Menuju konten utama

Pemerintah Baiknya Evaluasi, Jangan Gegabah Blokir X

Secara jumlah, jumlah pengguna X tak sebanyak medsos lain, tapi punya pengaruh besar dalam menentukan arah perbincangan di jagat maya.

Pemerintah Baiknya Evaluasi, Jangan Gegabah Blokir X
Ilustrasi perjalanan perubahan logo Twitter. tirto.id/Ecun

tirto.id - Melalui akun @Safety pada 3 Juni 2024 lalu, X mengumumkan kebijakan baru yang secara resmi mengizinkan peredaran konten pornografi. Alasannya, menurut mereka, konten tersebut merupakan "bentuk ekspresi seni yang sah".

"Anda dapat membagikan konten ketelanjangan atau perilaku seksual orang dewasa yang dibuat dan didistribusikan atas dasar kesepakatan bersama, asalkan diberi label dengan benar dan tidak ditampilkan secara jelas," tulis X lewat akun @Safety.

"Kami mendukung kebebasan orang dewasa untuk menikmati dan menciptakan konten yang menunjukkan keyakinan, keinginan, dan pengalaman mereka sendiri, termasuk yang berkaitan dengan seksualitas."

Menanggapi kebijakan baru tersebut, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengancam akan memblokir X (dahulu Twitter). Ancaman itu mencuat pada 14 Juni 2024 kemarin.

Menurut keterangan Menkominfo, Budi Arie Setiadi, pihaknya juga menyoroti iklan judi online yang marak di platform tersebut. Sehingga, Kominfo tak segan akan memblokir X jika dua konten tersebut masih bebas bertebaran di dalamnya.

Akan tetapi, Kominfo sejauh ini menyatakan akan mendalami terlebih dahulu kebijakan yang ada di X.

Rambu-Rambu Pornografi

Sebenarnya, konten pornografi sudah lama beredar luas di X, bahkan sejak pelantar blog mikro ini masih bernama Twitter. Ada pula semacam konsensus di antara pengguna bahwa media sosial satu itu memang sarangnya konten pornografi dan ini tidak salah. Sebab, menurut laporan Reuters, sepanjang 2022 silam, 13 persen unggahan yang beredar di sana merupakan konten pornografi.

Fakta tersebut tak membuat X serta-merta memberangus konten-konten tersebut. Yang mereka lakukan kemudian justru melegalkannya dengan syarat-syarat tertentu. Mereka yang mengunggah konten pornografi, di antaranya, harus menyematkan label pada foto atau video yang mereka unggah.

Mereka juga mesti memberi peringatan agar pengguna lain punya opsi untuk tidak mengonsumsi konten semacam itu.

Selain itu, peraturan baru yang diterbitkan X menyebutkan bahwa pengguna di bawah 18 tahun—atau mereka yang tak menyertakan tanggal lahir dalam profilnya—dipastikan tidak bisa mengakses konten dewasa.

X juga dapat menghapus konten dewasa apabila konten tersebut diunggah tanpa persetujuan, merupakan promosi layanan seksual, menampilkan anak di bawah umur, menampilkan seks dengan kekerasan, bestialitas, serta nekrofilia.

Dengan menerapkan beberapa rambu-rambu tersebut, X telah membuat peredaran konten dewasa yang mulanya liar bak Wild West menjadi lebih “tertib”. Setidaknya, begitulah di atas kertas. Namun, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) justru seakan memandang upaya itu hanya dari aspek pelegalannya saja tanpa menelisik rambu-rambu yang dibuat oleh menajemen X.

Menteri Kominfo, Budi Arie Setiadi, dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR-RI pada 10 Juni 2024 mengatakan bahwa dirinya telah bersurat kepada X terkait legalisasi pornografi tersebut.

"Kalau X tetap memperbolehkan pornografi di Indonesia, akan kita tutup. Kita block," ujarnya seperti disitat dari BBC Indonesia.

Tak lama berselang, Dirjen Aplikasi Informatika Kemkominfo, Semuel Abrijani Pangerapan, juga menegaskan hal serupa.

