tirto.id - Pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah menyebut langkah pemerintah menaikkan harga BBM tidak tepat sasaran. Pasalnya, menurut dia, pengguna Pertamax akan beralih menggunakan Pertalite demi menyiasati lonjakan kenaikan harga tersebut.
"Ini kan enggak ada gunanya menaikkan Pertalite dari 7.800 ke 10.000 kemudian Pertamax jadi 14.500, akhirnya yang dulu menggunakan Pertamax sekarang pada beralih ke Pertalite lagi. Kalau semua yang mobil-mobil mewah pakai Pertalite maka Pertalite akan kekurangan stok. Jadi efektivitas kenaikan harga BBM itu diragukan karena tetap Enggak tepat sasaran," katanya kepada Tirto, Selasa, 6 September 2022.
Trubus mengusulkan solusi lain supaya pemerintah dapat menjaga harga BBM tetap stabil tanpa pembengkakan subsidi. Yaitu memindahkan subsidi kepada pihak yang terdampak secara langsung serta menyediakan kembali BBM RON 88 sejenis premium.
"Bisa memindahkan subsidinya ke orang. Jadi kan selama ini subsidinya kan barang, jadi subsidinya langsung kepada masyarakat yang terdampak. Bisa bikin lagi RON yang 88, misalnya dulu ada premium. Itu dibuat kembali saja, nggak usah disubsidi tapi dilepas ke pasar aja," jelas Trubus.
Selain itu, Trubus menyebut DPR seharusnya dapat melaksanakan fungsi pengawasan dengan memanggil Presiden Jokowi beserta menteri-menterinya terkait kenaikan harga BBM tersebut.
"Harusnya bisa DPR memanggil presiden dan menteri-menteri terkait untuk evaluasi dulu. Bagaimana skema penaikan. Ini kan naiknya aturannya belum ada. Harusnya pemerintah mengeluarkan kebijakan ada payung hukumnya. Ini kan presiden menaikkan harga BBM nggak ada payung hukumnya. Aturannya belum ada, presiden sudah naikkan BBM," tandas dia.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif telah mengumumkan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak, antara lain Pertalite yang sebelumnya Rp7.650 per liter kini menjadi Rp10.000 per liter.
Solar subsidi dari sebelumnya Rp5.150 per liter menjadi Rp6.800 per liter, pertamax nonsubsidi dari Rp12.500 per liter menjadi Rp14.500 per liter.
"Ini berlaku satu jam saat diumumkan penyesuaian dan akan berlaku pada pukul 14.30 WIB," kata Arifin secara virtual pada Sabtu 3 September 2022.
Presiden Jokowi mengungkapkan alasan kenaikan harga BBM karena meningkatnya harga minyak dunia sehingga subsidi yang harus ditanggung pemerintah ikut naik dari Rp152,5 triliun menjadi Rp500,24 triliun.
"Anggaran kompensasi dan subsidi untuk BBM di tahun 2022 telah meningkat dari 152,5 triliun menjadi Rp. 500,2 triliun dan itu akan meningkat terus," kata Jokowi.
Jokowi mengeklaim kenaikan BBM adalah opsi terakhir yang diambil pemerintah. Ia beralasan selama ini subsidi BMM tidak tepat sasaran. Oleh sebab itu, subsidi tersebut akan dialihkan ke sektor yang lebih produktif.
Ancaman Stagflasi
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai kenaikan harga BBM akan membawa Indonesia pada kondisi stagflasi.
“Kenaikan harga BBM subsidi dilakukan di waktu yang tidak tepat, terutama jenis pertalite. Masyarakat jelas belum siap menghadapi kenaikan harga pertalite menjadi Rp10.000 per liter. Dampaknya Indonesia bisa terancam stagflasi, yakni naiknya inflasi yang signifikan tidak dibarengi dengan kesempatan kerja,” kata dia kepada Tirto, Sabtu 3 September 2022.
BBM bukan sekadar harga energi dan spesifik biaya transportasi kendaraan pribadi yang naik, tapi juga ke hampir semua sektor terdampak. Misalnya harga pengiriman bahan pangan akan naik disaat yang bersamaan pelaku sektor pertanian mengeluh biaya input produksi yang mahal, terutama pupuk.
Masyarakat yang memiliki kendaraan pribadi dan tidak memiliki kendaraan sekali pun, akan mengurangi konsumsi barang lainnya. Karena BBM ini kebutuhan mendasar, ketika harganya naik maka pengusaha di sektor industri pakaian jadi, makanan minuman, hingga logistik semuanya akan terdampak.
“Pelaku usaha dengan permintaan yang baru dalam fase pemulihan, tentu risiko ambil jalan pintas dengan lakukan PHK massal. Sekarang realistis saja, biaya produksi naik, biaya operasional naik, permintaan turun ya harus potong biaya biaya. Ekspansi sektor usaha bisa macet, nanti efeknya ke PMI manufaktur kontraksi kembali di bawah 50,” pungkas Bhima.
Penulis: Fatimatuz Zahra
Editor: Fahreza Rizky