optimalisasi peran polisi, tapi saya tidak terlalu setuju dengan itu,: tegas Halili.
Menurutnya, pendekatan paling efektif untuk rekonstruksi toleransi adalah pndekatan kultural dan peran otoritas lokal. Apalagi, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono memiliki dua otoritas sekaligus, sebagai Gubernur dan Raja.
HB X harus mengoptimalkan otoritas sosio-politik dan sosio-kultural untuk mengambil peran besar dalam praktik dan promosi toleransi dengan menjamin kesetaraan hak seluruh warga, baik yang banyak maupun yang sedikit.
SETARA menilai, tindakan Pemprov dalam hal ini tidak bisa hanya mengatasi kasus per kasus, tapi harus melakukan rekayasa sosial yang lebih komprehensif.
Misalnya, menempatkan pendidikan sebagai instrumen yang krusial untuk mengatasi begitu banyak kasus intoleransi. Selain itu, perlu juga optimalisasi tokoh agama.
Sebab, konservatisme yang sampai pada level masyarakat berarti ada pembelajaran keagamaan yang perlu diperbaiki. Menurut SETARA, tokoh agama seharusnya berkontribusi membangun paham keagamaan yang moderat bukan yang konservatif.
"Saya kira perlu pendekatan yang komprehensif, bagaimana Pemprov merekonstruksi toleransi di Yogyakata, karena kita, Yogyakarta sudah terlanjur mengklaim dirinya sebagai city of tolerance," pungkas Halili.
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Dipna Videlia Putsanra