"Kalau X tidak comply (patuh), ya, X-nya ditutup. Penggunanya, mohon maaf, mulai siap-siap migrasi aja ke yang lainnya," kata Samuel seperti dikutip dari IDN Times.

Belakangan, viral pula sebuah informasi yang menyatakan pemerintah telah menyiapkan pelantar media sosial pengganti X bernama Elaelo. Akan tetapi, kabar ini kemudian dibantah Budi Arie. Dia menyebut bahwa aplikasi tersebut bukanlah bikinan pemerintah dan, kemungkinan besar, memang begitu.

Sebab, ada pengguna X yang berhasil menemukan indikasi bahwa Elaelo ini sebenarnya hanyalah aplikasi satire.

Jadi, sampai sekarang, belum bisa dipastikan apakah Pemerintah RI bakal betul-betul memblokir X atau tidak. Lantas, apabila pemerintah nantinya memblokir X, apa yang kira-kira akan terjadi?

Pengguna X Sedikit, tapi Lantang

Jumlah pengguna X di Indonesia sebenarnya tidaklah sebanyak beberapa medsos lain. Menurut survei We Are Social pada Januari 2024, pengguna X hanya 57,5 persen (139 juta orang) dari total populasi pengguna medsos di Indonesia.

Sebagai perbandingan, pengguna TikTok punya persentase 73,5 persen, Facebook 81,6 persen, dan Instagram 85,3 persen. Jadi, secara jumlah, pengguna X boleh dibilang kalah jauh.

Namun, pengguna X punya pengaruh yang cukup besar dalam menentukan arah perbincangan di jagat maya. Semua diskursus ada di sana, mulai dari kasus perselingkuhan dan perdebatan soal bubur ayam diaduk atau tidak sampai informasi tentang ketidakadilan hukum, ketidakadilan sosial, serta opini politik. Tak jarang, media-media arus utama juga menggunakan pelantar ini sebagai rujukan untuk melihat topik apa yang tengah ramai diperbincangkan publik.

Itulah sebabnya X bisa dibilang sebagai indikator, meski bukan platform yang paling populer. Tak semua hal yang ramai di X bakal ramai juga di media sosial lainnya atau di kehidupan nyata. Namun, apa yang riuh diperbincangkan atau diperdebatkan di media sosial lain dan dunia nyata pasti akan ramai di lini masa X.

Lantas, karena sifatnya yang berbasis teks, sentimen publik pun dapat dengan mudah dilacak di X.

Selain itu, X tak jarang juga jadi sarana untuk mencari keadilan serta bantuan. Tak sedikit orang yang memilih memviralkan kisahnya di X karena tak dapat menemukan solusi di dunia nyata. Tak heran apabila dulu sempat populer ungkapan "Twitter, please do your magic" karena pelantar satu ini memang "ajaib".

Cepatnya perpindahan informasi dari satu tangan ke tangan lain membuat media sosial satu ini masih jadi pilihan sebagian orang.

Bicara soal kecepatan penyebaran informasi, X memang sulit ditandingi. Berita bencana, misalnya, selalu muncul dengan cepat di pelantar ini. Berita lalu lintas pun begitu. Ketika ada sesuatu yang menyebabkan kemacetan di suatu ruas jalan, misalnya, seorang pengguna bisa mengabarkan situasi supaya pengguna lain tak terjebak dalam situasi serupa.

Artinya, X masih berfungsi dengan baik—bahkan sangat baik—di mata masyarakat. Maka apabila pemerintah memutuskan untuk memblokir X, yang bakal hilang adalah semua kelebihan itu.

Orang-orang yang sulit mendapat keadilan di dunia nyata bakal kehilangan pelantangnya. Mereka bakal kehilangan penyebar informasi yang cepat dan meluas, serta sarana untuk menyelamatkan banyak orang dari hal-hal tak diinginkan. Dan, tentu saja, akan ada komunitas-komunitas virtual yang tercerabut dari akarnya apabila platform ini diblokir.

