tirto.id -
Kepala Badan Pendidikan, Penelitian dan Penyaluran Sosial, Kementerian Sosial, Harry Z Soeratin mengatakan pengembangan SKSTN ini didasarkan atas kebutuhan akan keterpaduan basis data, perubahan kebijakan kesejahteraan sosial, tuntutan pelaksanaan fungsi verifikasi, validasi data secara mandiri dan periodik serta kebutuhan membangun Sistem Informasi Kesejahteraan Sosial yang terintegrasi.
Keberadaan SKSTN, kata Harry, diharapkan dapat mengurangi duplikasi data atau kesalahan penetapan penerima manfaat, sehingga pelaksanaan program kesejahteraan sosial, misalnya penyaluran bantuan sosial dapat tepat sasaran. Selain itu, sebagai langkah efisiensi biaya pemutakhiran dan pengelolaan data.
"Pengembangan ini sebagai upaya pelayanan sosial terarah, terpadu dan berkelanjutan," ujar Harry di Kantor Kementerian Sosial Jakarta pada Senin (30/7/2018).
Penandatanganan Kesepakatan Induk dilakukan oleh Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, Kementerian Keuangan, Luky Alfirman selaku Penyedia Fasilitas, dan Kepala Badan Pendidikan, Penelitian dan Penyuluhan Sosial, Kementerian Sosial, Harry Z Soeratin selaku Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK).
Tercapainya Kesepakatan lnduk, menunjukkan bahwa Kementerian Keuangan telah menyetujui permintaan Project Development Facility (PDF) untuk proyek SKSTN dalam skema KPBU.
Persetujuan diberikan setelah melalui pertimbangan adanya pemenuhan persyaratan diantaranya bahwa PJPK telah melaksanakan Tahapan Perencanaan Proyek, telah memulai Tahapan Penyiapan Proyek didukung dengan adanya hasil Kajian Awal Prastudi Kelayakan (Outline Business Case) dan telah melakukan Penjajakan Minat Pasar (Market Sounding) yang hasilnya menunjukkan banyak investor berminat pada proyek ini.
Lebih lanjut, Harry mengatakan proyek ini bernilai Rp1,4 triliun memiliki lama konsesi 20 tahun. Penerapan sistem diproyeksikan dapat dilakukan pada tahun depan berjalan.
"Jangka waktu 20 tahun, bisa dikaji lagi oleh Kemenkeu [Kementerian Keuangan] dengan berbagai kemungkinan penyempurnaan agar dapat berjalan baik. Untuk memperkuat basis infrastruktur sosial terpadu secara nasional yang melibatkan seluruh stakeholder, sesuai program Pak Jokowi," ucapnya.
Pemenang lelang untuk saat ini belum ditetapkan. Hanya saja, dikatakan Harry, ada 15 perusahaan swasta yang menyatakan minatnya pada saat dilakukan penjajakan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas pada September-Oktober 2017.
Ia menekankan pengembangan SKSTN ini, bukan berarti database di Kementerian Sosial saat ini buruk. Namun, perlu pengembangan untuk mengintegrasikannya.
"Misal integrasi database Kementerian Sosial dengan topografi bencana, jadi kami bisa siapkan daya dukungan untuk bisa cepat respon. Lalu, data pelayanan kesehatan, fakir miskin, juga bisa lebih pasti karana bisa menjamin ketepatsasaran bantuan," terangnya.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Resiko, Kementerian Keuangan, Luky Alfirman mengatakan untuk menarik minat investor swasta, pemerintah bekerjasama dengan PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) (PT SMI) dan PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PT PII) dalam menyusun struktur bisnisnya.
"PT SMI dengan PT PII akan kerjasama dalam hal ini dengan Badan Pendidikan, Penelitian, Penyuluhan Sosial, Kemensos sebagai PJPK-nya untuk menyiapkan proyek ini sampai financial close-nya. Targetnya bisa tahun depan, pembangunan sistem mungkin 1 tahunan targetnya," ujar Luky.
Selanjutnya, Luky merincikan bahwa proyek senilai Rp1,4 triliun ini akan dibayar pemerintah secara bertahap selama 20 kepada swasta dengan bersyarat, setelah proyek berjalan.
"Ada pembagian risiko, dimana risiko ditanggung juga oleh provider/ investor. Buat nyicil ada syaratnya, ada service level agreement. Kalau dipenuhi kami bayar, kalau enggak dipenuhi enggak kami bayar," ucapnya.
Direktur Utama PT SMI, Emma Sri Martini mengatakan skop dari projek ini adalah pengelolaan data base dan penyediaan data center. Fokus proyek ini bukan pada belanja modal (Capital Expenditure/Capex) melainkan biaya operasi (Operating Expenditures/Opex).
"Artinya pas akhir masa konsesi adalah penyerahan asetnya adalah servis level dan cangkang-cangkangnya. Enggak capex yang berpindah kepada pemerintah," ujar Emma.
"Aspek komersial dari projek ini dari return-nya, dari availability payment si badan usaha selama masa periode kerja sama. Periodenya apakah 20 tahun atau 25 tahun, nanti kami lihat terkait dengan besaran capex yang dibutuhkan. Hitung-hitungannya baru akan dilakukan," terangnya.
Editor: Maya Saputri