tirto.id - Lebih dari seratusan warga di Rumah Susun Kalibata City, Rawajati, Jakarta Selatan protes kepada Panitia Pemungutan Suara karena tak diizinkan menggunakan hak suara mereka. Mayoritas warga ialah penghuni yang alamat KTP-nya bukan di Kalibata City. Mereka juga tidak mengurus surat keterangan A5 dan C6.
Keadaan ini menjadi muara kericuhan, karena warga merasa haknya sebagai pemilih dibatasi. “Untuk apa ada KTP elektronik ini? Katanya udah tersambung semua. Golput jadinya,” kata Sita, salah seorang warga Kalibata City kepada Tirto, Rabu (17/4)
Abdul Salam, anggota Badan Pengawas Pemilu Jakarta Selatan, yang hadir di lokasi kejadian sampai menggunakan pengeras suara untuk meredam kericuhan. Ia mengatakan kepada warga bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah menyediakan waktu panjang untuk mengurus A5 atau C6.
“Perpanjangan normal itu sudah tiga kali perpanjangan, terakhir tanggal 10 (April) kemarin,” kata Abdul Salam lewat pengeras suara.
Warga Tak Sempat Mengurus Formulis A5 dan C6
Warga mengaku tak sempat mengurus surat keterangan (Suket) A5 dan C6 karena punya urusan tak terduga. Salah satunya Ratna, warga Surabaya yang sebulan terakhir berdomisili di Tower Tulip, Rusun Kalibata City.
“Saya baru kelar operasi, baru dua hari lalu keluar rumah sakit, gimana mau sempat urus?” protesnya. Ratna menilai aturan KPU punya celah fatal yang bisa bikin banyak orang berakhir golput secara sistem seperti dirinya.
Menurut Abdul Salam, warga yang punya surat keterangan sakit seperti Ratna harusnya tetap bisa memilih. “Tinggal diurus ke lurah setempat atau bawa surat keterangan sakitnya, biar diproses,” kata Abdul Salam.
Ia merujuk pada surat edaran KPU yang memperbolehkan warga (1) sakit; (2) narapidana; (3) dalam masa tugas; dan (4) tertimpa bencana untuk bisa ikut mencoblos hanya dengan menunjukkan KTP.
Namun, menurut Jenny Roos, warga Papua yang berdomisili di Kalibata City, aturan KPU yang disebut Abdul Salam merugikan para pemilik hak suara.
“Empat pengecualian itu masih sempit sekali, orang kayak saya enggak masuk empat pengecualian itu,” katanya.
Dalam kasus Jenny, ia tak sempat mengurus suket A5 karena baru mendapat perintah medical check up dari Kedutaan Besar Amerika Serikat sewaktu penutupan pendaftaran A5. Di KPU, namanya tercatat dalam DPT di Papua, sesuai alamat yang tertera di KTP.
Namun, WNI yang sudah lama tinggal di Amerika Serikat ini punya urusan di Jakarta dan memilih tinggal di Kalibata City. Jenny juga sudah meminta surat keterangan dari Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta untuk menjelaskan bahwa ia kini berdomisili Jakarta.
Namun, surat itu tetap tak membuat petugas KPU mengizinkan Jenny untuk menggunakan hak suaranya di TPS.
“Saya disuruh medical check up-nya besok (18 April), jadi enggak sempat juga mau urus A5. Saya sempat datang ke KPU Jaksel di tanggal 10 itu, tapi antre panjang sekali,” tambahnya.
Warga Mendengar Bisa Menggunakan KTP
Sebagian warga Kalibata City mengaku tak mengurus A5 atau C6 karena mendengar informasi bisa mencoblos hanya dengan e-KTP. Salah satunya adalah Putra, warga Tower Damar. Ia berkata setelah membaca di internet dan bisa menggunakan KTP elektronik untuk melakukan pencoblosan, Putra akhirnya mengurungkan niat mengurus surat keterangan A5.
“Saya sempat baca di internet, katanya bisa nyoblos pakai KTP aja, jadi enggak saya urus (A5),” kata Putra. KTP Putra masih menggunakan alamat lama di Padang, Sumatera Barat.
Rusun Kalibata City memang dikenal sebagai tempat rawan Daftar Pemilih Khusus (DPK).
Menurut Agus Sudono, anggota KPUD Jakarta Selatan, kebanyakan pemilih di rusun ini bukan pemilih aktif yang mengecek status sebagai Daftar Pemilih Tetap (DPT). “Yang disediakan untuk DPK kan 2 persen, tapi takutnya malah lebih banyak yang masuknya DPK,” katanya.
Menurut regulasi KPU, pemilih DPK cuma bisa mencoblos di jam 12-13, untuk menghindari kemungkinan pencoblos ganda.
Menanggapi jumlah jumlah warga yang golput karena problem teknis di Kalcit, Abdul Salam berkata, “Pilpres sebelumnya masih lebih banyak dari yang sekarang.”
Penulis: Aulia Adam
Editor: Arbi Sumandoyo