Pornografi memang berbahaya karena tak semua orang bisa menyikapi jenis konten ini dengan bijak. Namun, jangan hanya karena ada konten dewasa—apalagi sudah diregulasi sedemikian rupa untuk melindungi pengguna lainnya—lantas semua fungsi dari X yang mendatangkan maslahat itu lantas ikut-ikutan dilenyapkan.

Pemerintah seharusnya lebih bijak dalam memandang situasi ini. Bukan cuma terlihat seakan-akan tegas, padahal gegabah.

Lagi pula, pemblokiran akses ke pornografi tak lantas membuat orang-orang berhenti mengonsumsinya. Ada banyak platform dan medium yang bisa digunakan untuk mendistribusikan konten dewasa. Maka sekali pun X diblokir, para penyebar hanya akan berpindah ke tempat lain. Sementara itu, orang-orang yang benar-benar membutuhkan X bakal kelimpungan.

Pemerintah sendiri bukannya tidak membutuhkan X. Beberapa kali, pegawai pemerintah seperti Yustinus Prastowo menggunakan X untuk meluruskan opini yang beredar di masyarakat terkait lembaga tempatnya bekerja. Memang, upaya Prastowo tak selalu berhasil, tapi setidaknya itu menjadi indikasi bahwa pemerintah benar-benar mau mendengarkan rakyatnya.

Sekarang, bayangkan apabila akses itu juga ikut-ikutan diberangus.

Jangan Membakar Seluruh Lumbung

Keinginan memblokir X tak ubahnya keinginan membakar seluruh lumbung untuk membunuh seekor tikus. Lantas, apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah?

Harus diakui bahwa melawan pornografi adalah sesuatu yang bisa dibilang mustahil dilakukan. Sebab, pornografi adalah sebuah sarana bagi pemenuhan hasrat biologis manusia. Selain itu, standar untuk menentukan sebuah konten merupakan pornografi atau bukan pun amat sangat subjektif.

Misalnya, ada orang yang biasa saja kala melihat belahan dada perempuan, tapi ada pula yang melihatnya sebagai hal tak senonoh.

Namun, seperti yang sudah tertera dalam regulasi X, ada konten-konten pornografi yang memang layak untuk dilaporkan dan ditindak. Misalnya, pornografi tanpa persetujuan dan pornografi anak. X sudah menegaskan bahwa mereka tidak akan mengizinkan konten semacam itu tayang di platform mereka.

Pemerintah mestinya bisa mengevaluasi diri dari poin ini. Sebab, konten pornografi berupa revenge porn cukup populer di Indonesia dan itu jelas-jelas ilegal. Pemerintah mesti menindak tegas konten-konten macam itu, dimulai dengan membuat wadah aduan yang diisi orang-orang yang kompeten di bidangnya. Wadah inilah yang nantinya bakal menjembatani antara korban dan pengadu dengan pihak berwajib.

Selain itu, pemerintah juga mesti menggalakkan lagi edukasi penggunaan media sosial, terutama kepada para orang tua yang sudah memberikan gawai kepada anaknya yang masih kecil. Selain menghambat pertumbuhan, gawai juga bisa membuat anak-anak itu terpapar konten tak sesuai usia. Dengan kata lain, pemerintah harusnya lebih fokus kepada pencegahan dari sisi konsumen konten.

Tindakan preventif macam itu memang lebih sulit dilakukan ketimbang tindakan langsung seperti memblokir X sepenuhnya. Namun, ingatlah bahwa manfaat X sebenarnya jauh lebih besar dibanding mudaratnya. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, ada banyak orang yang tertolong oleh keberadaan pelantar ini.

Sekarang, yang bisa kita lakukan adalah mendorong pemerintah bertindak lebih bijak dan tidak gegabah dalam menentukan sikap dan kebijakan.

Baca juga artikel terkait PEMBLOKIRAN TWITTER atau tulisan lainnya dari Yoga Cholandha

tirto.id - Teknologi
Reporter: Yoga Cholandha
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadrik Aziz Firdausi